Add caption |
Akhir-akhir ini trend berita nasional pasca pilpres tanggal 9 Juli
lalu adalah semakin gencarnya silang pendapat antara lembaga survey satu
dengan yang lainnya. Entah survey yang berasal dari masing-masing kubu
capres-cawapres yang terikat kontrak kerja, juga lembaga survey yang
bersifat independent. Semua itu merupakan lembaga-lembaga penghitungan
cepat yang menurut pendirinya pun sudah dianggap valid.
Dan pasca pengumuman, berapa persen peroleh suara masing-masing capres
pun memunculkan reaksi beragam. Antara percaya dan tidak percaya. Antara
keyakinan bahwa lembaga survey tersebut jujur dan tidak sedikit yang
mencibir dan berbalas menuduh bahwa lembaga survey tersebut tidak
kredibel, serta dianggap tidak layak sebagai rujukan. Sebuah sikap pro
dan kontra disebabkan perbedaan hasil hitung cepat tersebut.
Dampaknya, tidak hanya lembaga-lembaga yang memproklamirkan dirinya yang
“paling” layak yang memberikan opini positif bahwa hasil yang mereka
sampaikan adalah yang paling akurat. Namun, lebih dari itu ada
intimidasi yang cukup massif dari masing-masing lembaga survey tersebut
yang justru semakin memperburuk citra lembaga tersebut di mata
masyarakat Indonesia. Wajar saat ini sering muncul istilah “survey
abal-abal” atau “lembaga survey bayaran”, yang sekaligus menjadi bahasa
paling manis untuk diucapkan akhir-akhir ini.
Terlepas dari hasil survey dalam quick count tersebut, ada hal yang
sebenarnya paling mendasar dari proses pilpres 2014 ini, yang sejatinya
tidak “terburu-buru” dilakukan karena memang belum mencapai final.
Bahkan kesannya lebih mendekati sikap tergesa-gesa untuk menjadi menang.
Baik berasal dari kubu Prabowo maupun Jokowi yang merasa menjadi
pemenang. Padahal proses pemungutan suara baru saja dirampungkan.
Sehingga, sepatutnya pasca pemungutan suara, negeri ini menenangkan diri
dan menunggu hasil akhir dari KPU yang akan melakukan rekapitulasi
secara akurat dan terpercaya. Karena hanya hasil dari KPU lah barometer
kemenangan dari masing-masing capres-cawapres dapat dianggap valid.
Selebihnya jika melihat hitung cepat tersebut, sepatutnya hanya sebagai
gambaran sementara yang bersifat “semu” dan jangan selalu menjadi
patokan pasti.
Ada banyak komentar miring yang ditujukan pada masing-masing hasil
penghitungan cepat tersebut, bahkan karena saking masifnya justru bukan
hasil penghitungan KPU yang ditunggu dan diakui, tapi seakan-akan para
timses berusaha mendahului kebenaran mutlak yang dihasilkan oleh KPU
tersebut.
Maka amat wajar jika masing-masing capres sudah “merasa”
menang dan mendeklarasikan kemenangannya. Padahal keputusan menang atau
kalah pun belum diketahui secara pasti. Meskipun para pengamat
menganggap bahwa hasil quick count tersebut selisihnya tidak terlalu
signifikan jika dibandingkan dengan real count yang dilakukan oleh KPU.
Bahkan saya melihat, dan mungkin masyarakat Indonesia menganggap
pendeklarasian sebuah kemenangan sebelum hasil akhir diperoleh memiliki
muatan politis sebagai berikut:
Deklarasi kemenangan pra real count oleh capres-cawapres adalah strategi pressure terhadap KPU
Entah benar atau salah, dan semoga saja hanya dugaan saya saja, bahwa
para capres-cawapres yang mendeklarasikan kemenangan tengah merasakan
euforia kemenangan semu yang berlebih-lebihan. Sehingga mereka terlalu
percaya bahwa hasil quick count tersebut 100% benar. Tanpa memperhatikan
berapa jumlah populasi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Bahkan
boleh jadi, hasil quick count tersebut amat sangat terlalu dini jika
dianggap sebagai bukti kemenangan. Karena sekali lagi diketahui menang
atau kalah hanyalah berdasarkan rekapitulasi dari KPU.
Sayang sekali, strategi politik dengan melakukan deklarasi kemenangan
yang saya anggap terlalu cepat menjadi pressure mental bagi KPU sendiri.
Karena bagaimanapun juga KPU merasa sudah terintimidasi meski secara
halus, bahwa sosok inilah yang memang menang. Meskipun faktanya tidak
terbukti.
Bahkan menurut hemat saya, tidak hanya KPU yang justru menjadi korban
pressure masing-masing kubu, beberapa media pun sepertinya ikut menjadi
bagian pembuat opini bahwa capres A atau B lah yang menang.
Tidak hanya pressure kepada KPU, karena dampak yang paling rentan adalah
timbulnya gesekan-gesekan sosial dari masing-masing kubu yang dapat
menimbulkan konflik yang tidak diinginkan.
Deklarasi kemenangan pra real count memicu depresi jika ternyata mendapati kekalahan
Dibalik euforia kemenangan yang terlalu dini, saya khawatir, siapa saja
yang sudah “merasa menang” karena quick count tersebut akan lepas
kendali dan benar-benar meyakini bahwa angka-angka hasil perhitungan
tersebut benar-benar kemenangan mutlak. Meskipun tidak salah mempercayai
hasil quick count tersebut sebatas sebagai gambaran samar seberapa
persen perolehan sementara yang juga bukan merupakan perolehan final.
Kekhawatiran saya adalah, ketika para capres-cawapres yang kadung 100%
yakin dengan hasil penghitungan cepat tersebut ternyata harus menelan
pil pahit karena apa yang sudah disampaikan jauh dari kebenaran. Dan ini
bisa saja terjadi, karena di antara lembaga survey tersebut merupakan
lembaga survey bayaran. Dengan kata lain jika lembaga survey tersebut
bayaran berarti tidak kredibel. Nah, jika kredibilitasnya saja tidak
diakui bagaimana dengan hasilnya?
Kondisi inilah yang sedikit banyak menimbulkan kekhawatiran jika
ternyata deklarasi kemenangan mereka hanyalah kebohongan belaka. Tidak
hanya depresi yang akan mereka terima, jika ternyata sikap ksatria tidak
ditunjukkan boleh jadi juga massa pro masing-masing capres akan
melakukan tindakan anarkis jika capres yang “harus” kalah tidak menerima
hasil real count KPU tersebut.
Bagaimanapun juga semua pihak semestinya jangan menganggap bahwa quick
count tersebut benar-benar hasil yang paling akurat. Toh semua keputusan
berdasarkan penghitungan KPU.
Jika konflik di akar rumput terjadi, maka pihak lembaga survey harus bertanggung jawab
Ibarat tidak ada asap jika tidak ada api. Begitu pula tidak ada konflik
di akar rumput jika masing-masing kubu tidak melakukan tindakan yang
kontra produktif. Apalagi jika lembaga survey melakukan proses yang
ngawur dalam memperoleh data penghitungan cepat tersebut. Maka jika
ternyata hasil quick count tersebut justru menimbulkan konflik di
tingkat akar rumput, maka penyelenggaran hitung cepat tersebut
sepatutnya bertanggung jawab.
Pasalnya, mereka sudah melakukan pembohongan publik dan berusaha memecah
belah opini rakyat dengan cara-cara yang menyesatkan dan tidak
kredibel.
Akan tetapi, sekali lagi semestinya para capres tidak bersikap jumawa
dengan mengesampingkan kemungkinan terburuk akan terjadi pasca real
count yang dilakukan oleh KPU. Menjaga kondisi agar tidak terjadi
ketegangan akan lebih baik daripada melakukan upaya-upaya provokatif
yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang tidak diharapkan.
Sikap menenangkan diri dan mengawal proses distribusi surat suara dan
penghitungan di KPU yang seharusnya menjadi PR terberat masing-masing
timses dan relawan dari masing-masing kubu agar kerja demokrasi menjadi
lebih bermakna dan berjalan dengan damai.
Rakyat tidak terprovokasi komentar-komentar miring terkait hasil survey quick count
Indonesia adalah kita, dan rakyat adalah yang akan mendapatkan baik dan
buruknya proses demokrasi. Sehingga, sepatutnya sebagai rakyat tidak
mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin memperkeruh
suasana. Dan lebih dari itu bersikap legowo ketika tidak dinyana hasil
quick count tidak berbanding lurus dengan hasil real count. Tentu saja,
karena quick count belum menjadi standar baku kemenangan masing-masing
capres-cawapres.
Siapapun yang dibela dan dipilih, mereka sama-sama putra terbaik bangsa
ini, maka seburuk apapun hasil penghitungan real count tersebut, pun
harus diakui dan dihormati keputusannya sebagai keputusan mutlak yang
mengikat kepada masing-masing kontestan.
Jangan terlalu berharap dari quick count jika belum benar-benar
dibuktikan oleh KPU tanggal 22 Juli nanti. karena di hari itulah siapa
saja yang akan menjadi presiden dan wakil presiden dapat diketahui
secara pasti. Namun lebih dari itu, siapapun yang akan menjadi presiden
dan wakil presiden adalah benar-benar pemimpin rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke. Tidak dibatasi dari mana, dari siapa dan oleh
siapa capres-cawapres ini didukung karena mereka adalah sosok yang sudah
terpilih.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar