Bertepatan tanggal 9 Juli kemarin, proses pencoblosan capres-cawapres
berlangsung. Dan tentu saja diharapkan semua masyarakat turut ambil
bagian dalam proses pemungutan suara tersebut. Selain itu, harapannya
proses pesta demokrasi tersebut diikuti semua elemen masyarakat yang
memiliki hak menyalurkan suaranya dengan keikhlasan dan tanpa paksaan.
Semua elemen masyarakat diharapkan turut larut dalam proses penting bagi
perjalan bangsa ini. Baik masyarakat yang asli pribumi juga masyarakat
etnis lain yang turut memiliki hak menyalurkan aspirasi mereka.
Selain riuhnya pelaksanaan hajat demokrasi tersebut, ada hal yang
menarik tatkala saya mengamati pusat-pusat perdagangan di wilayah Kota
Metro, di pasar modern maupun pasar tempel. Dan yang menarik adalah
ketika saya menyusuri jalan di pusat kota ternyata jalan-jalan terlihat
lengang, hanya beberapa pengendara baik roda dua dan empat yang
menyusuri jalan tersebut. Aura hajat bersejarah amat terasa di hari itu.
Begitu pula tatkala saya mengamati beberapa toko pusat perbelanjaan lain
yang berderet di wilayah ini, ternyata ada beberapa di antaranya yang
sengaja tutup, boleh jadi karena menghormati dan turut serta dalam pesta
demokrasi tersebut. Namun sayang sekali, ada pula pusat perbelanjaan
yang menurut saya tidak menghormati pesta demokrasi tersebut. Bahkan
menurut salah satu siswa praktek di pusat perbelanjaan tersebut,
pengelolanya tidak memberikan kesempatan pada pekerjanya untuk melakukan
proses pemungutan suara. Kebetulan siswa praktek tersebut adik sendiri
yang tengah melakukan praktek di pusat perbelanjaan tersebut. Padahal
sepatutnya ketika hajat demokrasi pihak pengusaha memberikan toleransi
terhadap para pekerjanya. Sebuah keputusan pengusaha yang tidak
mengindahkan proses demokrasi di negeri ini.
Terlepas ada dan tidaknya aktivitas di pusat-pusat perbelanjaan,
ternyata ada satu hal yang menarik, membuat saya kagum sekaligus
memberikan apresiasi yang cukup tinggi bagi mereka. Karena di saat
pilpres tersebut ternyata kebanyakan showroom dan pertokoan milik etnis
Tionghoa justru terlihat tutup. Sepertinya mereka memiliki pandangan
bahwa sepatutnya semua bentuk aktivitas bisnis dihentikan demi suksesnya
pilpres tersebut. Tentu saja hal ini cukup beralasan, di mana para
pekerja mereka rata-rata adalah masyarakat pribumi yang memiliki hak
yang sama dalam menyampaikan suaranya pada pilpres ini. Mereka merelakan
keuntungan di hari itu tak mereka dapatkan demi turut menyukseskan
hajat demokrasi.
Selain tidak beraktivitasnya pertokoan milik enis Tionghoa tersebut,
saya menduga keterlibatan mereka pada proses pilpres ini cukup mengalami
kenaikan yang signifikan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya tatkala
pesta demokrasi dihelat. Tidak sedikit para etnis Tionghoa ini yang
tidak menyumbangkan suaranya. Entah, mungkin sikap pesimistis atau
apatis terhadap kepemimpinan di negeri ini yang “mungkin” menurut mereka
kurang mewakili aspirasi kalangan etnis ini. Meskipun hakekatnya sampai
sekarangpun kebijakan pemerintah terhadap kalangan etnis Tionghoa sudah
cukup baik dan adil.
Namun pemandangan yang cukup bertolak belakang adalah tatkala saya
mengamati beberapa pertokoan milik warga pribumi justru masih melakukan
aktivitasnya. Apakah sebuah gejala bahwa di antara mereka warga negara
ini tidak begitu antusias untuk menyumbangkan suaranya? Jika alasan
mereka karena malas mencoblos berarti nasionalisme mereka masih kalah
baik dari masyarakat etnis Tionghoa. Bahkan sedianya pemerintah
memberikan aturan yang ketat bahwa tatkala pemungutan suara dihelat
seharusnya masyarkat dilarang melakukan aktivitas.
Tentu saja alasannya bukan memaksa warganya untuk memilih, tapi melihat
beberapa karyawan yang semestinya mendapatkan haknya dalam pesta
demokrasi tersebut harus terpangkas, lantaran aturan pengusaha yang
tidak memperbolehkan para pekerjanya libur di hari tersebut.
Jika setiap pengusaha tidak mendapatkan aturan yang jelas terkait
pemilu, maka pemerintah membiarkan hak-hak para pekerja ini ikut
dikebiri hanya demi sebuah bisnis yang sepatutnya menghargai pesta
demokrasi.
Dengan kata lain, ketika melihat fenomena perbandingan antusiasme
masyarakat Tionghoa dan etnis lainnya, ternyata rasa nasionalisme warga
ini masih cukup baik. Meskipun tatkala pusat perbelanjaan milik etnis
Tionghoa yang berhenti ternyata ada pula yang tidak mengindahkan hajat
lima tahunan ini. Yang pasti dengan sikap ini terlihat jelas bahwa
masyarakat ini memiliki kecenderungan agar negara inipun menjadi lebih
baik lagi.
Namun demikian, tidak memandang etnis manapun jika mereka sudah menjadi
bagian Indonesia, maka sepatutnya menghormati dan menghargai hajat
penting ini demi menyukseskan pesta demokrasi dan tentu saja memberikan
hak seluas-luasnya kepada warga bangsa dalam menentukan pilihannya.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar