Say No To Money Politic / sindotrijaya.com |
Apakah Perlu Dilegalkan Saja Politik Uang?*
Memori pileg 2014 belum beranjak dari ingatan. Selain tingginya
antusiasme pemilih yang nimbrung menyampaikan aspirasi mereka, juga tak
kalah eforianya para warga yang mencalonkan diri sebagai sosok caleg.
Bahkan hampir semua orang jika dibolehkan menjadi calon legislatif maka
mereka pun ingin memajang foto mereka di kertas surat suara. Semua bukan
tanpa sebab, karena sama-sama ingin mendapatkan hak dalam berpolitik.
Terlepas apapun visi, misi maupun motif seseorang dalam berpolitik.
Selain begitu antusiasmenya perhelatan akbar tersebut, yang juga tak
luput dalam ingatan adalah tingginya permainan politik uang (money politic). Tidak
hanya kaum elit yang mengenal sistem menjaring massa ini, karena saat
ini saja masyarakat awam begitu kental dengan idiom ini. Apakah ini
pertanda bahwa memang masyarakat kita benar-benar ingin ikut larut dalam
eforia kebebasan politik. Kebebasan bermain politik meskipun tak
sedikit (jika boleh dibilang hampir semuanya) bermain politik uang.
Meskipun cara-cara ini sangat tidak dibenarkan.
Meskipun dalam bahasa politik, politisi selalu mengaitkan jargon money
politik ini dengan istilah beramal, sedekah, sumbangan atau apapun. Yang
jelas bentuknya adalah membayar calon pemilih agar menambatkan suaranya
kepada sosok partai atau caleg tertentu. Jika dibilang beramal atau
sedekah tentu saja tidak ada yang salah dalam hal ini. Tapi sayangnya,
sedekah ini diberikan tatkala perhelatan akbar dimulai. Pertanyaannya
kenapa tidak dari dulu mereka bersedekah? Tidak jauh-jauh hari mereka
menyumbang ke masjid atau lembaga tertentu?. Nah, jika sumbangan mereka
sudah sejak lama dilakukan sepertinya kesan politik curang akan dapat
dihindari. Meskipun niatnya tetap sama mencari simpati
sebanyak-banyaknya dari calon pemilih.
Melihat sudut pandang bagaimana para politisi ini bermain, seakan-akan
memang gerakan serangan fajar-kata lain dari money politic-hakekatnya
tidak mudah untuk dihapuskan. Tidak terbatas partai agamis maupun non
agamis, mereka bermain cara-cara kotor ini. Dan ini real para caleg dan
pengurus partai sendiri mengatakan bahwa “tak ada uang tak ada perahu”.
Dengan kata lain jika Anda ingin mencalonkan diri tentu saja harus
berani keluar uang. Uang pun seperti yang terjadi baru-baru ini nilainya
mencapai milyaran rupiah hanya untuk memenangkan pemilihan caleg.
Apalagi pemilihan cagub, cabub dan yang lebih mengejutkan lagi jika
dikaitkan dengan pemilihan presiden.
Tentu saja, tidak ada satu orang pun non partisan yang rela politik ini
dikotori dengan permainan jual beli suara. Bahkan kesan yang muncul
permainan curang ini banyak menimbulkan keresahan dan justru terjadi
pembangkrutan pada diri calegnya. Tidak hanya kebangkrutan bagi caleg,
terjadinya kegoncangan jiwa kerap terjadi. Dampaknya ketika cara-cara
politik ini dilegalkan, maka permainan curang ini menjadi sah. Semua
caleg dan partai bisa menggunakan cara-cara yang tidak jujur ini.
Berbeda dengan para politisi yang cenderung menggunakan bermacam-macam
cara untuk mengelabui calon pemilihnya. Mereka menganggap permainan
curang ini sebagai tindakan legal dan sah dimata politik. Bahkan untuk
menghilangkan kesan buruknya mereka menggunakan kata sedekah dan
sumbangan. Meskipun ketika caleg tersebut tidak terpilih uang sumbangan
pun akhiranya dicabut kembali. Sebuah gaya politik tak santun.
Tapi melihat tingginya ekspektasi permainan politik uang ini dalam
bentuk bagi-bagi sembako maupun bentuk lembaran uang, hakekatnya rakyat
sudah tak memperdulikan lagi bagaimana para politisi ini bermain. “Ada
uang Anda saya coblos.” Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.
Namun, apalah artinya sebuah peraturan dan undang-undang yang dilanggar
pun ternyata tak berdampak padapenyelesaian hukum pada kasus money
politik ini. Meskipun pelaku money politik sudah dilaporkan ke Bawaslu
faktanya di antara mereka yang terlapor tak satupun yang dijadikan
tersangka. Dengan alasan kasus tersebut amat bias. Mereka beranggapan
siapa yang memberi uang pun tak jelas. Apakah caleg yang menang atau
justru caleg yang kalah. Segalanya menjadi tidak tentu arah dan
undang-undang pelarangan money politikpun menjadi amat tumbul, mentah
dan tak memberikan efek apa-apa.
Mereka menjadi terlapor dengan bukti-bukti akurat pun tak dapat dituntut
secara hukum bahkan mereka dapat dilantik meskipun gugatan masih saja
mengalir. Fakta yang cukup rumit.
Kalau memang para politisi dan masyarakat sepakat bahwa mereka
berprinsip bahwa “tidak ada uang perahu tak datang” atau “Ada uang Anda
saya Coblos” maka sepatutnya money politik ini dibiarkan saja, atau
bahasa lazimnya dilegalkan sebagai hukum kontemporer ala politisi kotor.
Apalagi pada moment capres cawapres ini, seakan-akan gerakan money
politik sudah mulai kentara dan serangan fajar sudah mulai dilakukan.
Dari mana sumbernya pun sudah tidak lagi jelas, seperti halnya kasus
ketika pileg yang begitu banyaknya bukti yang diungkap tapi tak satupun
yang mengaku sebagai pelaku.
Bagi masyarakat yang menghendaki kejujuran dalam politik hakekatnya
money politik tetaplah buruk dan zalim, tapi sekali lagi karena
Indonesia sendiri sudah kadung kental dengan money politik maka
sepertinya permainan ini dianggap sah dari pada tak jelas halal atau
haram. Seperti halnya kasus pelacuran yang dilegalkan karena
pertimbangan masyarakat penyuka sek bebas dan pertimbangan ekonomi PSK
dan sang mucikari. Kalau menurut saya sih jangan dilegalkan, tapi bagaimana menurut Anda?
Salam
*Tulisan ini pertama kali dipublish di Kompasiana.com
**Penulis adalah pendidik aktif di SLB N Metro Lampung, Aktif menulis di Kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar