Demo tolak Ahok di depan DPRD Jakarta (merdeka.com) |
Alhamdulillah
saya masih bisa menyempatkan menulis di blog ini. Meskipun beberapa hari ini sinyal sangat lelet, jadi untuk menulis saja sudah
susah apalagi mau memberikan komentar di tulisan terdahulu kayaknya juga lebih
sulit. Jadi ya mohon maaf saja jika komentar belum sempat saya balas.
Seperti
biasa, ketika melihat keributan di sana-sini sepertinya kog ya nggak habis-habis.
Apa sengaja dibuat ribut, suka ribu atau memang karakternya memang suka
keributan. Apa nggak kepingin damai, tenang tanpa kericuhan meskipun sedetik?
Tapi kayaknya semua ingin hidup damai baik dalam kesendirian maupun ketika
hidup berdampingan dengan tetangga, masyarakat lain yang tak sepaham maupun
dengan yang berbeda prinsip.
Inilah Indonesia, negara yang sebenarnya
sudah merdeka dari dulu, tapi melihat kekisruhan di sana-sini sepertinya perlu
diformat ulang, atau minimal di scan dengan antivirus terbaru, agar virus-virus
yang menggerogoti fikiran penghuni negeri ini segera lenyap. Ah mustahil,
meskipun bisa sih damai.
Seandainya kedamaian benar-benar terbentuk di bumi
Pancasila ini tentu karena paksaan. Negara bisa damai apa mesti karena kekerasan
militer ala orde baru? di mana-mana damai karena satu saja riak kecil yang
memancing keributan dan kekisruhan langsung di dor. Gak melihat dari kelompok
mana, mau agama manapun kalau buat konflik ya sudah dihabisi. Tapi nyatanya
meskipun suara-suara kritis dan kekerasan di jalanan dibungkam dengan paksa,
faktanya rakyat adem ayem dan tak ada kekisruhan
Tapi apa
iya, negara ini mau memakai cara kekerasan dalam mengatur rakyatnya? Semua
harus diselesaikan dengan kekerasan? Main tangkep sana, tangkep sini, hukuman
penjara tak pernah sepi, dan yang lebih miris lagi setelah diculik mereka tak
pernah kembali karena aksi kritis mereka terhadap kebijakan dan pemimpin yang
dianggap tidak mewakili kelompok tertentu. Semoga saja kita tak perlu lagi
flashback ke masa lalu, karena masa lalu sangat pedih dan meninggalkan luka
lama yang tak juga sembuh.
Begitu juga
jika melihat kontradiksi terkait akan naiknya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke
kursi Gubernur DKI Jakarta. Tapi anehnya kog ya kontradiksi atau perang opini
hanya FPI (termasuk HTI) dan Ahok sendiri? Kenapa tidak ada organisasi Islam
seperti misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain yang menyuarakan
penentangan terhadap calon gubernur DKI Jakarta tersebut? Ada apa ini? Apakah
benar-benar murni karena penilaian sporadis semata karena Ahok Kristen? Atau
ada sisi gelap dan surat saksi yang dipegang oleh kedua belah pihak ini ketika
mereka saling bertentangan.
Apakah Ahok sudah menyakiti FPI dengan kata-kata
yang kasar? karena di beberapa media menyebutkan bahwa FPI menolak Ahok
lantaran kata-katanya yang kasar dan menyakiti hati umat Islam. Benarkah
demikian? Atau memang semata-mata karena tidak ingin Jakarta dipimpin oleh umat
yang berbeda. Padahal sudah bertahun-tahun daerah tersebut dipimpin oleh umat
Islam, tapi kondisinya masih jalan di tempat, bahkan semakin parah.
Menyelesaikan sampah dan kumuhnya ibukota saja gak bisa diandelin.
Beruntung
Jokowi bergandengan dengan Ahok yang ternyata bisa menyelesaikan-meskipun belum
seratus persen) kerumitan ibukota. Tapi ini sebuah prestasi dan Jokowi ternyata
tak pernah merasa ribet ketika bersama-sama bekerja dengan Ahok yang notabene
memiliki keyakinan berbeda. Sebagai seorang kepala daerah tentu kebijakan
berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah. Gak boleh mewakili keinginan
individu dan kelompok. Jadi semuanya dikembalikan pada konstitusi. Jadi jika
semua dikembalikan pada konstitusi maka semuanya akan terasa nyaman.
Tapi,
anehnya, meskipun kepemimpinan Jokowi dan Ahok sudah cukup gemilang, dan ingin
dilanjutkan oleh Ahok-jika pengangkatannya sesuai konstitusi- maka tidak ada
yang patut dipersoalkan. Terkait pengangkatan langsung oleh DPRD karena
undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah, maka sepatutnya DPRD yang
harus memilih. Jadi tidak ada silang pendapat siapa yang akan naik jadi kepala
daerah.
Jika
persoalan naiknya seorang kepala daerah turut dibumbui dan diperuncung dengan
sentimen agama, maka sudah dapat dipastikan sebuah pemerintahan meskipun di
tingkat daerah akan carut marut, tak tentu arah dan semakin semrawut lantaran
demo penolakan selalu muncul di sana-sini. Tapi sayangnya yang menolak adalah
sebagian kecil dari kelompok umat Islam, FPI tidak mewakili keseluruhan umat
Islam di Indonesia. Karena meskipun apa yang dilakukan oleh FPI dianggap
sebagai perwakilan umat Islam di Indonesia, faktanya ada organisasi lain yang
justru masih welcome dan terbuka dengan kepemimpinan dari penganut lain,
dengan satu syarat tidak bertentangan dengan konstitusi.
Saya justru
prihatin, penolakan kepemimpinan kepala daerah justru malah dimotori oleh
sebagian umat Islam sendiri yang notabene harus mewakili umat Islam secara
keseluruhan. Berbeda jika NU, Muhammadiyah dan organisasi lain turut
menolak Ahok, maka sudah dapat dipastikan keputusannya sangat mengerucut bahwa
Ahok tak layak jadi geburner DKI Jakarta. Meskipun faktanya hanya FPI yang
bersuara lantang.
Apakah
penolakan Ahok murni karena beliau berbicara tak sopan? atau karena faktor
agama?
Jika
persoalannya karena Ahok tak sopan tentu menjadi masukan bagi Ahok agar dalam
berbicara lebih mengedepankan etika kesopanan dan kesantunan. Mana mungkin
seorang kepala daerah secara tidak langsung mengajarkan etika atau akhlak yang
buruk kepada warganya. Ahok mesti berubah, sedikit mengerem dan memberikan
ruang tenggang rasa dan teposeliro terhadap warga lain yang tak terbiasa dengan
kata-kata kasar. Meski saya menilai kasarnya Ahok karena beliau tegas dan tak
suka dengan pekerja yang lambann.
Namun
demikian, karakter seseorang memang tidak bisa diubah oleh orang lain tapi
murni karena Ahok sendiri yang ingin menata cara bicara dan kesantunan dalam
pergaulan dengan bawahannya. Menurut saya demikian.
Nah, akan
berbeda situasinya jika penolakan terhadap Ahok dipicu persoalan agama, maka
sudah pasti sudah bertentangan dengan konstitusi, Pancasila dan UUD 45. Karena
siapapun saja, entah latar belakang apapun berhak menjadi kepala daerah. Yang
penting sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kenapa mesti
menolak secara mentah-mentah calon pemimpin daerah dari agama lain jika semua
orang berhak berpolitik? Seandainya setiap orang dilarang berpolitik karena
alasan agama yang berbeda, alangkah menyedihkan dan ironi sekali pola
pemerintahan seperti ini. Memobilisasi masa untuk menolak pemimpin yang berbeda
agama. Tentu ini adalah preseden buruk dan menyedihkan.
Bagaimana mungkin
bangsa ini akan hidup berdampingan secara damai jika persoalan perbedaan agama
tetap dipersoalkan. Biarkan saja perbedaan itu mengalir apa adanya, toh itu
sudah fitrah dari Allah SWT. Semua dilahirkan membawa fitrahnya masing-masing.
Terkait keharusan memeluk Islam, tentu dikembalikan bahwa prinsip agama ini
adalah dakwah, mengajak, dan kalaupun tidak mau maka tidak boleh memaksa.
Tunggu saja sampai Allah SWT memberikan hidayahNya kepada Ahok. Kalau masih juga
tetap dalam agamanya, itu pun hak setiap warga negaranya karena sesuai dengan
konstitusi.
Sekali lagi,
jangan campur adukkan persoalan politik dengan agama, karena segalanya menjadi
runyam. Boleh suka dengan pemimpin muslim tapi tak sedikit pemimpin muslim yang
korupsi. Begitu juga boleh tidak suka yang non muslim, tapi banyak juga non
muslim yang baik dan rela berjuang demi bangsanya.
Apa yang
mesti dilakukan FPI dan Ahok?
Tidak ada
kata lain selain rekonsiliasi, duduk bersama, musyawarah atau apalah yang
bertujuan ada kesepakatan antaran calon non muslim ini dengan FPI atau dengan
umat Islam secara keseluruhan. Karena ini penting demi jalannya roda
pemerintahan yang lepas dari kebencian karena perbedaan agama.
Jika FPI
ingin menghentikan Ahok, tentu mustahil bisa dilakukan meskipun dengan
anarkisme sekalipun karena justru akan mencoreng umat Islam secara keseluruhan,
apalagi jika mekanisme pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD, maka
persoalan sudah selesai. Serahkan saja pada DPRD memilih siapa calon kepala
daerah yang baru. Nah, berbeda jika seorang wagub bisa langsung naik menjadi
gubernur maka inipun persoalan lain yang berbeda karena akan dilihat dari
konstitusi yang ada.
Sudah, cukup
sudah keributan lantaran kebencian dan perbedaan agama, bangsa ini tak kan
pernah maju jika kita selalu ribut dengan keyakinan seseorang. Biarkan mereka
yang berbeda menjalankan agamanya. Tak usah diganggu asalkan mereka juga tidak
mengganggu peribadatan umat Islam.
Apakah
pemerintah berhak membubarkan FPI? Lihat dulu duduk persoalannya dan ada tidak
pelanggaran yang masif dilakukan oleh FPI kog sampai-sampai mesti dibubarkan?
Jika tidak ada maka biarkan saja mereka berjalan apa adanya. Lain persoalan
jika FPI justru melabrak konstitusi atau melanggar undang-undang dan membuat
keributan maka pemerintah harus mengambil sikap.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar