Senin, 30 Juni 2014

Seputar Debat Cawapres 2014 Semalam, Menurut Kacamata Orang Desa




Debat Cawapres tadi malam (29/06), terasa lebih tenang dari debat-debat yang lalu. Tentu persoalannya bukan masalah contek mencontek coretan (kertas) seperti yang ditujukan pada pak Jokowi pada debat pertama, karena kedua cawapres memang sengaja membaca coretan sebagai bahan untuk menyampaikan orasinya. Dan terlihat tenangnya karena kebetulan moderatornya mampu menjadi penengah dan mengatur jalannya debat secara proporsional. Tentu saja selain moderatornya yang handal, tentu penggunaan catatan tersebut bertujuan agar konsep penyampaian visi-misi tidak terlalu melenceng jauh dari konsep yang sudah tertuang dalam buku visi-misi capres-cawapres tersebut.
Meskipun di awal debat, saya sedikit meragukan kemampuan pak JK dalam menyampaikan visi-misinya, karena terlihat agak sedikit gugup atau mblibet. Cara menyampaikannya memang tak seruntut dengan cara pak Hatta. Pun, saya menduga, karena pak JK mendapatkan posisi pertama yang harus menyampaikan visi-misinya tatkala beliau dipercaya menjadi cawapres. Boleh jadi karena terlalu bersemangat atau memang sosok pak JK bukan tipe orator handal. Beliau mempunyai gagasan luar biasa tapi terkendala dalam orasinya. Meskipun pada detik pertama terlihat mbulet, untuk point selanjutnya terlihat lebih lancar.
Meskipun selayaknya timing penyampaian visi-misi disesuaikan dengan nomor urut dari cawapres tersebut, sehingga masing-masing cawapres sudah bersiap-siap bahwa mereka akan mendapatkan waktu dan kesempatan sesuai dengan urutan nomor cawapres. Tapi, tadi malam, karena pak JK diminta untuk menyampaikan visi-misinya lebih awal, sepertinya memang pak JK terlihat lebih gugup. Semoga saja pengaturan timing pembicaraan bukan karena unsur-unsur tertentu. Dan moderator bukan “berusaha” tidak adil terkait pembagian waktu yang tidak sesuai nomor urutnya. Karena terlihat pak Hatta terlihat lebih runtut dan jelas, apa-apa yang akan menjadi program tatkala beliau berorasi. Meskipun apa yang disampaikan, “belum tentu” dapat diaplikasikan tatkala beliau benar-benar menjadi capres untuk pilpres 2014 ini.
Belum tentu ini maksudnya karena sejatinya pak JK maupun pak HR sama-sama sudah mengenyam jabatan sebagai petinggi negara, tapi faktanya apa yang ada dalam orasi mereka masih saja belum menyentuh persoalan yang sebenarnya.
Dan berbicara mengenai debat cawapres tadi malam, seakan-akan pikiran saya menerawang jauh di era sebelum kedua tokoh ini didaulat menjadi cawapres mewakili masing-masing capresnya. Dan mata saya juga hampir saja terkagum-kagum dengan indahnya mereka “berpidato” seakan-akan mereka adalah sosok pemikir dan pekerja yang baik. Namun, ternyata gambaran yang ada dalam pikiran saya sedikit banyak terjawab sudah. Bahwa pada saat ini para cawapres tersebut belum menjawab bagaimana mengatasi pendidikan di Indonesia, dan bagaimana mengatasi pengangguran yang jumlahnya jutaan orang.
Ada beberapa point yang saya rasa lebih masuk akal ketika pak JK menyampaikan orasi dan sesi tanya jawab serta debat masing-masing cawapres tersebut. Meskipun tidak semua yang disampaikan sejalan dengan apa menjadi keiinginan saya, karena di antara jawaban pak JK pun terdengar ngalor-ngidul alias kurang fokus pada pertanyaan yang disampaikan pak Hatta.
Pertama, Pak JK membahas tentang bagaimana pandangan beliau jika melihat kondisi pendidikan yang tidak merata, bagaimana beliau menilai patut dan tidaknya dan apakah UN masih layak untuk diterapkan di sekolah serta bagaimana tentang sertivikasi apakah benar-benar akan diputus tatkala keduanya menjadi presiden dan wapres.
Secara gamblang pak JK mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia memang masing jauh dari keadilan, hal tersebut terlihat dari tidak meratanya fasilitas atau sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah. Seperti kondisi sekolah yang tidak sama antara sekolah-sekolah yang ada di kota dengan di desa. Sehingga harapannya, jika rakyat memilih pasangan JW-JK maka fokus pendidikan akan diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang merata ke semua wilayah Indonesia. Selain itu beliau memiliki program agar para guru-guru benar-benar merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Selain menyampaikan persoalan ketidak merataan pendidikan di daerah, beliaupun menjelaskan bahwa hakekatnya sertivikasi guru tidak akan dihapuskan sebagaimana isu yang berkembang sekaligus black campaign yang ditujukan untuk menyerang pak JW-JK. Beliau beralasan, sesuai dengan rancangan visi dan misi kedua pasangan cawapres, bahwa guru merupakan elemen penting dari pendidikan, maka sepatutnya kesejahteraan guru harus diperhatikan. Termasuk tunjangan profesi yang saat ini dinikmati oleh guru-guru.
Termasuk beliau menyampaikan bahwa UN tetap diberlakukan karena dijadikan sebagai bahan untuk pemetaan. beliau pun beralasan karena dari tahun 60-an UN memang sudah ada, namun teknisnya mengalami perubahan format soalnya. Mengenai tetap diberlakukannya ujian nasional karena menurut beliau UN sebagai alat untuk melakukan pemetaan sekolah-sekolah dan melihat potensi dari anak didiknya. Beliaupun beranggapan bahwa pemerintah perlu mengadakan evaluasi terhadap jalannya UN termasuk mengevaluasi proses distribusi, pembuatan soal, dan teknis pelaksanaannya, agar UN benar-benar menjadi bagian penting dari pendidikan.
Pak JK pun menyampaikan bahwa awal pendidikan terbaik adalah dari rumah, khususnya ibu. Sehingga, pemerintah mesti menghormati peran ibu dan memberikan penghargaan kepada pada ibu karena perannya yang telah sukses mendidik anak-anaknya.
Sedangkan pak Hatta lebih memfokuskan diri pada program yang sudah berjalan, di mana beliau bersama capresnya memiliki misi pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan kondisi daerah, pemanfaatan iptek yang diselaraskan dengan kondisi daerah yang berbeda dan diformat menjadi bagian integral dari program pendidikan nasional yang utuh. Sehingga anak-anak yang dididik benar-benar mewakili potensi daerah dan memiliki kemampuan dan skill dan daya saing teknologi sehingga mampu bersaing dalam dunia internasional.
Kedua, Pak JK pun membahas bagaimana persoalan riset ilmiah dan inovasi teknologi. Dan visi-misinya menggabungkan kementrian pendidikan dan kementrian riset dan teknologi menjadi satu wadah lembaga yang benar-benar memajukan pendidikan dan penemuan teknologi baru.
Menurut paparan beliau pemerintah yang dikoordinasi oleh oleh menteri pendidikan dan riset teknologi meningkatkan kembali riset-riset ilmiah sebagai usaha untuk menghasilkan teknologi baru dan memberikan insentif kepada perusahaan yang digandeng pemerintah dalam riset dan penciptaan teknologi.
Meskipun sayang sekali tatkala dipertanyakan tentang bagaimana mengatasi angka pengangguran yang tinggi, kedua cawapres tidak menyinggung persoalan industri kreatif, yang berorientasi usaha kecil dan industri rumahan, tapi kedua cawapres lebih memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan perizinan yang selama ini terkendala di tingkat birokrasi.
Ketiga, Terkait tenaga ahli dan profesional yang bekerja di luar negeri, Pak JK mengisyaratkan bahwa saat ini memang banyak tenaga profesional yang justru bekerja di luar negeri sehingga sepatutnya ke depannya, para ahli dan profesional yang justru mengabdi pada bangsa lain direkrut kembali untuk kembali ke Indonesia. Atau tetap berada di negara lain namun mereka menjadi fasilitator dikembangkannya teknologi di Indonesia. Pak Hatta pun sepakat dengan hal ini dan beliau mencontohkan seperti India yang sukses “mengkaryakan” tenaga ahlinya dinegara lain untuk kemudiani diberdayakan membangun bangsa sendiri. Saya menangkan kedua cawapres ini memberikan sinyal suatu saat nanti pak BJ Habibie akan dirangkul kembali agar melakukan riset dan inovasi teknologi di negara sendiri.
Pak JK dan Hatta pun sepakat bahwa pekerja di luar negeri tidak dapat dihapuskan begitu saja, namun beliau memberikan solusi agar kedepannya para pejuang pajak ini pun mendapatkan pendidikan dan skill yang layak. Mereka menghendaki para TKI bukan pekerja yang “murahan” tapi benar-benar pekerja profesional pada sektor-sektor lain selain pembantu rumah tangga. Sehingga dibutuhkan pelatihan-pelatihan khusus agar pada pekerja rumah tangga itu dapat beralih daya menjadi pekerja profesional.
Kiranya, inilah yang dapat saya tangkap, terlepas kurang dan lebihnya kemampuan saya dalam memahami isi debat ini, tentu saja ada banyak bahasa (intelek) yang sulit dipahami menurut kacamata orang desa. Namun, paling tidak kedua cawapres mempunyai visi-misi yang sama ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, tentu saja diawali dari pendidikan rakyatnya.
Salam

Tidak ada komentar: