Rabu, 21 Mei 2014

Rendahnya Penegakan Undang-undang ITE di Indonesia

Sumber:waringinputih.wordpress.com

Rendahnya Penegakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia
Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag
 
Apa sih yang kita tidak tahu dari Indonesia, negara yang (dulu) sempat mendapat julukan negara yang selalu memegang tradisi dan budaya luhur, memegang prinsip gotong royong ditunjukkan dengan tanpa pamrih membantu saudara yang kesusahan, yang rela memberikan sebagian miliknya meski dia sendiri dalam kekurangan dan menghabiskan waktu berjam-jam di kantor meski gaji tidak sampai di tenggorokan seperti dalam iklan enak ya jadi orang gedean tapi susah dijalanin mungkin merupakan indikator kondisi real indonesia saat ini.

Bukti real paling sederhana hanya milik orang-orang biasa yang tak seberapa memahami hukum dan gak berpredikat jenius seperti halnya menerima apa saja hukum yang dijatuhkan padahal kesalahannya hanya kesalahan kecil karena mencuri mentimun namun tak berlaku bagi mereka yang jenius bisa memutar balikkan fakta bahwa orang kecil memang tidak tahu hukum sehingga muncullah stigma memang orang kecil mah bisanya dibohongin dan dibodohin.

Tak perlu terlalu banyak menggambarkan betapa indonesia terlalu ikhlas sampai-sampai ikhlasnya tanpa batas seperti yang banyak dialami para konsumen negeri ini. Terlalu banyak tuk disampaikan dan tak patut untuk disebarluaskan karena akan bersinggungan dengan undang-undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan “bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia”. Oleh karena itu bagi siapa saja yang menyebarkan informasi lewat media elektronik apapun yang tidak sesuai dengan agama dan sosial budaya bangsa indonesia dianggap melanggar undang-undang ini.

Banyak kasus yang sepertinya hanya berlaku masyarakat yang tidak mengenal hukum seperti beberapa waktu lalu santernya kasus pelaporan tentang SMS penipuan dan SMS yang terkesan seperti spam masuk tanpa dipesan, serta dirugikannya konsumen karena transaksi elektronik ketika mereka menggunakan nada dering dan i ring via handphone. Karena dengan alasan faktor orang ke-3 banyak konsumen yang selalu menjadi korban kerugian dan penipuan yang tidak tanggung-tanggung hingga mencapai milyaran rupiah. Seperti contoh salah satu korban di Lampung yang tidak perlu disebutkan namanya karena mendapatkan SMS hadiah dari salah satu produsen produk tertentu dia tergiur menyerahkan uang sejumlah 80 juta dan sejumlah korban lain yang tidak berani atau tidak memahami hukum yang akhirnya mereka tidak mau melaporkan kasus penipuan lewat SMS ini dengan alasan yang sangat lugu. Dan lagi-lagi konsumen selalu menjadi korban tanpa bisa menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 

Seperti halnya ketika saya dan pengguna lain pengguna internet hampir setiap waktu koneksi internet itu ngadat tanpa tahu alasannya. Padahal dengan berhentinya koneksi tersebut secara tidak langsung konsumen telah dirugikan, baik materi maupun immateri. 

Kerugian materinya adalah berapa lama lama terputusnya koneksi akan berhubungan seberapa banyak kita menggunakan listrik karena komputer menggunakan listrik, padahal semakin lama kita menggunakan listrik otomatis secara finansialpun akan membengkak dan faktor lain yang ikut berkaitan karena terputusnya koneksi tersebut.

Adapula orang-orang yang bekerja dengan menggunakan fasilitas internet akhirnya gagal dan batal karena jaringan internet yang lemah dan lelet.

Kerugian immaterial misalnya berapa lama waktu kita habiskan hanya untuk sekedar menunggu jaringan internet kembali normal padahal energi dan waktu kita sangat terbatas sehingga banyak waktu kita yang sia-sia karena jaringan internet yang lelet.

Menurut hukum konsumen jasa internet dan telepon memiliki hak yang sama sebagai pengguna jasa telekomunikasi. Sebagaimana disebutkan  pada Bab I Pasal 2 Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Namu sayang sekali apabila kita selaku konsumen melaporkan kejadian dan kerugian ini konsumen selalu dihadapakan dengan undang-undang konsumen yaitu Bab  III Pasal 7 Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang undangan.

Seperti kasus yang menjerat Prita Mulyasari karena keluhannya atas pelayanan RS Omni Internasional di email kepada teman-temannya ternyata akhirnya dianggap bersalah meskipun akhirnya dibebaskan menjadi tahanan kota. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang justru menjebak para konsumen ke dalam jurang hukum karena terjerat hukum penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik padahal konsumen tersebut hanya ingin menuntut hak atas pelayanan yang tidak memadai.

Lalu bagaimana konsumen selaku pengguna layanan media informasi jika selalu dibenturkan dengan undang-undang ini? Lalu siapakah sebenarnya yang merasa diuntungkan dengan adanya undang-undang ini?

Jawabannya hanya orang-orang yang melek hukum dan kebal hukum yang bisa memutar balikkan fakta atas kerugian material maupun immaterial yang dialami konsumennya. Sampai kapan undang-undang ini bisa dinikmati masyarakat secara umum kita pun tidak pernah tahu. (maa)

Salam....

Tidak ada komentar: