Isu Penghapusan Kolom Agama pada KTP |
Apa
benar kalau kolom agama pada KTP akan dihapuskan oleh Jokowi? Dan apakah
penghapusan kolom KTP tersebut benar-benar mencegah diskriminasi dalam
bernegara?
Paling
tidak dua pertanyaan itulah yang sedikit mewakili pertanyaan saya tatkala
membaca beberapa berita dan opini terkait terlontarnya ucapan Musdah Mulia
sebagai Ketua Tim Sukses Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu. Jika sampai
saat ini ucapan yang kata Musdah Mulia adalah benar-benar kata-kata Jokowi
tentu saja Jokowi perlu menjelaskan duduk persoalan dan alasan kenapa bagian
yang sudah menyatu dalam KTP Indonesia itu mesti dihapuskan.
Meskipun
ucapan Musdah Mulia ada yang menganggap sebagai suara Asbun (Asal bunyi) dari
Musdah Mulia, lantaran ketika Jokowi dikonfirmasi menolak ucapan
tersebut. Sepertinya Antara Tim Pemenangan Jokowi dan Jokowi sendiri sering
bersilang pendapat. Apakah ketika Jokowi mengucapkan tersebut karena desakan
pihak-pihak tertentu atau Musdah mulia hanya mendengarkan bisikan-bisikan jin
yang dikira suara Jokowi.
Terlepas
benar dan tidaknya bahwa Kolom Agama dalam KTP hendak dihapuskan tentu saja ada
beberapa hal yang sedikit banyak ikut menjadi dampak ketika kolom agama benar-benar
dihapuskan. Pertama bahwa kolom agama dalam KTP sebagai keterangan tentang
status agama seseorang, karena dengan statusnya dalam KTP maka ketika si
pemilik KTP ternyata meninggal dunia maka dia akan dishalatkan sesuai dengan
agama yang dianutnya. Sehingga tidak terkesan asal main urus, jenazah yang
beragama Islam dipaksa untuk dikremasi dan sebaliknya jenazah yang beragama
Kristen justru dishalatkan. Sesuatu yang tidak logis.
Alasan
kedua adalah sampai saat ini keberadaan KTP pun berpengaruh pada pendataan
penduduk Indonesia, berapa persenkah jumlah masing-masing umat beragama yang
dianut masing-masing agama. Tentu saja ketika data mengenai agama sudah
diketahui, tentu saja kebijakan pemerintah terkait hal-hal terkait urusan
kemanusiaan disesuaikan dengan jumlah agama yang dianutnya. Sehingga semua kebijakan berjalan lebih adil,
yang memiliki penganut lebih banyak hendaklah jumlah itung-itungan terkait
anggaran untuk urusan keagamaan juga disesuaikan. Bukan bersikap diskriminatif,
tapi lebih dari itu agar tidak terjadi penyimpangan.
Alasan
ketiga adalah bahwa keberadaan kolom agama di dalam KTP sebagai identitas
seseorang, ketika berurusan dengan masalah hukumpun sepatutnya para penganut
agama ini diurus oleh orang-orang yang seagama, tanpa banyak tanya, dan
menghindari pemalsuan identitas pribadi jika terlibat sebuah persoalan hukum.
Meskipun masih ada saja orang-orang yang memalsukan identitas agamanya karena sampai saat ini KTP pun masih
ada saja yang dipalsukan yang pasti terkait pengurusan administrasi
kependudukan serta aturan perkawinan mengacu dari kepemilikan KTP.
Alasan keempat, kenapa kolom KTP masih dianggap
perlu, karena sampai saat inipun persoalan agama dalam KTP tak menjadi
persoalan. Jika ada yang menganggap jika perbedaan KTP turut menjadi
diskriminasi dalam dunia kerja, toh saat ini diskriminasi masih ada di semua
negara. Tidak hanya di Indonesia, karena ada saja pemilik perusahaan yang
pilih-pilih pekerjanya dengan alasan agama, meskipun dalam KTP sudah tidak ada
kolom agama. Namun berbeda dengan Bank yang dikelola oleh CT Corp (Khairul
Tanjung). Ternyata pegawainya tidak diberhentikan meskipun beberapa pegawainya
bukan beragama Islam sebagaimana ditulis dalam buku biografi Khairul
Tanjung.
Selain persoalan agama dalam KTP yang tak perlu
diperdebatkan, karena agamaseseorang dikembalikan pada iman masing-masing,
meskipun KTP sebagai identitas yang pasti meskipun agama dalam KTPnya Islam
tidak berpengaruh pada pelaksanaan ibadah secara personal.
Justru saya menganggap ketika kolom agama dalam KTP
dihapus, maka Musdah Mulia menghendaki Indonesia didirikan dengan sistem
liberal. Agama akan dilepaskan dari negara. Sehingga mau tidak mau penganut
Islam akan kehilangan pengaruhnya dalam sistem di negara ini. Dampaknya
meskipun suara muslim mayoritas, pada tataran pemerintahan dan aturan
perundang-undangan justru terjadi kesenjangan. Padahal yang diharapkan umat
Islam adalah bagaimana pemerintah yang dipilih oleh mayoritas Islam dapat
mewakili suara Islam di republik ini. Termasuk diusulkannya perda syariah di
daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya menghendaki undang-undang syariah
berlaku di wilayahnya. Di mana undang-undang diberlakukan bagi umat Islam
sendiri. Sehingga umat Islam memiliki kesempatan untuk mendapatkan aturan hukum
sesuai dengan agama yang diyakini.
Kembali pada persoalan penghapusan agama pada kolom
KTP yang memang menjadi pro dan kontra, beberapa waktu lalu Musdah Mulia pun
menjadi pergunjingan di ranah media internet, bahkan pernah pula saya melihat
tayangan Youtube dalam acara Mata Najwa, di mana wawancara tersebut membahas
tentang ditentangnya undang-undang pornografi. Musdah berusaha kontra dengan
diterbitkannya undang-undang tersebut dengan beberapa alasan yang tidak logis,
bahkan terkesan Musdah ingin agama Islam diatur ala konsep liberal.
Ketika dihubungkan dengan keinginan Jokowi ingin
menghapus kolom agama dalam KTP, selayaknya ungkapan ini perlu dikaji
bersama-sama Jokowi, apakah memang Jokowi, dalam hal ini diwakili oleh Musdah
Mulia ingin menjadikan Indonesia sebagai negara liberal? Atau justru Musdah
Mulia sendiri yang ingin menciptakan konflik antara Jokowi dan pemilih serta
konstituennya meskipun saat ini Jokowi tengah mencari dukungan
sebanyak-banyaknya dari umat Islam dan kalangan pesantren.
Atau Jokowi sendiri yang ingin mendulang suara atas
rencananya menghapuskan kolom agama demi mendapatkan simpati dari penganut
sekuler?
Yang pasti semua dikembalikan kepada Jokowi sendiri,
jika beliau benar-benar ingin berencana menghapus kolom agama atau justru hanya
isu belaka, tentu saja wacana ini perlu diluruskan benar dan tidaknya. Namun
sekali lagi, mungkin Jokowi memunculkan ide ini
karena alasan-alasan tertentu yang dianggap mewakili masyarakat
Indonesia secara menyeluruh.
Salam Indonesia Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar