Sabtu, 12 Juli 2014

Deklarasi Kemenangan Pasca Quick Count, Amat Berlebihan

Add caption

 
Akhir-akhir ini trend berita nasional pasca pilpres tanggal 9 Juli lalu adalah semakin gencarnya silang pendapat antara lembaga survey satu dengan yang lainnya. Entah survey yang berasal dari masing-masing kubu capres-cawapres yang terikat kontrak kerja, juga lembaga survey yang bersifat independent. Semua itu merupakan lembaga-lembaga penghitungan cepat yang menurut pendirinya pun sudah dianggap valid.

Dan pasca pengumuman, berapa persen peroleh suara masing-masing capres pun memunculkan reaksi beragam. Antara percaya dan tidak percaya. Antara keyakinan bahwa lembaga survey tersebut jujur dan tidak sedikit yang mencibir dan berbalas menuduh bahwa lembaga survey tersebut tidak kredibel, serta dianggap tidak layak sebagai rujukan. Sebuah sikap pro dan kontra disebabkan perbedaan hasil hitung cepat tersebut.

Dampaknya, tidak hanya lembaga-lembaga yang memproklamirkan dirinya yang “paling” layak yang memberikan opini positif bahwa hasil yang mereka sampaikan adalah yang paling akurat. Namun, lebih dari itu ada intimidasi yang cukup massif dari masing-masing lembaga survey tersebut yang justru semakin memperburuk citra lembaga tersebut di mata masyarakat Indonesia. Wajar saat ini sering muncul istilah “survey abal-abal” atau “lembaga survey bayaran”, yang sekaligus menjadi bahasa paling manis untuk diucapkan akhir-akhir ini.

Terlepas dari hasil survey dalam quick count tersebut, ada hal yang sebenarnya paling mendasar dari proses pilpres 2014 ini, yang sejatinya tidak “terburu-buru” dilakukan karena memang belum mencapai final. Bahkan kesannya lebih mendekati sikap tergesa-gesa untuk menjadi menang. Baik berasal dari kubu Prabowo maupun Jokowi yang merasa menjadi pemenang. Padahal proses pemungutan suara baru saja dirampungkan. Sehingga, sepatutnya pasca pemungutan suara, negeri ini menenangkan diri dan menunggu hasil akhir dari KPU yang akan melakukan rekapitulasi secara akurat dan terpercaya. Karena hanya hasil dari KPU lah barometer kemenangan dari masing-masing capres-cawapres dapat dianggap valid. Selebihnya jika melihat hitung cepat tersebut, sepatutnya hanya sebagai gambaran sementara yang bersifat “semu” dan jangan selalu menjadi patokan pasti.

Ada banyak komentar miring yang ditujukan pada masing-masing hasil penghitungan cepat tersebut, bahkan karena saking masifnya justru bukan hasil penghitungan KPU yang ditunggu dan diakui, tapi seakan-akan para timses berusaha mendahului kebenaran mutlak yang dihasilkan oleh KPU tersebut. 

Maka amat wajar jika masing-masing capres sudah “merasa” menang dan mendeklarasikan kemenangannya. Padahal keputusan menang atau kalah pun belum diketahui secara pasti. Meskipun para pengamat menganggap bahwa hasil quick count tersebut selisihnya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan real count yang dilakukan oleh KPU.

Bahkan saya melihat, dan mungkin masyarakat Indonesia menganggap pendeklarasian sebuah kemenangan sebelum hasil akhir diperoleh memiliki muatan politis sebagai berikut:
 
Deklarasi kemenangan pra real count oleh capres-cawapres adalah strategi pressure terhadap KPU

Entah benar atau salah, dan semoga saja hanya dugaan saya saja, bahwa para capres-cawapres yang mendeklarasikan kemenangan tengah merasakan euforia kemenangan semu yang berlebih-lebihan. Sehingga mereka terlalu percaya bahwa hasil quick count tersebut 100% benar. Tanpa memperhatikan berapa jumlah populasi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Bahkan boleh jadi, hasil quick count tersebut amat sangat terlalu dini jika dianggap sebagai bukti kemenangan. Karena sekali lagi diketahui menang atau kalah hanyalah berdasarkan rekapitulasi dari KPU.

Sayang sekali, strategi politik dengan melakukan deklarasi kemenangan yang saya anggap terlalu cepat menjadi pressure mental bagi KPU sendiri. Karena bagaimanapun juga KPU merasa sudah terintimidasi meski secara halus, bahwa sosok inilah yang memang menang. Meskipun faktanya tidak terbukti.

Bahkan menurut hemat saya, tidak hanya KPU yang justru menjadi korban pressure masing-masing kubu, beberapa media pun sepertinya ikut menjadi bagian pembuat opini bahwa capres A atau B lah yang menang.

Tidak hanya pressure kepada KPU, karena dampak yang paling rentan adalah timbulnya gesekan-gesekan sosial dari masing-masing kubu yang dapat menimbulkan konflik yang tidak diinginkan.
 
Deklarasi kemenangan pra real count memicu depresi jika ternyata mendapati kekalahan

Dibalik euforia kemenangan yang terlalu dini, saya khawatir, siapa saja yang sudah “merasa menang” karena quick count tersebut akan lepas kendali dan benar-benar meyakini bahwa angka-angka hasil perhitungan tersebut benar-benar kemenangan mutlak. Meskipun tidak salah mempercayai hasil quick count tersebut sebatas sebagai gambaran samar seberapa persen perolehan sementara yang juga bukan merupakan perolehan final.

Kekhawatiran saya adalah, ketika para capres-cawapres yang kadung 100% yakin dengan hasil penghitungan cepat tersebut ternyata harus menelan pil pahit karena apa yang sudah disampaikan jauh dari kebenaran. Dan ini bisa saja terjadi, karena di antara lembaga survey tersebut merupakan lembaga survey bayaran. Dengan kata lain jika lembaga survey tersebut bayaran berarti tidak kredibel. Nah, jika kredibilitasnya saja tidak diakui bagaimana dengan hasilnya?

Kondisi inilah yang sedikit banyak menimbulkan kekhawatiran jika ternyata deklarasi kemenangan mereka hanyalah kebohongan belaka. Tidak hanya depresi yang akan mereka terima, jika ternyata sikap ksatria tidak ditunjukkan boleh jadi juga massa pro masing-masing capres akan melakukan tindakan anarkis jika capres yang “harus” kalah tidak menerima hasil real count KPU tersebut.

Bagaimanapun juga semua pihak semestinya jangan menganggap bahwa  quick count tersebut benar-benar hasil yang paling akurat. Toh semua keputusan berdasarkan penghitungan KPU.
 
Jika konflik di akar rumput terjadi, maka pihak lembaga survey harus bertanggung jawab

Ibarat tidak ada asap jika tidak ada api. Begitu pula tidak ada konflik di akar rumput jika masing-masing kubu tidak melakukan tindakan yang kontra produktif. Apalagi jika lembaga survey melakukan proses yang ngawur dalam memperoleh data penghitungan cepat tersebut. Maka jika ternyata hasil quick count tersebut justru menimbulkan konflik di tingkat akar rumput, maka penyelenggaran hitung cepat tersebut sepatutnya bertanggung jawab.

Pasalnya, mereka sudah melakukan pembohongan publik dan berusaha memecah belah opini rakyat dengan cara-cara yang menyesatkan dan tidak kredibel.

Akan tetapi, sekali lagi semestinya para capres tidak bersikap jumawa dengan mengesampingkan kemungkinan terburuk akan terjadi pasca real count yang dilakukan oleh KPU. Menjaga kondisi agar tidak terjadi ketegangan akan lebih baik daripada melakukan upaya-upaya provokatif yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang tidak diharapkan.

Sikap menenangkan diri dan mengawal proses distribusi surat suara dan penghitungan di KPU yang seharusnya menjadi PR terberat masing-masing timses dan relawan dari masing-masing kubu agar kerja demokrasi menjadi lebih bermakna dan berjalan dengan damai.
 
Rakyat tidak terprovokasi komentar-komentar miring terkait hasil survey quick count

Indonesia adalah kita, dan rakyat adalah yang akan mendapatkan baik dan buruknya proses demokrasi. Sehingga, sepatutnya sebagai rakyat tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin memperkeruh suasana. Dan lebih dari itu bersikap legowo ketika tidak dinyana hasil quick count tidak berbanding lurus dengan hasil real count. Tentu saja, karena quick count belum menjadi standar baku kemenangan masing-masing capres-cawapres.

Siapapun yang dibela dan dipilih, mereka sama-sama putra terbaik bangsa ini, maka seburuk apapun hasil penghitungan real count tersebut, pun harus diakui dan dihormati keputusannya sebagai keputusan mutlak yang mengikat kepada masing-masing kontestan.

Jangan terlalu berharap dari quick count jika belum benar-benar dibuktikan oleh KPU tanggal 22 Juli nanti. karena di hari itulah siapa saja yang akan menjadi presiden dan wakil presiden dapat diketahui secara pasti. Namun lebih dari itu, siapapun yang akan menjadi presiden dan wakil presiden adalah benar-benar pemimpin rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak dibatasi dari mana, dari siapa dan oleh siapa capres-cawapres ini didukung karena mereka adalah sosok yang sudah terpilih.

Salam

Tidak ada komentar: