Minggu, 25 Januari 2015

FPI dan Ahok Ribut, Musyawarah Dong!

Demo tolak Ahok di depan DPRD Jakarta (merdeka.com)

Alhamdulillah saya masih bisa menyempatkan menulis di blog ini. Meskipun beberapa hari ini sinyal sangat lelet, jadi untuk menulis saja sudah susah apalagi mau memberikan komentar di tulisan terdahulu kayaknya juga lebih sulit. Jadi ya mohon maaf saja jika komentar belum sempat saya balas.

Seperti biasa, ketika melihat keributan di sana-sini sepertinya kog ya nggak habis-habis. Apa sengaja dibuat ribut, suka ribu atau memang karakternya memang suka keributan. Apa nggak kepingin damai, tenang tanpa kericuhan meskipun sedetik? Tapi kayaknya semua ingin hidup damai baik dalam kesendirian maupun ketika hidup berdampingan dengan tetangga, masyarakat lain yang tak sepaham maupun dengan yang berbeda prinsip. 

Inilah Indonesia, negara yang sebenarnya sudah merdeka dari dulu, tapi melihat kekisruhan di sana-sini sepertinya perlu diformat ulang, atau minimal di scan dengan antivirus terbaru, agar virus-virus yang menggerogoti fikiran penghuni negeri ini segera lenyap. Ah mustahil, meskipun bisa sih damai. 

Seandainya kedamaian benar-benar terbentuk di bumi Pancasila ini tentu karena paksaan. Negara bisa damai apa mesti karena kekerasan militer ala orde baru? di mana-mana damai karena satu saja riak kecil yang memancing keributan dan kekisruhan langsung di dor. Gak melihat dari kelompok mana, mau agama manapun kalau buat konflik ya sudah dihabisi. Tapi nyatanya meskipun suara-suara kritis dan kekerasan di jalanan dibungkam dengan paksa, faktanya rakyat adem ayem dan tak ada kekisruhan

Tapi apa iya, negara ini mau memakai cara kekerasan dalam mengatur rakyatnya? Semua harus diselesaikan dengan kekerasan? Main tangkep sana, tangkep sini, hukuman penjara tak pernah sepi, dan yang lebih miris lagi setelah diculik mereka tak pernah kembali karena aksi kritis mereka terhadap kebijakan dan pemimpin yang dianggap tidak mewakili kelompok tertentu. Semoga saja kita tak perlu lagi flashback ke masa lalu, karena masa lalu sangat pedih dan meninggalkan luka lama yang tak juga sembuh.

Begitu juga jika melihat kontradiksi terkait akan naiknya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke kursi Gubernur DKI Jakarta. Tapi anehnya kog ya kontradiksi atau perang opini hanya FPI (termasuk HTI) dan Ahok sendiri? Kenapa tidak ada organisasi Islam seperti misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain yang menyuarakan penentangan terhadap calon gubernur DKI Jakarta tersebut? Ada apa ini? Apakah benar-benar murni karena penilaian sporadis semata karena Ahok Kristen? Atau ada sisi gelap dan surat saksi yang dipegang oleh kedua belah pihak ini ketika mereka saling bertentangan. 

Apakah Ahok sudah menyakiti FPI dengan kata-kata yang kasar? karena di beberapa media menyebutkan bahwa FPI menolak Ahok lantaran kata-katanya yang kasar dan menyakiti hati umat Islam. Benarkah demikian? Atau memang semata-mata karena tidak ingin Jakarta dipimpin oleh umat yang berbeda. Padahal sudah bertahun-tahun daerah tersebut dipimpin oleh umat Islam, tapi kondisinya masih jalan di tempat, bahkan semakin parah.  Menyelesaikan sampah dan kumuhnya ibukota saja gak bisa diandelin.

Beruntung Jokowi bergandengan dengan Ahok yang ternyata bisa menyelesaikan-meskipun belum seratus persen) kerumitan ibukota. Tapi ini sebuah prestasi dan Jokowi ternyata tak pernah merasa ribet ketika bersama-sama bekerja dengan Ahok yang notabene memiliki keyakinan berbeda. Sebagai seorang kepala daerah tentu kebijakan berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah. Gak boleh mewakili keinginan individu dan kelompok. Jadi semuanya dikembalikan pada konstitusi. Jadi jika semua dikembalikan pada konstitusi maka semuanya akan terasa nyaman.

Tapi, anehnya, meskipun kepemimpinan Jokowi dan Ahok sudah cukup gemilang, dan ingin dilanjutkan oleh Ahok-jika pengangkatannya sesuai konstitusi- maka tidak ada yang patut dipersoalkan. Terkait pengangkatan langsung oleh DPRD karena undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah, maka sepatutnya DPRD yang harus memilih. Jadi tidak ada silang pendapat siapa yang akan naik jadi kepala daerah.

Jika persoalan naiknya seorang kepala daerah turut dibumbui dan diperuncung dengan sentimen agama, maka sudah dapat dipastikan sebuah pemerintahan meskipun di tingkat daerah akan carut marut, tak tentu arah dan semakin semrawut lantaran demo penolakan selalu muncul di sana-sini. Tapi sayangnya yang menolak adalah sebagian kecil dari kelompok umat Islam, FPI tidak mewakili keseluruhan umat Islam di Indonesia. Karena meskipun apa yang dilakukan oleh FPI dianggap sebagai perwakilan umat Islam di Indonesia, faktanya ada organisasi lain yang justru masih welcome dan terbuka dengan kepemimpinan dari penganut lain, dengan satu syarat tidak bertentangan dengan konstitusi.

Saya justru prihatin, penolakan kepemimpinan kepala daerah justru malah dimotori oleh sebagian umat Islam sendiri yang notabene harus mewakili umat Islam secara keseluruhan. Berbeda jika NU, Muhammadiyah  dan organisasi lain turut menolak Ahok, maka sudah dapat dipastikan keputusannya sangat mengerucut bahwa Ahok tak layak jadi geburner DKI Jakarta. Meskipun faktanya hanya FPI yang bersuara lantang.

Apakah penolakan Ahok murni karena beliau berbicara tak sopan? atau karena faktor agama?

Jika persoalannya karena Ahok tak sopan tentu menjadi masukan bagi Ahok agar dalam berbicara lebih mengedepankan etika kesopanan dan kesantunan. Mana mungkin seorang kepala daerah secara tidak langsung mengajarkan etika atau akhlak yang buruk kepada warganya. Ahok mesti berubah, sedikit mengerem dan memberikan ruang tenggang rasa dan teposeliro terhadap warga lain yang tak terbiasa dengan kata-kata kasar. Meski saya menilai kasarnya Ahok karena beliau tegas dan tak suka dengan pekerja yang lambann.

Namun demikian, karakter seseorang memang tidak bisa diubah oleh orang lain tapi murni karena Ahok sendiri yang ingin menata cara bicara dan kesantunan dalam pergaulan dengan bawahannya. Menurut saya demikian.

Nah, akan berbeda situasinya jika penolakan terhadap Ahok dipicu persoalan agama, maka sudah pasti sudah bertentangan dengan konstitusi, Pancasila dan UUD 45. Karena siapapun saja, entah latar belakang apapun berhak menjadi kepala daerah. Yang penting sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kenapa mesti menolak secara mentah-mentah calon pemimpin daerah dari agama lain jika semua orang berhak berpolitik? Seandainya setiap orang dilarang berpolitik karena alasan agama yang berbeda, alangkah menyedihkan dan ironi sekali pola pemerintahan seperti ini. Memobilisasi masa untuk menolak pemimpin yang berbeda agama. Tentu ini adalah preseden buruk dan menyedihkan. 

Bagaimana mungkin bangsa ini akan hidup berdampingan secara damai jika persoalan perbedaan agama tetap dipersoalkan. Biarkan saja perbedaan itu mengalir apa adanya, toh itu sudah fitrah dari Allah SWT. Semua dilahirkan membawa fitrahnya masing-masing. Terkait keharusan memeluk Islam, tentu dikembalikan bahwa prinsip agama ini adalah dakwah, mengajak, dan kalaupun tidak mau maka tidak boleh memaksa. Tunggu saja sampai Allah SWT memberikan hidayahNya kepada Ahok. Kalau masih juga tetap dalam agamanya, itu pun hak setiap warga negaranya karena sesuai dengan konstitusi.

Sekali lagi, jangan campur adukkan persoalan politik dengan agama, karena segalanya menjadi runyam. Boleh suka dengan pemimpin muslim tapi tak sedikit pemimpin muslim yang korupsi. Begitu juga boleh tidak suka yang non muslim, tapi banyak juga non muslim yang baik dan rela berjuang demi bangsanya.

Apa yang mesti dilakukan FPI dan Ahok?

Tidak ada kata lain selain rekonsiliasi, duduk bersama, musyawarah atau apalah yang bertujuan ada kesepakatan antaran calon non muslim ini dengan FPI atau dengan umat Islam secara keseluruhan. Karena ini penting demi jalannya roda pemerintahan yang lepas dari kebencian karena perbedaan agama.

Jika FPI ingin menghentikan Ahok, tentu mustahil bisa dilakukan meskipun dengan anarkisme sekalipun karena justru akan mencoreng umat Islam secara keseluruhan, apalagi jika mekanisme pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD, maka persoalan sudah selesai. Serahkan saja pada DPRD memilih siapa calon kepala daerah yang baru. Nah, berbeda jika seorang wagub bisa langsung naik menjadi gubernur maka inipun persoalan lain yang berbeda karena akan dilihat dari konstitusi yang ada.

Sudah, cukup sudah keributan lantaran kebencian dan perbedaan agama, bangsa ini tak kan pernah maju jika kita selalu ribut dengan keyakinan seseorang. Biarkan mereka yang berbeda menjalankan agamanya. Tak usah diganggu asalkan mereka juga tidak mengganggu peribadatan umat Islam.
Apakah pemerintah berhak membubarkan FPI? Lihat dulu duduk persoalannya dan ada tidak pelanggaran yang masif dilakukan oleh FPI kog sampai-sampai mesti dibubarkan? Jika tidak ada maka biarkan saja mereka berjalan apa adanya. Lain persoalan jika FPI justru melabrak konstitusi atau melanggar undang-undang dan membuat keributan maka pemerintah harus mengambil sikap.

Salam

Tidak ada komentar: