PNS / lintas.me |
Guru,
sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang dipercaya menjadi pelayan masyarakat
memang sepatutnya netral. Netral dalam arti tidak berkecimpung dalam dunia
politik. Selain tidak boleh berkecimpung dalam dunia politik, para abdi negara
ini pun tidak diperkenankan menjadi tim sukses, partisan atau menjadi anggota
partai politik tertentu.
Sehingga sewajarnya, tindak-tanduk para guru pun harus
menghormati dan menghargai aturan baku yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dampaknya, siapapun yang dengan sengaja dan diketahui melakukan tindakan
melanggar hukum maka hukum yang akan berlaku. Dan sepatutnya siapapun yang
mengetahui tindakan tersebut agar segera melaporkan pada Bawaslu atau Panwaslu
sebagai lembaga yang mengawasi jalannya hajat demokrasi di negeri ini.
Sebagaimana
termaktub dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian, serta Undang-undang nomor 53 Tahun 2010 bahwa setiap pegawai (PNS)
harus menjaga netralitas dalam Pemilu. Undang-undang ini sangat jelas dan
transparan bahwa siapapun yang keluar aturan dan melanggar undang-undang ini
akan ditindak tegas.
Selain
guru-guru yang semestinya menghargai netralitasnya, para kompetitor Pilpres pun
sejatinya tidak menyusupi para guru ini dengan aneka kampanye. Baik secara
lisan maupun tertulis, termasuk pengiriman surat yang dilakukan oleh capres
maupun cawapres yang dialamatkan di sebuah lembaga pendidikan. Sudah pasti,
sikap timses yang menggunakan cara-cara ini dapat merusak reputasi dunia
pendidikan sebagai lembaga yang tidak boleh dicemari oleh kepentingan politik.
Tidak hanya lembaga milik pemerintah, masjid, termasuk tempat ibadah lain dan
pelayanan umumpun dilarang melakukan aktifitas kampanye.
Pelarangan
tersebut tentu saja menghindari gesekan-gesekan sosial yang berujung pada aksi kekerasan
atas nama “perbedaan pandangan” dan perbedaan pilihan capres-cawapres yang
dapat menyulut anarkisme yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain, apapun yang
berkaitan dengan proses politik harus dialihkan dari lembaga-lembaga
pemerintahan dan keagamaan yang nota bene adalah corong ditegakkannya demokrasi
yang tanpa memihak. Tidak hanya guru, kepala sekolah, kepala dinas sampai
presiden pun sejatinya dilarang memihak kepada salah satu kontestan politik.
Hal
ini senada dengan apa yang disampaikan oleh bapak Heri Suliyanto, selaku
Kadisdik Propinsi Lampung saat menyampaikan sosialisasi larangan guru
berpolitik praktis serta menyorot adanya surat tertutup yang dikirimkan oleh
pasangan capres kepada guru. Sebagaimana dirilis oleh lampungpost.co, (27/06).
Selain
sanksi administrasi yang diberikan kepada guru yang melanggar, sanksi keras
hingga pemecatan pun bisa dikenakan kepada guru dan orang-orang yang menduduki
jabatan dalam satuan dinas tertentu. Meskipun sanksi-sanksi tersebut terkesan
menakutkan, sayang sekali pada tataran pelaksanaannya seringkali terkendala.
Dan anehnya meskipun aturan ini sudah sangat ketat, masih ada saja aparatur
negara yang melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung dalam aksi
politik. Semestinya persoalan pelanggaran ini benar-benar diberikan sanksi yang
sesuai agar aparatur negara bersikap sportif dan tidak melakukan kampanye untuk
mendukung salah satu kontestan.
Meskipun
guru harus menjunjung netralitas, bukan berarti guru-guru tidak memihak dalam
tanda kutip memiliki kecenderungan pada sosok wakil rakyatnya. Karena para guru
inipun memiliki kewajiban untuk menyalurkan aspirasinya dalam bilik suara.
Memilih salah satu dari beberapa calon yang dianggap mumpuni dan layak menjadi
pemimpin negeri ini. Tentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan
rekam jejak yang turut menjadi pertimbangan bahwa capres-cawapres tersebut
memang pantas menjadi pemimpin negeri ini.
Kemudian,
ada beberapa hal yang semestinya guru tidak netral dalam pilpres mendatang, di
antaranya:
Pertama:
Guru harus memilih (tidak golput)
Setiap
guru seyogyanya ingin memiliki pemimpin yang dapat mewakili semua rakyat
Indonesia. Tidak terbatas warna kulit, suku maupun agama tertentu. Jadi ketika
kita ingin Indonesia maju dan sejahtera, maka gurupun harus memilih (mencoblos)
sebagai salah satu cara memberikan dukungan agar capres-cawapres yang terbaik
benar-benar dapat memimpin bangsa ini.
