Minggu, 09 November 2014

Pengguna Narkoba Mirip Orang Sakit Jiwa, Gimana Kalau Perokok?


Hukum dan Politik. Menurut Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar pengguna Narkoba selayaknya orang yang tengah sakit jiwa. Seperti pernyataannya yang dilansir oleh Liputan6.com (9-11-2014). Tentu saja pernyataan kepala BNN ini sangat menyentak sekaligus menghujam hati para pengguna obat terlarang ini. Bahkan jika pernyataan ini ditelaah, sudah dapat dipastikan para pengguna narkoba memang pantas disebut orang gila, orang sinting atau orang yang tidak waras.

Tapi, apakah sebutan ini akan begitu saja ditangkap oleh para penggunanya? Lantaran para pengguna ini menganggap dirinya baik-baik saja. Bahkan jika melihat beberapa pengguna yang ditangkap mereka seolah-olah tidak mau disebut orang yang tengah sakit jiwa. Karena jika mereka diindikasikan sebagai pengidap gangguan jiwa maka pantaslah mereka dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Tapi faktanya, justru para pengguna ini bukanlah semata-mata murni pengguna, tapi para pengedar, pengguna sekaligus pemasok barang haram ini. Jadi kadangkala pihak kepolisian dibuat bingung dalam aksi penangkapan kejahatan ini lantaran ketika para pelaku sudah tertangkap mereka berusaha lepas dari jeratan hukum dengan alasan mereka hanyalah sebagai pemakai dan bukan pengedar apalagi pemasok dan pembuatnya.

Kalau sudah lepas dari jeratan sebagai pemasok, maka pantasnya mereka dibebaskan dan ditempatkan dalam ruang rehabilitasi agar kecanduan narkoba segera dapat diatasi bahkan disembuhkan dengan alasan mereka sebagai korban. Meskipun setelah dilepaskan dan telah menjalani terapi anti narkoba pun mereka masih saja masih tertangkap tangan dengan barang haram ini. Seperti beberapa pentolan pelawak Srimulat, seperti Polo dan juga Tessy yang juga tertangkap tengah asyik menggunakan narkoba.

Terlepas bagaimana status para tersangka kejahatan obat-obatan terlarang ini, sepatutnya pihak penyidik jangan serta merta menganggap bahwa para tersangka tersebut adalah semata-mata sebagai korban dan dalam kondisi sakit jiwa. Karena alangkah mudahnya proses hukum bagi siapa saja yang tertangkap tangan ternyata mengaku sebagai korban, maka dampaknya peredaran narkoba akan sulit sekali dicegah.

Meskipun di antara pengguna memang memiliki ciri-ciri seperti orang yang tengah depresi lantaran persoalan hidup yang menjerit, namun amat tak lazim, seorang yang tengah sengsara mampu membeli narkoba. Faktanya harga narkoba pun tak murah. Hanya mereka yang berkantong tebal saja yang bisa membelinya. Termasuk para artis, pelawak maupun selebritis.

Pengguna Narkoba Gangguan Jiwa, Bagaimana dengan Perokok?
Pengguna narkoba dan perokok hakekatnya memiliki kemiripan prilaku dalam kesehariannya. Buktinya siapapun yang sudah kecanduan rokok maka tidak ada alasan lain untuk meninggalkan aktifitas berbahaya ini meskipun dengan mengurangi jatah uang makan keluarganya.

Meskipun pada prinsipnya berbeda antara narkoba dan rokok karena keduanya memiliki perbedaan status menurut kandungan keduanya. Jika narkoba sudah masuk kategori 1 obat yang terlarang dijual bebas, sedangkan rokok saat ini amat bebas beredar dan mudah sekali untuk mendapatkannya. Padahal jika melihat pengaruh secara langsung antara narkoba dan rokok hakekatnya memiliki dampak yang hampir mirip ala sebelas dua belas. Misalnya seorang pengguna narkoba rata-rata pernah mengalami kecanduan rokok karena sensasi kenikmatan dari asap rokok ini yang terus dicari hingga mereka menemukan narkoba sebagai pengganti yang dianggap lebih fantastis.

Meskipun rokok dianggap ringan dampaknya, faktanya banyak korban, baik perokok aktif maupun pasif yang sudah mendapatkan dampaknya secara langsung. Bahkan di antara korban rokok tersebut harus mengalami gagal jantung, kerusakan paru-paru bahkan kangker tenggorokan, laring dan juga kangker mulut yang juga resikonya sangat berbahaya bagi korbannya.

Tak sedikit orang tua yang merokok, anak-anak serta istrinya mengidap penyakit asma atau sesak napas, bahkan ada di antara mereka yang terkena serangan jantung meskipun belum pernah menghisap rokok sama sekali. Tapi inilah dampak negatif dari merokok.

Bukti lain kenapa penghisap rokok dapat disepadankan dengan narkoba lantaran keduanya memiliki indikasi terserang kecanduan, adiksi akibat zat adiktif yang terkandung dari kedua benda berbahaya ini. Sehingga ketika pengguna narkoba pantas disebut orang gila maka perokok pun dapat disebut sebagai orang yang terkena gangguan jiwa pula lantaran secara sadar menghirup asap yang akan membayakan dirinya dan orang lain.

Meskipun kedua pemakai adalah korban, tapi peredaran kedua barang berbahaya ini pun sebenarnya dapat dicegah jika semua pihak bersikap proaktif turut memberantas peredarannya dan tidak segan-segan melaporkan kepada pihak yang berwajib.Penegak hukum pun sepatutnya menghukum mati bagi pembuat, pemasok dan pengedar dengan hukuman mati sesuai dengan amanat Undang-undang tentang obat-obatan terlarang dan psikotropika.

Sedangkan perokok, mereka akan berhenti dengan penyuluhan-penyuluhan langsung dan memutus mata rantai peredaran rokok mulai dari pembuatnya. Dengan satu-satunya jalan adalah merazia rokok seperti merazia narkoba dan minuman keras, serta secara perlahan menutup pabrik rokok demi kemaslahatan bangsa ini ke depannya.

Salam

Kamis, 06 November 2014

KIS, KIP dan KKS: Lihatlah Sisi Baiknya Saja

Hukum dan Politik. Menilai seseorang selalu mudah saja dilakukan, apalagi untuk menilai hal-hal yang bersifat negatif, tentu tak membutuhkan aturan-aturan baku terkait penilaian seseorang ini. Karena kalau sudah negatif yang muncul tentu yang buruk-buruk. Meskipun apa yang menurut pandangan seseorang buruk boleh jadi ada sisi lain ada juga yang baik.

Tak jauh-jauh menilai sesuatu kog begitu mudahnya, seperti ketika kita menilai sebuah lukisan. Kadang lukisan itu hanya coretan-coretan tangan yang anak balita saja bisa melakukan, tapi bagi seorang penilai seni merupakan keindahan yang luar biasa. Sesuatu yang hakekatnya tak lazim sering dimaknai sebagai sisi lain yang positif dan patut untuk diapresiasi.

Selain penilaian terhadap benda mati, terhadap orang lain pun seringkali berawal dari penilaian negatif dulu, meskipun adakalanya menilai secara negatif pun bermanfaat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman tertentu, tapi ketika penilaian negatif ternyata menjadi stigma tersendiri dalam pikiran kita tentu dampaknya akan menjadi tak baik juga.

Misalnya, dalam biduk rumah tangga tentu saja perjalanan kehidupan tak selamanya seperti apa yang diinginkan. Pada awalnya begitu indah lambat laun persepsi pun berubah semua semakin terlihat sisi buruknya. Boleh jadi karena awalnya ditutup-tutupi, atau pengaruh cinta buta yang menjadikan seseorang tak bisa kritis lagi terhadap apa yang dihadapannya. Semua serba sempurna. Walau akhirnya pada akhir perjalanan hidup keburukan semakin terlihat.

Tapi, apakah keburukan ini yang akan menutup semua sisi positif seseorang? Tentu tidak ‘kan? karena masih ada sisi kebaikan yang tentu jauh lebih banyak.

Seperti halnya menilai sebuah kebijakan pemerintah dari awal negeri ini berdiri hingga detik ini, tentu ada sisi positif dan negatif yang semua akan seiring sejalan. Semua tampak seimbang sesuai dengan aturan yang berlaku terhadap semua manusia. Bahkan seorang ada pula pendapat yang mengatakan jika seseorang memiliki kelebihan maka kekurangannya pun tak sedikit. Begitu pula semakin banyak kelebihan sebuah negara maka disanalah banyak ditemui hal-hal yang berbau negatif pula. Bahkan seorang pemimpin yang dipandang amat baik, ternyata memiliki segudang kekurangan yang sudah pasti seringkali menjadi situasi untuk direndahkan.

Sebut saja mantan presiden SBY, pada mulanya kebijakan menaikkan BBM sudah dianggap melampau batas, saya sering membaca sebuah artikel-bahkan dikompasiana sendiri sosok presiden SBY sewaktu masih menjabat, beliau seringkali mendapatkan hujatan akibat kebijakannya yang dianggap kontroversial. 

Bahkan yang amat keji lagi, seseorang yang mesti dihormati, dihargai dan dijunjung kehormatannya mendadak direndahkan serendah-rendahnya. Tak hanya bentuk hujatan saja yang dilayangkan, karena gambar-gambar berisi hinaan pun tak sedikit beliau dapatkan. Beberapa waktu lalu sebelum beliau meletakkan jabatannya sempat-sempat pula para kritikus dan lawan politiknya menyebarkan gambar presiden SBY dengan hidung panjang ala pinokio. Dengan maksud para penghujat ini ingin menyamakan sosok pemimpin di negeri ini sebagai orang yang pendusta. Kata-katanya tak ubahnya sebagai strategi politik semata untuk membohongi rakyat. Tapi rakyat yang mana yang merasa di bohongi?

Pak SBY dianggap berbohong karena tak mampu mengurus negara, padahal beliau pun memiliki tokoh-tokoh penting yang duduk di meja kabinet Indonesia Bersatu dari jilid 1 sampai jilid 2. Semua mewakili partai-partai di Indonesia. Tapi apalah daya para asisten presiden ini tak juga bisa mewakili keinginan rakyat yang harus memajukan indonesia dari berbagai sisi kehidupan. Dan masih banyak lagi hal-hal negatif mudah sekali disematkan meskipun ada banyak sisi positif yang tak boleh diabaikan.

Beliau menaikkan BBM dengan alasan ingin menggunakannya demi kesejahteraan rakyat. Kala itu bentuknya adalah pemberian Beras Raskin dan BLT kemudian berganti BLSM, bantuan langsung siswa miskin. Tentu saja kebijakan ini akan membuat kaum miskin bisa tersenyum lantaran kebutuhannya menjadi terbantu. Dan tentu saja rakyat bawah merasakan sedikit dari uang gratis yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan mereka.

Tapi apalah daya, program yang tidak semerta-merta program presiden SBY karena program inipun dirapatkan bersama kabinet beliau ternyata juga tak berbuah manis. Sayang sekali di bawah program ini banyak di manfaatkan masyarakat kaya yang mengaku-ngaku miskin agar mendapatkan dana gratis ini. Akhirnya hujatan semakin keras, bahkan mantan presiden Megawati yang juga ketua umum PDIP pun berpidato secara lantang seolah-olah kebijakan presiden kala itu justru amat tak patut. 

Bahasa simpelnya rakyat jangan diberi ikan, tapi berilah kailnya agar rakyat semakin sejahtera. Itu dulu, dan kebaikan tersebut dibalas cacian para politisi senayan dan penulis-penulis di media. Tak hanya para politisi yang ikut menghujat ternyata rakyat yang tak mengerti pun ikut tergiring opini menjelekkan pemimpinnya.

Itulah sisi kebaikan yang sebenarnya dirasakan oleh sebagian rakyat ini dianggap tindakan (maaf) pembodohan. Tentu saja karena mereka adalah lawan politik yang tak ingin partai berkuasa duduk manis dalam singgahsananya.

Nah, saat ini, tatkala program pak SBY ini dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dan didukung oleh Kabinet Kerjanya tentu juga mendapatkan celaan, umpatan dan hujatan yang bertubi-tubi. Program yang awalnya BLT dan BSM berupa beasiswa pendidikan ini awalnya dijadikan objek politik pencitraan. Padahal saat ini Presiden Jokowi pun turut menjalankan model kebijakan bagi wong cilik ini dengan bentuk KIS dan KIP dan KKS, yang tentu saja bentuknya kurang lebih sama hanya pada kartunya saja yang berbeda.

Apakah kebijakan KIS (Kartu Indonesia Sehat), KIP (Kartu Indonesia Pintar)  dan KKS (Kartu Keluarga Sejahtera) ini salah? Tentu tidak semua bisa disalahkan, lantaran hanya program ini yang paling real dan tepat sasaran jika tak disalahgunakan pada tataran implementasinya. Namun, resikonya jika pendataan di bawah sebagai ujung tombak suksesnya program ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang di bawah seperti RT, RW bahkan kepala desa atau lurah yang masih kental dengan aura KKN, maka dampaknya hanya orang-orang yang dianggap keluarga lah yang paling banyak menikmati program ini. Tentu efek ini dapat diminimalisir jika melibatkan semua unsur masyarakat dan pemerintah selalu mengadakan evaluasi terkait program yang sudah berjalan.

Itulah sedikit gambaran betapa segalanya bisa dipandang negatif dan buruk. Tapi di sisi lain sepatutnya diapresiasi sebagai usaha yang paling sederhana dalam mengangkat kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, jika tak mampu memberikan modal yang besar untuk berusaha, masih mending diberikan subsidi yang jelas bagi kalangan bawah ini. Daripada mensubsidi BBM tapi digunakan oleh pengguna kendaraan mewah.

Subsidi BBM menyenangkan orang-orang berkantung tebal, sedangkan rakyat miskin selalu menjerit karena kehidupan mereka tetap saja morat marit. Rakyat sekarang tak butuh program dan teori ekonomi yang terlampau tinggi dan menghayal, rakyat hanya butuh kehidupan mereka terbantu. Harapannya lambat laun bantuan yang diberikan secara cuma-cuma ini benar-benar bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Mari dukung program pemerintah yang simpel ini dengan tidak menggunakan identitas palsu dan mengaku-ngaku keluarga kurang mampu (miskin), melaporkan pelanggaran kepada bihak yang berwajib dan selalu menjadi agen pendorong masyarakat yang berdikari agar lambat laun masyarakat tak hanya meminta belas kasih pemerintah, tapi benar-benar mandiri, berdiri di kaki sendiri.

Salam.

Metro, 07-11-2014