Minggu, 19 April 2015

Presiden Jokowi (hanya) Pelayan Rakyat, Benarkah?

Megawati Soekarnoputri
Gambar : Suasana Kongres ke IV PDIP di Bali 12 April 2015 (sumber: www.bbc.co.uk)
HUKUM DAN POLITIK Polemik pernyataan ibu Megawati terkait posisi Presiden Jokowi sebagai petugas partai sampai detik ini masih hangat untuk dibicarakan. Meskipun sebenarnya ungkapan petugas partai hak asasi Ibu Megawati selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang secara sah terpilih kembali pada Kongres PDIP ke IV di Bali tanggal 12 April lalu. Tentu saja meskipun istilah petugas partai menjadi hak ketum PDIP tersebut, tentu akan menjadi banyak penafsiran, dan secara otomatis menjadi silang pendapat apakah sampai sejauh ini Ketum PDIP beberapa periode tersebut masih saja mencengkeram kuat di pundak Presiden Jokowi? Tentu tidak semudah untuk diambil kesimpulan.
Apalagi sejauh ini Presiden Jokowi memang kader PDIP yang telah memenangkan kontestasi politik di negeri ini, sehingga amat wajar seorang Ketua Umum tetap menganggap kadernya sebagai petugas partai. Meskipun pada akhirnya Ibu Megawati menjadi bulan-bulanan netizen yang "tersinggung" dengan penyebutan petugas partai. Padahal secara historis seorang kader partai memang mendapatkan tugas "amanah" dari partai untuk mengelola negara ini dengan sebaik-baiknya beradasarkan konstitusi negara dan garis besar haluan partai tersebut.

Terkait elok dan tidak elok penggunaan istilah petugas partai, tentu akan berbeda antara PDIP sendiri selaku induknya Presiden Jokowi, dan rakyat pada umumnya yang merasa telah memilih semata-mata Jokowi secara personalnya, dan tidak mengaitkan dengan keberadaan PDIP selaku perahu yang membawanya memenangkan kontestasi politik tersebut.

Belum lagi ketika dipadu padankan dengan istilah "jongos" menurut para netizen, tentu akan berbeda prinsip dalam hal ini. Mengingat jongos atau babu sebenarnya cukup merendahkan presiden Jokowi yang memiliki kewenangan di negara ini. Belum lagi jika identitas petugas partai tersebut sengaja digulirkan demi menjerat kinerja Jokowi yang ingin melayani rakyat tapi justru "harus" melayani partai. Meskipun hal ini tidak terbukti.

Bagaimana tidak, beberapa agenda Ibu Megawati yang sejatinya ingin menempatkan presiden Jokowi selaku kader yang harus di bawah kendali mutlak partai ternyata sampai saat ini tidak terbukti. Dalam langkah kerjanya, banyak keputusan yang menurut beberapa pengamat adalah perintah Ketum PDIP tersebut, ternyata dianulis dan Presiden Jokowi ternyata memberikan keputusan berbeda. Budi Gunawan yang batal menjadi Kapolri lantaran tidak dilantik Presiden Jokowi. Presiden Jokowi tidak mau secara mentah-mentah menelan perintah atasanya di partai, disebabkan karena beliau lebih memilih suara rakyat, di mana suara rakyat sampai saat ini tidak menghendaki sosok yang tersangkut persoalan hukum untuk menjadi pejabat negara.

Satu keputusan di atas sudah menunjukkan meskipun dalam tataran partai beliau adalah benar petugas partai, tapi di tataran kebijakan sama sekali keluar dari konteks perintah partainya. Tentu saja beliau memandang jabatan Presiden adalah mengejawantahkan titah partai, akan tetapi tidak melawan dengan kehendak rakyat apalagi konstitusi RI sendiri.

Posisi presiden Jokowi akan jauh sekali bedanya dengan kepemimpinan Soeharto kala itu yang benar-benar menjadi ujung tombak keinginan partai berlambang pohon beringin tersebut.
Selain perbedaan yang mendasar apa yang dialami presiden Jokowi dengan presiden sebelumnya, beliau sangat tegas ingin memberantas korupsi, meskipun yang terlibat korupsi adalah "kawan" satu partainya.
Semua mekanisme penegakan hukum diberikan sepenuhnya kepada KPK dan Polri yang memang memiliki wewenang tersebut. Jadi indikasi bahwa Presiden Jokowi "mutlak" petugas partai nyatanya tidak terbukti. Beliau menghormati kebijakan partai karena beliau semata-mata sebagai seorang kader yang harus mengemban amanah partai dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi akan memiliki kemampuan untuk menolak jika apa yang diperintahkan oleh partai berseberangan dengan keinginan rakyat.

Boleh jadi dengan beberapa sikap independen Presiden Jokowi tatkala melawan titah Ketum Partai bisa disebut sebagai proses perlawanan. Dengan kata lain Presiden Jokowi benar-benar ingin menempatkan dirinya secara utuh sebagai presiden (kepala negara) dan bukan semata-mata sebagai petugas partai.

Namun, sayang sekali, cara Ibu Mega menyampaikan pidato seolah-olah beliau berada di atas posisi presiden, meskipun pada pertemuan itu kapasitas Presiden Jokowi seorang kader PDIP yang diundang oleh partai. Ketika dalam situasi segalanya terbuka, semua media meliput, mengomentari dan menafsirkan sendiri-sendiri istilah petugas partai tentu akan banyak muncul sentimen di dalamnya. Kesalahan dalam menggunakan kosa kata ternyata justru menjadi bola panas yang menghantam Jokowi dan Megawati sendiri selaku ketua umum terpilih.

Bahkan menurut beberapa pengamat, PDIP memang selamanya akan dibawah kendali Ibu Megawati, meskipun generasi sudah berubah, dan mantan Presiden Soekarno tidak pernah mengatakan bahwa kendali partai berada di bawah lingkungan keluarganya. Tapi itulah keanehan, meskipun ada banyak calon ketua umum yang sebenarnya memiliki kompetensi, ternyata tidak ada satupun yang berani menggantikan Megawati sebagai ketum yang baru.

Trah Soekarno turut menjadi fenomena yang tak terpecahkan sampai saat ini. Entah, apakah kader-kader PDIP sengaja membiarkan partai ini besar dahulu di bawah kepemimpinan Megawati, untuk kemudian diambil alih jika beliau sudah wafat? Entahlah. Yang pasti sejauh ini keberadaan Puan Maharani yang dielu-elukan dapat menggantikan posisi sentral Megawati ternyata masih jauh dari yang diharapkan.

Akhirnya, dalam situasi kongres dan posisi Presiden Jokowi adalah kader yang diundang, maka wajar saja ketua umumnya mengatakan bahwa beliau adalah petugas partai, wakil partai yang mengemban amanah rakyat. Bukan hanya Presiden Jokowi yang petugas partai, karena anggota legislatif, para menteri dan semua kader partai adalah semata-mata mengemban tugas dari partai. Namun demikian, bukan berarti harus menempatkan Jokowi atau presiden-presiden lainnya sebagai pesuruh yang tidak memiliki hak prerogratif atas kebijakannya sendiri selaku kepala negara.

Salam

MAA

Bagaiamana Jadinya Jika Kue Brownies Ditumpangi Ganja

Permalink gambar yang terpasang
Gambar: Brownies, sulit membedakan antara brownies dengan atau tanpa ganja (vivanews.com)
Baru-baru ini Kompas online merilis berita tentang penangkapan pembuat dan pengedar kue brownies yang dicampuri ganja. Narkoba kelas satu ini ternyata sengaja diedarkan dengan memanfaatkan kelengahan aparat. Mereka mengedarkannya dengan cara yang tidak lazim, mencampurkan narkoba ke dalam kue brownies.

Apa jadinya jika kue brownies pun tak luput dari campuran produk berbahaya tersebut? Konsumen yang boleh jadi hanya peminat kue, ternyata harus mengkonsumsi narkoba tanpa disengaja. Meskipun dugaan saya para pemesan kue tersebut hanyalah trik dan modus bagaimana mereka bisa menikmati narkoba tanpa diketahui oleh aparat Badan Narkotika Nasional (BNN).

Pembuat brownis dengan resep ganja tersebut membuka lapaknya di kawasan Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Mereka membuat kue tersebut sengaja untuk menutupi ulah buruknya menjajakan barang haram tersebut berharap tidak tercium oleh aparat. Seseorang dengan inisial IR (38 th) ini terendus pihak BNN tatkala kue yang disantap pelanggan yang kebetulan siswa SMP, justru membuat teler selama 2 hari. Kecurigaan akhirnya terbukti  setelah dicek di laboratorium, makanan tersebut mengandung THC, zat yang terdapat dalam ganja.

Tanpa menunggu lama, pihak BNN pun melakukan penyergapan dan ditemukan barang bukti beberapa paket ganja, adonan ganja dalam baskom yang siap dibuat menjadi kue dan tak hanya itu, ternyata selain menemukan paket ganja, BNN pun menemukan alat isap (bong) yang biasa digunakan oleh para pengguna narkoba (sabu). Diduga seperangkat alat hisap tersebut memang disediakan oleh pengedar setelah berhasil menjerat korbannya ke dalam pengaruh narkoba.

Produk makanan yang berbahaya ternyata tak hanya masyarakat umum, kalangan terpelajar, siswa SMP bahkan mungkin SD,  termasuk kalangan mahasiswa ternyata menjadi pelanggan tetap. Sebuah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Ketika Ganja dijadikan Bahan Makanan

Menurut informasi yang saya dapatkan beberapa waktu lalu, dari seorang pendatang yang kebetulan berasal dari Aceh, beliau menceritakan bahwa ganja sebenarnya bisa digunakan sebagai campuran bumbu masakan. Alasannya karena dengan narkoba tersebut masakan akan terasa lebih lezat. Semoga saja informasi ini tidak benar. Karena masyarakat Aceh adalah kaum agamawan dan menjaga tradisi leluhur yang menghindarkan diri dari makanan haram.

Namun anehnya, informan tersebut tanpa basa-basi menjelaskannya bahwa penggunaan ganja tersebut sudah sedari nenek moyang mereka. Mereka memang memanfaatkannya untuk tambahan bumbu dapur. Entahlah, apakah ini hanya modus peredaran narkoba secara terselubung atau memang benar adanya untuk mempergurih masakan. Yang pasti narkoba, termasuk ganja sampai saat ini masih tergolong zat berbahaya bagi penggunanya. Dan tak dapat digunakan untuk apapun termasuk dicampurkan dalam makanan.

Melihat fenomena peredaran ganja di tanah air dan kebetulan ketika terjadi penggerebekan ternyata barang haram tersebut banyak dihasilkan di wilayah Aceh.  Turut memicu perhatian orang tua, termasuk saya sendiri selaku orang tua semakin was-was. Apalagi beberapa waktu yang lampau menurut informasi didapati permen yang sengaja dicampur narkoba. Awalnya si anak menerima pemberian orang yang tak dikenal, karena narkoba adalah candu, lama kelamaan pengaruh zat adiktif tersebut merusak syaraf anak-anak, dan secara otomatis mereka menjadi pengguna dan pelanggan baru peredaran narkoba.

Tak hanya pada permen, karena perluasan peredaran ganja sudah masuk ke semua lini kehidupan. Tak heran jika kita menemukan segerombolan anak-anak yang awalnya tak mengenal narkoba ini, tiba-tiba ketagihan dan terjerat menjadi pengguna aktif tanpa bisa dicegah dan sulit disembuhkan.

Pemanfaatan Kantin (koperasi) sekolah dalam mengantisipasi makanan bercampur narkoba

Sebagai bagian pendidik di sekolah, sampai sejauh ini, pemanfaatan koperasi sekolah, termasuk di dalamnya kantin sekolah ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Karena sampai sejauh ini pula, saya masih banyak melihat sekolah-sekolah yang memiliki kantin, ternyata makanan yang dijual tidak memenuhi standar kesehatan. Banyak makanan ringan yang mengandung pengawet dan seringkali kontrol kadaluarsa kurang begitu dilakukan oleh sekolah.

Maka amat wajar, jika setiap tahun terdapat anak-anak yang menjadi korban makanan yang dijual bebas. Apalagi jika kantin tersebut dikelola oleh masyarakat umum yang kurang begitu memahami pengaruh makananan berbahaya bagi kesehatan.

Di samping pemanfaatan kantin sekolah yang tak memenuhi harapan, ternyata situasi ini dimanfaatkan oleh para pedagang nakal yang memanfaatkan kesukaan anak-anak akan makakan siap saji. Makanan yang dijual seringkali yang penting murah, tapi bahan yang digunakan ternyata tidak layak konsumsi.

Belum lagi makanan seperti sosis ternyata banyak pula yang diketemukan telah kadaluarsa dan berjamur. Ditambal lagi saus yang beredar rata-rata berasal dari produk sukabumi yang notabene diproduksi dari ampas pabrik singkong dicampur bahan kimia.

Terlihat sekali, pihak sekolah, dan dinas kesehatan kurang begitu respeck terhadap peredaran makanan tak layak konsumsi. Masyarakat seringkali kecolongan dengan makanan berbahaya meskipun makanan tersebut acapkali dijual di lingkungan pendidikan.

Mudah-mudahan, dinas terkait mulai mawas diri, dan melakukan pengecekan secara berkala terhadap makanan-makanan yang dijual di kantin atau warung-warung di sekitar sekolah, agar harapannya makanan yang dikonsumsi anak-anak kita benar-benar bebas dari barang berbahaya termasuk narkoba. Sehingga orang tua tidak perlu khawatir lagi terhadap makanan yang disantap oleh anak-anaknya.

Semoga

Sumber : Kompas.com

Andaikan Pejabatku Seperti Olga Syahputra

Billy Syahputra menggunggah foto yang memperlihatkan keadaan terbaru dari Olga Syahputra
Foto Billy dan Olga Syahputra tatkala terbaring sakit. Sumber showbiz.liputan6.com


HUKUM DAN POLITIK  Kurang lebih dua pekan jasad Olga Syahputra alias Yoga terbujur di peristirahatan terakhir. Sosok yang cukup menyita perhatian infotainment dan seluruh fans yang cukup kocak dan menghibur ini.

Di suasana haru pula tatkala jasad almarhum di semayamkan, ternyata yang membuat hati ini turut bertanya-tanya, apakah masih ada sosok yang berbudi baik sekaligus penghibur ini ada di negeri ini. Sosok yang selalu mengundang kontroversi karena kata-kata yang ceplas-ceplos, namun selalu ditunggu-tunggu bilakah tampil kembali di acara lawakan. Pria kelahiran 8 Februari 1983 ini ternyata menjadi fenomena bagi jagad selebritis di tanah air.

Sosok yang senantiasa membuat hati ini membaca, melihat dan tergugah akan keelokan sikap Olga sehingga tak sedikit para fans dan rakyat negeri ini yang mendoakan almarhum. Doa-doa yang dimunajatkan keharibaan Ilahi demi ampunan yang diberikan kepada Olga.

Tapi, ketika berbicara tentang kelembutan hati, ketulusan ketika membantu sesamanya, ternyata saya melihat ada yang kontradiktif di negeri ini. Di saat banyak orang yang mendoakan kepulangan Olga ke pangkuan Ilahi, ternyata rakyat turut mengelus dada dan prihatin atas ulah pejabat dan wakil rakyat di negeri ini.

Para wakil rakyat yang semestinya menjadi panutan, teladan dan tambatan hati bagi rakyat yang diwakilinya. Mereka dengan mudahnya bisa menyajikan tontonan menarik di senayan dengan program yang menyentuh kehidupan rakyat banyak, ternyata keadaannya justru berbalik arah. Mereka menunjukkan sikap yang kurang dewasa dalam bertingkah laku. Berduel, adu jotos dengan sesama wakil rakyat. Beda jauh dengan sang komedian tersebut, dalam kepulangannya ternyata tak beribu-ribu orang bahkan jutaan mungkin mendoakan beliau. Bagaimana dengan pejabat kita?

Itulah pembicaraan yang sampai saat ini selalu menyelingi setiap pertemuan saya dengan keluarga, memimpikan sosok yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat dengan kebijakan yang benar-benar menyentuh rakyat. Mereka berbicara sangat santun dan membuat kagum, dan keputusan mereka akan senantiasa dibaca sebagai keputusan yang terbaik dan ditunggu-tunggu oleh rakyat. Sosok para wakil rakyat yang ketika tiada akan selalu dicari-cari dan didoakan semoga diberikan kehidupan yang sejahtera.

Tapi, jika melihat program kerja para pejabat negeri ini, seakan-akan pikiran saya semakin tak jelas dalam menerka, apakah mereka benar-benar ingin mewakili rakyatnya atau justru kelompok dan kepentingan sendiri?

Berbeda jauh dengan Olga, di masa kehidupannya tak pernah ada kata menyerah ketika mencari rezeki yang halal. Tak pernah sedikitpun melalaikan tugasnya ketika harus mencintai dan mencukupi kebutuhan adik-adiknya. Dan tak pernah alpa, tatkala si miskin papa membutuhkan pertolongannya. Ia selalu hadir dan siap membantu siapa saja yang mengharapkan bantuannya.

Bagaimana dengan wakil rakyat kita? Coba saja dilihat, belum lama ini mereka beramai-ramai mengusulkan DP untuk mobil dinas yang nilainya ratusan juta rupiah, belum lagi permintaan gaji dan tunjangan yang juga tak sedikit. Apalagi akhir-akhir ini suhu politik semakin memanas. Seperti tak lekang oleh amarah dan intrik politik yang seakan-akan membuat negeri ini semakin tenggelan dalam kekalutan.

Padahal, ketika mereka bisa sedikit meniru bagaimana kerja keras pelawak satu ini dalam membantu sesama dan memenuhi kebutuhan keluarganya, tentu doa-doa rakyat akan mengalir deras pada mereka, jika rakyat melihat begitu concern-nya mereka tatkala memikirkan rakyat yang tengah dirundung persoalan hidup. Setiap hari ada saja rakyat yang mati lantaran himpitan ekonomi dan tak mampunya mencari pengobatan lantaran biaya yang tak mampu dijangkau.

Apalagi jika melihat betapa nilai rupiah seperti tak berharga, seolah-olah tak berguna uanng yang dicari selama sehari ketika harus dibelanjakan. Semua habis tanpa sisa dengan perolehan barang yang sedikit sekali. Dampaknya, meskipun sebulan bekerja, maka gali lubang hutang yang baru pun terjadi lagi.
Itulah gambaran yang memprihatinkan yang selama ini terjadi.

Seandainya wakil rakyat benar-benar mewakili rakyat, maka mereka tak kan meminta tunjangan aneh-aneh yang justru menyindir kesusahan rakyat. Mereka tak kan menunjukkan tontonan menyedihkan lantaran beradu jotos di ruang sidang. Itu jika wakil rakyat adalah benar-benar mewakili rakyatnya. Nah, kalau ternyata mereka tidak mewakili rakyatnya ya terserah saja.

Tapi, bagaimanapun juga, para wakil rakyat hendaknya melihat sepak terjang olga syahputra, bagaimana almarhum mengabdikan separuh hidupnya untuk kepentingan orang lain, meskipun di akhir hayatnya berakhir dalam kesakitan lantaran penyakit yang mendera.

Selamat jalan Olga Syahputra, semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat yang mulia di sisiNya.

Aamiin

MAA