Adalah
sebuah kesalahan, jika para abdi negara dan pelayan masyarakat ini justru
terlibat sentimen SARA, karena perbedaan suku, agama dan latar belakang membuat
kita melupakan pilihan dan tidak turut dalam proses pemungutan suara. Dengan
kata lain, jika kita cinta Indonesia dan menginginkan perubahan maka kitapun
harus memilih.
Meskipun
setiap guru harus memilih, sesama gurupun sejatinya tidak boleh memaksakan
kehendak atau menggiring guru lain untuk memilih capres-cawapres tertentu.
Karena memilih atau tidak adalah hak dan harus dihormati serta dihargai.
Kedua:
Guru memilih dengan hati nurani dan pikiran yang realistis dan akal sehat
Netralitas
guru memang diwajibkan, tapi ketika guru harus memasuki bilik suara untuk
memilih capres dan cawapresnya semestinya harus sesuai hati nurani. Karena hati
nurani tak kan pernah bohong karena di dalamnya mendapatkan cahaya Ilahi.
Cahaya kebenaran yang selalu menghiasi hati manusia. Jika pilihan kita sesuai
dengan hati nurani, maka sedikit banyak kita telah menentukan pilihan sesuai
dengan keyakinan diri dan bukan semata-mata karena emosi sesaat.
Selain
menggunakan hati nurani, sepatutnya para abdi negara ini menentukan pilihannya
berdasarkan logika yang sehat dan realistis. Adalah kesalahan jika kita terlalu
percaya pada sebuah kampanye atau orasi yang luar biasa, tapi kita melupakan
logika yang realistis, faktual dan dapat diterima akal (logis).
Dengan
cara ini tentu saja kita tidak memilih seperti membeli kucing dalam karung, dan
tidak memilih seperti menebak-nebak angka judi. Karena jika kita memilih karena
menebak selayaknya tebak angka dalam undian tentu saja kita akan mudah ditipu
dengan slogan-slogan dan janji-janji yang sama sekali jauh dari kebenaran.
Ketiga:
Guru mengajak saudara-saudaranya agar tidak golput
Seperti
halnya pada poin pertama, ketika guru ingin Indonesia mengalami perubahan dan
karena cita-cita guru ingin mendapatkan kesejahteraan, maka tidak ada kata lain
kita menentukan pilihan, sepatutnya mengajak para guru lain dan
saudara-saudaranya untuk menyalurkan aspirasinya sesuai dengan hatinurani dan
akal sehatnya.
Karena
amat bijak, jika guru bisa memberikan teladan dan mensupport para calon golput
agar tersadar bahwa pilihan golput adalah sebuah kesalahan. Selain mengajak
saudaranya untuk mencoblos, tentu saja tidak menghalang-halangi atau melarang
saudaranya ketika memiliki pilihan berbeda.
Keempat:
Guru menolak money politik dan kampanye hitam
Di
masa menjelang pilpres, tentu saja ada banyak timses yang berkeliaran
menyebarkan isu-isu yang menyesatkan. Selain menyebarkan isu yang menyesatkan
para timses ini berusaha mengadu domba bangsa ini dengan cara-cara kotor.
Mereka menggunakan informasi yang tidak akurat untuk menjatuhkan lawan
politiknya. Sehingga sepatutnya guru pun harus proaktif melaporkan tindakan
curang (money politik) serta melaporkan jika ada kampanye hitam yang justru
ingin menyesatkan dan memecahbelah persatuan bangsa demi meraih kemenangan.
Akan
sangat kontra produktif jika para abdi negara ini ingin menegakkan demokrasi,
justru menjadi fasilitaor kecurangan dalam Pemilu (pilpres). Karena tindakannya
justru akan mencoreng nama baik guru sebagai sosok yang sepatutnya digugu dan
ditiru oleh masyarakat di lingkungannya.
Kelima:
Guru selalu menyerukan “pemilu damai”
Guru
adalah abdi negara, namun merekapun adalah pelayan masyarakat yang sepatutnya
melayani masyarakat dengan sepenuh hati dan menjadi contoh atau teladan untuk
tidak menjadi timses dan mempengaruhi para pemilih dengan cara-cara curang dan
tidak sportif.
Dengan
antusiasme yang tinggi guru semestinyapun tetap menyerukan pemilu berjalan
damai tanpa kekerasan. Karena sebaik-baik pemilihan umum atau hajat demokrasi
jika dikotori dengan aksi anarkisme dan kekerasan kepada sesama warga bangsa
justru akan mencoreng indahnya demokrasi itu sendiri.
Akhir
kata, tetaplah menjadi pemilih yang santun dan bermartabat. Memilih sesuai
dengan hati nurani dan akal sehat serta menjadi corong penegakan demokrasi yang
santun, adil dan aman serta nyaman bagi semua orang.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar