Minggu, 25 Januari 2015

Style Keributan Bukan Gaya Mahasiswa


Mahasiswa Makassar hang tengah berdemonstrasi pasca kenaikan BBM

Saya tertarik dengan berita yang muncul di dua media onlie terkemuka di Indonesia, Kompas.com dan Republika.co.id. Dan mungkin berita dari kedua media online tersebut juga diikuti oleh media-media massa lainnya. Yakni memberitakan tentang kericuhan saat demo yaitu Demo BBM Ricuh: Itu Style Makassar

Sebenarnya sih kalimat ini terlihat kasar dan tendensius, tapi terkesan dianggap biasa saja. Apalagi pernyataan tersebut disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla setelah terjadi kericuhan antara mahasiswa UNM dengan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang kebetulan kericuhan diawali oleh dipanahnya seorang aparat kepolisian oleh mahasiswa, kemudian berlanjut kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap para demonstran dan wartawan.

Kalau boleh saya kutip secara langsung dari Media Online tersebut, di antaranya dari Kompas.com yang dirilis tanggal 14 November 2014,  sebagai berikut:

“Ada memang kemarin besar di UNM (Universitas Negeri Makassar), tapi diperbesar itu karena media juga. Baru mereka mau demo karena media itu. Begitu ada media, ngamuk, ngamuk, ngamuk. Begitu Anda pergi, berhenti lagi. Begitu style Makassar itu,” ujarnya.

Begitu juga Isi berita di Republika.co.id yang juga mengulas informasi yang relatif sama tentang kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Makassar, meskipun kejadian tersebut terjadi antara mahasiswa Universitas Negeri Makassar dan Aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, dengan merilis berita sebagai berikut:

“Menanggapi situasi di Makassar, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyebut kerusuhan yang terjadi merupakan gaya warga Makassar. “Di Makassar itu mahasiswa emang begitu. Dinamisnya apa saja semua di demo. Sebenernya kecil, tapi diperbesar itu, karena juga begitu mau demo ada media itu ngamuk-ngamuk, begitu media pergi berhenti lagi. Itu style Makassar,” ujar JK di Istana Wakil Presiden, Jumat (14/11). “

Sebenarnya kedua berita ini masih saya anggap biasa saja, lantaran demo yang berujung kericuhan tidak hanya di Makassar saja, akan tetapi juga terjadi di Lampung yang beberapa tahun lalu pra lengsernya Soeharto juga terjadi kericuhan, bahkan ada satu mahasiswa yang tewas.

Tapi melihat pernyataan yang sangat tendensius tesebut sepertinya logika saya langsung tersentak kaget, terkejut tanda tak percaya. Apakah memang mahasiswa diidentikkan dengan kekerasan dan pembuat kericuhan? Tentu kita semua tidak sepakat dengan pernyataan ini. Lantaran mahasiswa yang saya pahami adalah selalu mengedepankan semangat demokrasi yang beretika dan menyampaikan segalanya dengan jalan yang santun, arif dan bijaksana.

Secara pribadi meskipun saya bukan orang Makassar, saya kurang sepakat dengan pernyataan Pak Jusuf Kalla yang terkesan “menganggap” masyarakat Makassar menyukai kekerasan dalam menyampaikan gagasan atau opini dan penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Meskipun saya tahu bahwa karakter masyarakat Makassar memang lumayan keras, tapi jika dikaitkan “Style” dengan maksud memberikan stempel, dan stigma buruk bahwa masyarakat Makassar adalah masyarakat yang suka kekerasan adalah kurang saya sepakati. Entah, bagi mahasiswa Makassar apakah menerima pernyataan ini atau tidak. 

Apalagi jika dikaitkan dengan istilah Ngamuk-ngamuk selayaknya mahasiswa diidentikkan dengan sekelompok orang yang tidak punya aturan dan pendidikan, karena segalanya diselesiakan dengan mengamuk (marah yang kelewat batas).

Yang anehnya lagi, mengapa Pak Jusuf Kalla begitu mudahnya melontarkan pernyataan yang cukup kontroversial di media sedangkan Beliau adalah asli berasal dari Makassar? Bukankan pernyataan ini sama halnya dengan pribahasa “menepuk air di dulang terpercik muka sendiri?” Secara tidak langsung Pak Jusuf Kalla sudah menganggap masyarakat Makassar memiliki karakter buruk dengan aksi brutal tatkala melakukan demonstrasi. Padahal saya yakin pernyataan ini hakekatnya juga akan kembali pada Pak Wapres sendiri yang nota bene berasal dari daerah tersebut.

Saya kurang sepakat dengan stigma kekerasan adalah model atau style mahasiswa saat ini, karena yang saya pahami dari mahasiswa modern adalah mereka selalu menyuarakan aspirasi secara damai dan bukan kekerasan. Boleh kita melihat bagaimana mahasiswa Hongkong yang berdemo tanpa aksi kekerasan, bahkan meskipun mereka sudah menyuarakan aspirasi yang cukup lama dan tak didengar, faktanya demonstrasi tersebut tidak berujung ricuh.

Nah, seandainya kita tidak sepakat dengan kenaikan BBM kenapa aparat yang tengah bertugas mesti menjadi korban? Bukankan kenaikan BBM ini adalah murni rencana Presiden Jokowi dan Kabinetnya? Dengan alasan untuk dialihkan kepada bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat?

Dan apakah kita masih kurang sepakat bahwa kenaikan BBM inipun juga dirasakan oleh daerah lain? Faktanya sampai saat ini meskipun terjadi unjuk rasa di beberapa daerah pun tidak sampai menimbulkan kekerasan fisik.

Salam

Sumber : Kompas.com, Republika.co.id

FPI dan Ahok Ribut, Musyawarah Dong!

Demo tolak Ahok di depan DPRD Jakarta (merdeka.com)

Alhamdulillah saya masih bisa menyempatkan menulis di blog ini. Meskipun beberapa hari ini sinyal sangat lelet, jadi untuk menulis saja sudah susah apalagi mau memberikan komentar di tulisan terdahulu kayaknya juga lebih sulit. Jadi ya mohon maaf saja jika komentar belum sempat saya balas.

Seperti biasa, ketika melihat keributan di sana-sini sepertinya kog ya nggak habis-habis. Apa sengaja dibuat ribut, suka ribu atau memang karakternya memang suka keributan. Apa nggak kepingin damai, tenang tanpa kericuhan meskipun sedetik? Tapi kayaknya semua ingin hidup damai baik dalam kesendirian maupun ketika hidup berdampingan dengan tetangga, masyarakat lain yang tak sepaham maupun dengan yang berbeda prinsip. 

Inilah Indonesia, negara yang sebenarnya sudah merdeka dari dulu, tapi melihat kekisruhan di sana-sini sepertinya perlu diformat ulang, atau minimal di scan dengan antivirus terbaru, agar virus-virus yang menggerogoti fikiran penghuni negeri ini segera lenyap. Ah mustahil, meskipun bisa sih damai. 

Seandainya kedamaian benar-benar terbentuk di bumi Pancasila ini tentu karena paksaan. Negara bisa damai apa mesti karena kekerasan militer ala orde baru? di mana-mana damai karena satu saja riak kecil yang memancing keributan dan kekisruhan langsung di dor. Gak melihat dari kelompok mana, mau agama manapun kalau buat konflik ya sudah dihabisi. Tapi nyatanya meskipun suara-suara kritis dan kekerasan di jalanan dibungkam dengan paksa, faktanya rakyat adem ayem dan tak ada kekisruhan

Tapi apa iya, negara ini mau memakai cara kekerasan dalam mengatur rakyatnya? Semua harus diselesaikan dengan kekerasan? Main tangkep sana, tangkep sini, hukuman penjara tak pernah sepi, dan yang lebih miris lagi setelah diculik mereka tak pernah kembali karena aksi kritis mereka terhadap kebijakan dan pemimpin yang dianggap tidak mewakili kelompok tertentu. Semoga saja kita tak perlu lagi flashback ke masa lalu, karena masa lalu sangat pedih dan meninggalkan luka lama yang tak juga sembuh.

Begitu juga jika melihat kontradiksi terkait akan naiknya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke kursi Gubernur DKI Jakarta. Tapi anehnya kog ya kontradiksi atau perang opini hanya FPI (termasuk HTI) dan Ahok sendiri? Kenapa tidak ada organisasi Islam seperti misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain yang menyuarakan penentangan terhadap calon gubernur DKI Jakarta tersebut? Ada apa ini? Apakah benar-benar murni karena penilaian sporadis semata karena Ahok Kristen? Atau ada sisi gelap dan surat saksi yang dipegang oleh kedua belah pihak ini ketika mereka saling bertentangan. 

Apakah Ahok sudah menyakiti FPI dengan kata-kata yang kasar? karena di beberapa media menyebutkan bahwa FPI menolak Ahok lantaran kata-katanya yang kasar dan menyakiti hati umat Islam. Benarkah demikian? Atau memang semata-mata karena tidak ingin Jakarta dipimpin oleh umat yang berbeda. Padahal sudah bertahun-tahun daerah tersebut dipimpin oleh umat Islam, tapi kondisinya masih jalan di tempat, bahkan semakin parah.  Menyelesaikan sampah dan kumuhnya ibukota saja gak bisa diandelin.

Beruntung Jokowi bergandengan dengan Ahok yang ternyata bisa menyelesaikan-meskipun belum seratus persen) kerumitan ibukota. Tapi ini sebuah prestasi dan Jokowi ternyata tak pernah merasa ribet ketika bersama-sama bekerja dengan Ahok yang notabene memiliki keyakinan berbeda. Sebagai seorang kepala daerah tentu kebijakan berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah. Gak boleh mewakili keinginan individu dan kelompok. Jadi semuanya dikembalikan pada konstitusi. Jadi jika semua dikembalikan pada konstitusi maka semuanya akan terasa nyaman.

Tapi, anehnya, meskipun kepemimpinan Jokowi dan Ahok sudah cukup gemilang, dan ingin dilanjutkan oleh Ahok-jika pengangkatannya sesuai konstitusi- maka tidak ada yang patut dipersoalkan. Terkait pengangkatan langsung oleh DPRD karena undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah, maka sepatutnya DPRD yang harus memilih. Jadi tidak ada silang pendapat siapa yang akan naik jadi kepala daerah.

Jika persoalan naiknya seorang kepala daerah turut dibumbui dan diperuncung dengan sentimen agama, maka sudah dapat dipastikan sebuah pemerintahan meskipun di tingkat daerah akan carut marut, tak tentu arah dan semakin semrawut lantaran demo penolakan selalu muncul di sana-sini. Tapi sayangnya yang menolak adalah sebagian kecil dari kelompok umat Islam, FPI tidak mewakili keseluruhan umat Islam di Indonesia. Karena meskipun apa yang dilakukan oleh FPI dianggap sebagai perwakilan umat Islam di Indonesia, faktanya ada organisasi lain yang justru masih welcome dan terbuka dengan kepemimpinan dari penganut lain, dengan satu syarat tidak bertentangan dengan konstitusi.

Saya justru prihatin, penolakan kepemimpinan kepala daerah justru malah dimotori oleh sebagian umat Islam sendiri yang notabene harus mewakili umat Islam secara keseluruhan. Berbeda jika NU, Muhammadiyah  dan organisasi lain turut menolak Ahok, maka sudah dapat dipastikan keputusannya sangat mengerucut bahwa Ahok tak layak jadi geburner DKI Jakarta. Meskipun faktanya hanya FPI yang bersuara lantang.

Apakah penolakan Ahok murni karena beliau berbicara tak sopan? atau karena faktor agama?

Jika persoalannya karena Ahok tak sopan tentu menjadi masukan bagi Ahok agar dalam berbicara lebih mengedepankan etika kesopanan dan kesantunan. Mana mungkin seorang kepala daerah secara tidak langsung mengajarkan etika atau akhlak yang buruk kepada warganya. Ahok mesti berubah, sedikit mengerem dan memberikan ruang tenggang rasa dan teposeliro terhadap warga lain yang tak terbiasa dengan kata-kata kasar. Meski saya menilai kasarnya Ahok karena beliau tegas dan tak suka dengan pekerja yang lambann.

Namun demikian, karakter seseorang memang tidak bisa diubah oleh orang lain tapi murni karena Ahok sendiri yang ingin menata cara bicara dan kesantunan dalam pergaulan dengan bawahannya. Menurut saya demikian.

Nah, akan berbeda situasinya jika penolakan terhadap Ahok dipicu persoalan agama, maka sudah pasti sudah bertentangan dengan konstitusi, Pancasila dan UUD 45. Karena siapapun saja, entah latar belakang apapun berhak menjadi kepala daerah. Yang penting sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kenapa mesti menolak secara mentah-mentah calon pemimpin daerah dari agama lain jika semua orang berhak berpolitik? Seandainya setiap orang dilarang berpolitik karena alasan agama yang berbeda, alangkah menyedihkan dan ironi sekali pola pemerintahan seperti ini. Memobilisasi masa untuk menolak pemimpin yang berbeda agama. Tentu ini adalah preseden buruk dan menyedihkan. 

Bagaimana mungkin bangsa ini akan hidup berdampingan secara damai jika persoalan perbedaan agama tetap dipersoalkan. Biarkan saja perbedaan itu mengalir apa adanya, toh itu sudah fitrah dari Allah SWT. Semua dilahirkan membawa fitrahnya masing-masing. Terkait keharusan memeluk Islam, tentu dikembalikan bahwa prinsip agama ini adalah dakwah, mengajak, dan kalaupun tidak mau maka tidak boleh memaksa. Tunggu saja sampai Allah SWT memberikan hidayahNya kepada Ahok. Kalau masih juga tetap dalam agamanya, itu pun hak setiap warga negaranya karena sesuai dengan konstitusi.

Sekali lagi, jangan campur adukkan persoalan politik dengan agama, karena segalanya menjadi runyam. Boleh suka dengan pemimpin muslim tapi tak sedikit pemimpin muslim yang korupsi. Begitu juga boleh tidak suka yang non muslim, tapi banyak juga non muslim yang baik dan rela berjuang demi bangsanya.

Apa yang mesti dilakukan FPI dan Ahok?

Tidak ada kata lain selain rekonsiliasi, duduk bersama, musyawarah atau apalah yang bertujuan ada kesepakatan antaran calon non muslim ini dengan FPI atau dengan umat Islam secara keseluruhan. Karena ini penting demi jalannya roda pemerintahan yang lepas dari kebencian karena perbedaan agama.

Jika FPI ingin menghentikan Ahok, tentu mustahil bisa dilakukan meskipun dengan anarkisme sekalipun karena justru akan mencoreng umat Islam secara keseluruhan, apalagi jika mekanisme pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD, maka persoalan sudah selesai. Serahkan saja pada DPRD memilih siapa calon kepala daerah yang baru. Nah, berbeda jika seorang wagub bisa langsung naik menjadi gubernur maka inipun persoalan lain yang berbeda karena akan dilihat dari konstitusi yang ada.

Sudah, cukup sudah keributan lantaran kebencian dan perbedaan agama, bangsa ini tak kan pernah maju jika kita selalu ribut dengan keyakinan seseorang. Biarkan mereka yang berbeda menjalankan agamanya. Tak usah diganggu asalkan mereka juga tidak mengganggu peribadatan umat Islam.
Apakah pemerintah berhak membubarkan FPI? Lihat dulu duduk persoalannya dan ada tidak pelanggaran yang masif dilakukan oleh FPI kog sampai-sampai mesti dibubarkan? Jika tidak ada maka biarkan saja mereka berjalan apa adanya. Lain persoalan jika FPI justru melabrak konstitusi atau melanggar undang-undang dan membuat keributan maka pemerintah harus mengambil sikap.

Salam

Andaikan Kolom Agama pada KTP Benar-benar dihapus


Sambil istirahat saya kembali mengulas persoalan yang sepertinya amat gak penting tapi justru dampaknya sangat ribet di kemudian hari. Yakni persoalan isu yang beredar tentang dihapuskannya kolom agama dalam KTP di Indonesia. Gak perlu juga nyangkutin KTP negara lain. Masalah?

Pada tulisan yang lalu saya masih membahas tentang sangat urgennya keberadaan agama dalam KTP seseorang, yakni jika si empunya meninggal akan mudah mengidentifikasi jenazahnya. Tapi yang dimaksud di sini apabila orang-orang di sekitarnya tidak mengenali yang bersangkutan, entah karena mereka berasal dari keluarga yang jauh atau memang keluarganya sudah tidak ada lagi alias sebatangkara. 

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa jika seseorang tidak jelas identitas agamanya, maka orang lain akan sembarangan mengelola jenazah orang tersebut. Meskipun kita sama sekali belum melihat dia shalat bagi orang Islam, karena alasannya ketika dia shalat berarti dia beragama Islam. Meskipun banyak pula orang yang mengaku-ngaku Islam nggak tahunya hanya kedok untuk menipu. Sedangkan KTP mereka tak pernah membuatnya.

Karena meskipun ia belum diketahui pernah shalat ataupun tidak, jika dalam perjalanannya kebetulan hanya identitas KTP yang bertuliskan Islam, maka umat Islam wajib menyolatkan. Tapi bagi agama lain tentu akan diserahkan kepada pemangku agama yang bersangkutan agar mengurusnya dengan baik.

Terlepas dari urusan pengurusan jenazah, dalam kebutuhan administrasi pemerintahan pun akan menjadi sebuah kerumitan tersendiri. Meskipun mereka terang-terangan shalat dan mengaku beragama Islam tapi jika tidak ada KTP maka keberadaannya tidak diakui. Sebuah dokumen penting dalam berbagai kebutuhan.

Adapun kebutuhan yang sangat mendesak diperlukan KTP adalah ketika seseorang ingin menikah. Pihak PPN atau P3N tentu akan meminta berkas yang berkaitan dengan KTP seseorang. Tentu yang dilihat kejelasan nama calon pengantin, alamat jelas, status singgle, duda atau sudah menikah (masih beristri) yang pasti ditanyakan dalam proses pengurusan pernikahan, keaktifan KTP karena menyangkut faktor kependudukan apakah masih berdomisili atau tinggal di daerah tertentu atau sudah pindah karena semua tercatat dalam sistem administrasi pemerintahan. 

Dan yang tak dapat dianggap sepele adalah persoalan agama calon pengantin. Selama ini undang-undang yang mengatur pernikahan beda agama masih menjadi kontradiksi dan tentu dalam Islam diharamkan. Jadi keberadaan KTP akan semakin jelas, apakah yang bersangkutan sama-sama Islam atau tidak. Nah, jika keduanya sudah memiliki status yang jelas sama-sama beragama Islam maka terkait agama seseorang sudah dianggap clear.

Lalu bagaimana jika kolom KTP dihilangkan?

1. Setiap orang akan menganggap bahwa identitas agama seseorang tidaklah penting.

Hal ini sudah dapat dipastikan terjadi, karena ketika menganggap status agama dalam KTP tidak diperlukan maka mereka akan muncul istilah Islamophobia (ketakutan terhadap Islam). Mereka tidak mau secara terang-terangan menunjukkan identitas agama dirinya dengan alasan ketakutan, dan takut diancam karena memiliki agama yang berbeda. Padahal identitas tersebut sebagai bukti bahwa ia memang sudah beragama Islam. Apalagi jika ada pihak-pihak yang ingin mengetahui identitas agama seseorang maka cukuplah melihat KTP maka akan diketahui dengan mudah.

Kenapa takut memiliki status agama tertentu di KTP jika tujuannya baik? Kecuali Anda ingin menyembunyikan identitas pribadi demi sebuah kejahatan. Setiap orang bisa saja mengaku-ngaku Islam atau agama apapun demi mencari keuntungan. Bisa saja seseorang berpakaian putih, pake kopiah putih, shalat di masjid terlihat khusyuk tapi justru ingin menyebarkan paham yang menyesatkan umat Islam.

2. Akan munculnya pernikahan beda agama

Kekhawatiran kedua adalah ketika kolom agama dalam KTP dihapus, maka akan muncul pernikahan beda agama. Hingga usulan disyahkannya pernikahan beda agama masih diharamkan dalam Islam, karena memang hukumnya haram alias dilarang. Jadi ketika kolom agama dalam KTP tidak ada maka sudah dapat dipastikan seseorang muda saja mengaku-ngaku Islam tapi ternyata tidak menganut agama ini, atau justru penganut ateis.

Apa yang terjadi jika dalam pernikahan Islam yang disucikan tersebut justru para pengantinnya adalah pasangan beda agama? apakah tidak sama halnya sebagai upaya melegalkan kumpul kebo? karena pernikahan mereka tidak syah secara agama. Silahkan saja yang ingin mencari sensasi menikah di negeri lain yang lebih liberal demi mendapatkan keabsahan pernikahan mereka meskipun perjalanan keluarga ini selamanya diharamkan karena melakukan zina.

Masih ada banyak hal yang justru membuat rumit jika kolom agama dalam KTP benar-benar dihapus karena berhubungan pada hal-hal yang bersifat prinsipil dan menyangkut muamalah seseorang.
Isu penghapusan agama dalam KTP semoga saja hanya angin lalu atau isu yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tak beragama karena ingin menyebarkan ajaran sesatnya kepada umat yang sudah beragama. Munculnya ajaran komunisme di Indonesia yang sudah pasti bertentangan dengan Pancasila, UUD 45 dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Salam

Adian Napitupulu Tertidur, Partai Tercoreng dan Media Terancam

Adian Napitupulu tertidur saat sidang cukup menarik perhatian dari media dan netizen (merdeka.com)


Akhir-akhir ini dunia persilatan Dewan Perwakilan Rakyat sedikit gempar, tak hanya kalangan dewan yang terhormat, kalangan orang kampung pun membicarakan sosok anggota dewa dari PDI-P yang tertidur di ruang parlemen. Seperti diberitakan oleh Tempo  beberapa waktu lalu.

Meskipun jelas-jelas tertidur saat sidang, anggota dewan ini lekas-lekas memembantah dan berkilah bahwa dia hanya merem alias mejem tapi masih fokus dalam tugasnya. Dan anehnya lagi, karena dirinya dijepret wartawan, beliau hendak melaporkan media yang memberitakan dirinya ke pihak kepolisian. Aneh.

Banyak cibiran dan hujatan yang diarahkan kepada sosok beliau. Bahkan bagi lawan politik akan langsung menghujat habis-habisan, sambil berujar o..o..o begini ya seorang anggota dewan kerjaannya tidur melulu di kursi empuk dewan?

Meskipun demikian tidak sedikit pula yang membela, dan mengelus-elus dada Adian agar tidak esmosi karena menganggap tidurnya seorang anggota dewan dianggap biasa saja. Tentu ada pihak yang menyerang dan membela, itu sudah ada dalam kamus politik di Indonesia. Yang lawan dihujat dan yang kawan dipuji-puji meskipun masuk ke lubang buaya sekalipun.

Adian Napitupulu adalah salah satu sosok yang menjadi racun dan penyakit bagi sebuah partai besar seperti PDI-P, yang tentu saja akan merusak citra partai yang saat ini tengah berjuang mensukseskan kerja Presiden Joko Widodo. Kasus ini sebenarnya tidak kali ini saja terjadi, karena kasus anggota dewan tersebut pun terjadi pada partai lain, entah tertidur, ketiduran, sengaja merem atau sampai ngiler yang pasti dunia saat ini memperhatikan abdi masyarakat ini dalam bekerja. 

Apakah mereka benar-benar mikirin rakyat atau justru tengah asyik-asyiknya memikirkan dirinya sendiri dengan gaji yang aduhai. Saat ini berbeda dengan tempo dulu, di mana seorang anggota dewan begitu bebasnya tidur di dalam ruang sidang karena sidang selalu tertutup media. Nah, sekarang semua media menyorot dan memberitakan apapun yang dilakukan mereka. Seandainya mereka tak takut kamera 

Tuhan yang menyorot kegiatan mereka, kamera manusia menjadi saksi bagaimana hakekatnya pelaksanaan tugas mereka.

Tidak hanya Adian Napitupulu, kala itu Arifianto kedapatan tengah membuka situs porno pun membuat heboh dunia berita. Kebetulan Tempo.co juga media yang memberitakannya.  PKS dan Islamlah yang menjadi korban hujatan dan cibiran, oo begini ya partai Islam ini? kata mereka yang berseberangan. Dan itu wajar terjadi, siapapun yang salah tentu hukum sosial dan negara akan siap-siap menghadang. Tidak hanya penjara, bisa juga dipecat dari partai karena ulah konyolnya ini.

Tapi apakah pemecatan akan berlaku pula pada Adian karena telah mencemarkan nama baik dewan dan partai yang mengusungnya? Kayaknya sih nggak mungkin, karena nama baik partai semakin terancam. Dan benar, seketika itu pihak Adian dan Sekjen PDIP justru membahas pembelaan kenapa hanya dirinya yang diberitakan padahal ada anggota dewan yang tidur selain dirinya.

Menolaknya pemberitaan yang dilakukan Tempo, tentu menjadi preseden buruk bagi pers nasional karena saat ini menunjukkan sinyal negatif tidak boleh sembarangan membuat berita tentang seorang politisi. Padahal sejatinya apapun itu, tidak ada alasan tidur ketika sidang berlangsung. Tidak hanya berlaku bagi partai kecil, partai besar PDI-P pun sepatutnya tidak mentolerir, karena akan berseberangan dengan semangat Presiden Jokowi, dengan moto Kerja-kerja dan kerja, bukan tidur-tidur dan tidur.

Dan yang lebih aneh lagi, meski sudah bersalah, Adian tak segan-segan ingin melaporkan media yang memberitakannya dengan alasan yang sangat politis dan terkesan membela diri.
Nah, jika berita saja diatur-atur bagaimana kinerja mereka bisa dikontrol?

Salam

Sumber : Tempo.co, Kompas.com

Penghapusan Kolom Agama pada KTP

Pertanyaan dari judul tulisan ini sebenarnya akan banyak terlontar dan tersimpan dalam benak kita masing-masing yang katanya beragama, baik secara spontan atau tidak mereka akan mengatakan  “tidak mau” atau menolak jika keyakinan seorang diabaikan demi alasan hak untuk tidak diumumkan secara publik.

Tidak hanya bagi penganut Kristen yang menolak, penganut Islam pun akan berang jika dirinya yang muslim harus dikuburkan secara Kristen atau agama lain yang tak sesuai dengan akidahnya.

Paling tidak gambaran sederhana inilah yang sepatutnya menjadi pertimbangan antara perlu  dan tidaknya, sepele dan riskannya sebuah agama di dalam kolom KTP. Tidak mentang mentang Islam yang mayoritas dianggap memaksakan kehendak, atau tidak mentang mentang minoritas merasa tertindas, karena adanya agama dalam KTP. Tapi, kepentingan ini hakekatnya sebuah kebutuhan bagi semua penganut agama. Meskipun bagi kalangan tak beragama mau dikubur atau tidak pun sepertinya tak jadi persoalan. Karena selama ini tergantung dari agama masing-masing bagaimana cara menguburkan jenazah atas anggota keluarga mereka yang sudah meninggal.

Lalu, pertanyaannya bagaimana dengan yang menganut aliran kepercayaan? Sepertinya inipun tak perlu dirisaukan. Seandainya mereka ingin diakui sebagai keyakinan non agama, maka sepatutnya mendaftarkan dirinya ke pihak yang berwenang agar mudah dalam mengidentifikasi.

Karena selama ini kesan yang muncul pemerintah tidak mengakomodir sekelompok orang yang menganut aliran kepercayaan, meskipun sejak dari dahulu masih ada saja penganut aliran kepercayaan yang tetap tidak dipaksa pemerintah untuk mengikuti ajaran agama tertentu. Seperti misalnya mereka tertulis Islam atau agama lain, toh dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak pernah dipaksa. Mau shalat atau ke gereja terserah mereka karena itu urusan masing-masing. Pemerintah hanya memfasilitasi kolom agama dalam Kartu keluarga dan KTP agar mudah dalam mengidentifikasi keyakinan seseorang.

Hikmahnya adalah ketika kolom agama masih ada, maka dari manapun mereka berasal ketika meninggal tidak asal dalam mengurus jenazahnya. Yang Islam diurus secara Islam dan yang non Islam pun demikian. Kecuali dalam aliran tertentu yang sama sekali tidak berkiblat pada agama tertentu. Tentu mereka pun akan diakomodir dengan memberikan hak seluas-luasnya dalam menguburkan anggota keluarga mereka.

Selain tak patutnya menghapus kolom agama, sepatutnya dikembalikan kepada si pemilik KTP, apakah mereka bersedia diberikan identitas agama tertentu atau tidak, itu semua hak warga negara. Sekali lagi pemerintah hanya mengakomodir semua keyakinan yang berkembang di Indonesia asalkan sesuai dengan konstitusi yang legal dan tidak dilarang menurut UUD 45 dan Pancasila.
 
Isu Penghapusan Kolom KTP, Sekedar Ajang Promosi Proyek

Boleh percaya atau tidak, isu penghapusan kolom KTP dapat diduga semata-mata karena ingin mengesahkan proyek baru dalam pembuatan KTP, di mana pembuatan KTP elektronik saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi ketika ingin memformat ulang KTP baru tentu harus melakui undang-undang dan proyek besar di Kemendagri. Meskipun dugaan ini pun tidak selamanya benar.

Yang pasti, jika KTP lama akan diubah formatnya maka semestinya melalui pengusulan lewat proyek seperti proyek-proyek sebelumnya. Tapi apapun itu, inti persoalan adalah tetap pada eksistensi KTP itu sendiri yang menyangkut hubungan sosial di lingkungannya. Jika seseorang memiliki identitas agama, maka keberadaan agama seseorang akan diakui dan dihargai.
 
Isu kedua penghapusan KTP karena munculnya paham komunis di Indonesia

Benarkah demikian? Tentu isu ini bisa benar dan bisa juga salah. Yang pasti bagi siapapun yang ingin keyakinannya diakomodir mereka pun harus jujur keyakinan apa yang mereka miliki, apakah agama tertentu, aliran kepercayaan atau justru tak beragama (ateis).

Seandainya Indonesia dengan keberadaan penganut agama ini menghendaki kolom agama tidak dihapus, maka secara suara terbanyak tak selayaknya pemerintah menghapuskan secara sepihak. Tapi jika ternyata semua agama sepakat kolom agama dihapus, maka secara otomatis menjadi jalan yang lebar bagi kemendagri untuk menghapuskan kolom KTP ini.

Implikasinya, setelah agama seseorang dalam KTP dihapus maka tidak ada pihak-pihak yang menutut pemerintah atau merasa dirugikan dengan keputusan tersebut.

Menganut agama apapun adalah hak, dan itu sesuai dengan konstitusi kita, tapi memaksakan dan memproklamirkan sebuah keyakinan tertentu tanpa dasar hukumnya maka itu adalah penyesatan. Dampaknya akan muncul gesekan-gesekan sosial yang tak dapat dihindari jika satu kelompok kecil yang mengklaim memiliki agama tertentu atau keyakinan tertentu sedangkan mereka tidak terdaftar dan belum legal secara undang-undang.

Akan mudahnya muncul kelompok-kelompok kecil agama tertentu yang sengaja memancing kekisruhan karena merasa memiliki agama tapi berbeda nabi dan kitab yang menjadi rujukannya.

Salam