Sabtu, 12 Juli 2014

Guru Mesti Netral, Tapi Bukan Untuk yang Ini


PNS / lintas.me



Guru, sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang dipercaya menjadi pelayan masyarakat memang sepatutnya netral. Netral dalam arti tidak berkecimpung dalam dunia politik. Selain tidak boleh berkecimpung dalam dunia politik, para abdi negara ini pun tidak diperkenankan menjadi tim sukses, partisan atau menjadi anggota partai politik tertentu. 

Sehingga sewajarnya, tindak-tanduk para guru pun harus menghormati dan menghargai aturan baku yang ditetapkan oleh pemerintah. Dampaknya, siapapun yang dengan sengaja dan diketahui melakukan tindakan melanggar hukum maka hukum yang akan berlaku. Dan sepatutnya siapapun yang mengetahui tindakan tersebut agar segera melaporkan pada Bawaslu atau Panwaslu sebagai lembaga yang mengawasi jalannya hajat demokrasi di negeri ini.

Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, serta Undang-undang nomor 53 Tahun 2010 bahwa setiap pegawai (PNS) harus menjaga netralitas dalam Pemilu. Undang-undang ini sangat jelas dan transparan bahwa siapapun yang keluar aturan dan melanggar undang-undang ini akan ditindak tegas.

Selain guru-guru yang semestinya menghargai netralitasnya, para kompetitor Pilpres pun sejatinya tidak menyusupi para guru ini dengan aneka kampanye. Baik secara lisan maupun tertulis, termasuk pengiriman surat yang dilakukan oleh capres maupun cawapres yang dialamatkan di sebuah lembaga pendidikan. Sudah pasti, sikap timses yang menggunakan cara-cara ini dapat merusak reputasi dunia pendidikan sebagai lembaga yang tidak boleh dicemari oleh kepentingan politik. Tidak hanya lembaga milik pemerintah, masjid, termasuk tempat ibadah lain dan pelayanan umumpun dilarang melakukan aktifitas kampanye.

Pelarangan tersebut tentu saja menghindari gesekan-gesekan sosial yang berujung pada aksi kekerasan atas nama “perbedaan pandangan” dan perbedaan pilihan capres-cawapres yang dapat menyulut anarkisme yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain, apapun yang berkaitan dengan proses politik harus dialihkan dari lembaga-lembaga pemerintahan dan keagamaan yang nota bene adalah corong ditegakkannya demokrasi yang tanpa memihak. Tidak hanya guru, kepala sekolah, kepala dinas sampai presiden pun sejatinya dilarang memihak kepada salah satu kontestan politik.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh bapak Heri Suliyanto, selaku Kadisdik Propinsi Lampung saat menyampaikan sosialisasi larangan guru berpolitik praktis serta menyorot adanya surat tertutup yang dikirimkan oleh pasangan capres kepada guru. Sebagaimana dirilis oleh lampungpost.co, (27/06).

Selain sanksi administrasi yang diberikan kepada guru yang melanggar, sanksi keras hingga pemecatan pun bisa dikenakan kepada guru dan orang-orang yang menduduki jabatan dalam satuan dinas tertentu. Meskipun sanksi-sanksi tersebut terkesan menakutkan, sayang sekali pada tataran pelaksanaannya seringkali terkendala. Dan anehnya meskipun aturan ini sudah sangat ketat, masih ada saja aparatur negara yang melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung dalam aksi politik. Semestinya persoalan pelanggaran ini benar-benar diberikan sanksi yang sesuai agar aparatur negara bersikap sportif dan tidak melakukan kampanye untuk mendukung salah satu kontestan.
Meskipun guru harus menjunjung netralitas, bukan berarti guru-guru tidak memihak dalam tanda kutip memiliki kecenderungan pada sosok wakil rakyatnya. Karena para guru inipun memiliki kewajiban untuk menyalurkan aspirasinya dalam bilik suara. Memilih salah satu dari beberapa calon yang dianggap mumpuni dan layak menjadi pemimpin negeri ini. Tentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan rekam jejak yang turut menjadi pertimbangan bahwa capres-cawapres tersebut memang pantas menjadi pemimpin negeri ini.

Kemudian, ada beberapa hal yang semestinya guru tidak netral dalam pilpres mendatang, di antaranya:

Pertama: Guru harus memilih (tidak golput)

Setiap guru seyogyanya ingin memiliki pemimpin yang dapat mewakili semua rakyat Indonesia. Tidak terbatas warna kulit, suku maupun agama tertentu. Jadi ketika kita ingin Indonesia maju dan sejahtera, maka gurupun harus memilih (mencoblos) sebagai salah satu cara memberikan dukungan agar capres-cawapres yang terbaik benar-benar dapat memimpin bangsa ini.

Adalah sebuah kesalahan, jika para abdi negara dan pelayan masyarakat ini justru terlibat sentimen SARA, karena perbedaan suku, agama dan latar belakang membuat kita melupakan pilihan dan tidak turut dalam proses pemungutan suara. Dengan kata lain, jika kita cinta Indonesia dan menginginkan perubahan maka kitapun harus memilih.

Meskipun setiap guru harus memilih, sesama gurupun sejatinya tidak boleh memaksakan kehendak atau menggiring guru lain untuk memilih capres-cawapres tertentu. Karena memilih atau tidak adalah hak dan harus dihormati serta dihargai.

Kedua: Guru memilih dengan hati nurani dan pikiran yang realistis dan akal sehat

Netralitas guru memang diwajibkan, tapi ketika guru harus memasuki bilik suara untuk memilih capres dan cawapresnya semestinya harus sesuai hati nurani. Karena hati nurani tak kan pernah bohong karena di dalamnya mendapatkan cahaya Ilahi. Cahaya kebenaran yang selalu menghiasi hati manusia. Jika pilihan kita sesuai dengan hati nurani, maka sedikit banyak kita telah menentukan pilihan sesuai dengan keyakinan diri dan bukan semata-mata karena emosi sesaat.

Selain menggunakan hati nurani, sepatutnya para abdi negara ini menentukan pilihannya berdasarkan logika yang sehat dan realistis. Adalah kesalahan jika kita terlalu percaya pada sebuah kampanye atau orasi yang luar biasa, tapi kita melupakan logika yang realistis, faktual dan dapat diterima akal (logis).

Dengan cara ini tentu saja kita tidak memilih seperti membeli kucing dalam karung, dan tidak memilih seperti menebak-nebak angka judi. Karena jika kita memilih karena menebak selayaknya tebak angka dalam undian tentu saja kita akan mudah ditipu dengan slogan-slogan dan janji-janji yang sama sekali jauh dari kebenaran.

Ketiga: Guru mengajak saudara-saudaranya agar tidak golput

Seperti halnya pada poin pertama, ketika guru ingin Indonesia mengalami perubahan dan karena cita-cita guru ingin mendapatkan kesejahteraan, maka tidak ada kata lain kita menentukan pilihan, sepatutnya mengajak para guru lain dan saudara-saudaranya untuk menyalurkan aspirasinya sesuai dengan hatinurani dan akal sehatnya.

Karena amat bijak, jika guru bisa memberikan teladan dan mensupport para calon golput agar tersadar bahwa pilihan golput adalah sebuah kesalahan. Selain mengajak saudaranya untuk mencoblos, tentu saja tidak menghalang-halangi atau melarang saudaranya ketika memiliki pilihan berbeda.

Keempat: Guru menolak money politik dan kampanye hitam

Di masa menjelang pilpres, tentu saja ada banyak timses yang berkeliaran menyebarkan isu-isu yang menyesatkan. Selain menyebarkan isu yang menyesatkan para timses ini berusaha mengadu domba bangsa ini dengan cara-cara kotor. Mereka menggunakan informasi yang tidak akurat untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sehingga sepatutnya guru pun harus proaktif melaporkan tindakan curang (money politik) serta melaporkan jika ada kampanye hitam yang justru ingin menyesatkan dan memecahbelah persatuan bangsa demi meraih kemenangan.

Akan sangat kontra produktif jika para abdi negara ini ingin menegakkan demokrasi, justru menjadi fasilitaor kecurangan dalam Pemilu (pilpres). Karena tindakannya justru akan mencoreng nama baik guru sebagai sosok yang sepatutnya digugu dan ditiru oleh masyarakat di lingkungannya.

Kelima: Guru selalu menyerukan “pemilu damai”

Guru adalah abdi negara, namun merekapun adalah pelayan masyarakat yang sepatutnya melayani masyarakat dengan sepenuh hati dan menjadi contoh atau teladan untuk tidak menjadi timses dan mempengaruhi para pemilih dengan cara-cara curang dan tidak sportif.

Dengan antusiasme yang tinggi guru semestinyapun tetap menyerukan pemilu berjalan damai tanpa kekerasan. Karena sebaik-baik pemilihan umum atau hajat demokrasi jika dikotori dengan aksi anarkisme dan kekerasan kepada sesama warga bangsa justru akan mencoreng indahnya demokrasi itu sendiri.

Akhir kata, tetaplah menjadi pemilih yang santun dan bermartabat. Memilih sesuai dengan hati nurani dan akal sehat serta menjadi corong penegakan demokrasi yang santun, adil dan aman serta nyaman bagi semua orang.

Salam

Tidak ada komentar: