Rabu, 21 Mei 2014

Menagih Janji Para Pemimpin Negeri

salam-online.com

Gundah gulana, sedih, kecewa bahkan galau tengah dirasakan masyarakat Indonesia, seperti layaknya rasa kecewa yang tengah melanda sepasang kekasih yang tiba-tiba kecewa, jengkel, neg, karena kekasihnya tidak setia, tidak teguh memegang janji, dan bisanya obral janji sampai-sampai harga diripun digadaikan demi sebuah janji sang kekasih. Dan puncak dari segalanya adalah ending yang mengharu biru dan menyedihkan laksana prajurit yang mati sia-sia di medan perang.

Kenyataan ini selaras dengan apa yang dialami warga Lampung Tengah. Bagaimana bisa demikian? Kenapa mesti diibaratkan sepasang kekasih yang putus asa dengan putusnya tali percintaan?

Bagaimana mungkin masyarakat yang sudah benar-benar setia, mendengar dengan tekun setiap rayuannya dan dengan ikhlas menerima imbalannya karena mau mengumpulkan KTP untuk pemilihan kepada daerah tiba-tiba dibohongi dan dilupakan begitu saja. Ketika memimpin daerah mereka lupa akan tanggung jawabnya seperti halnya apa yang telah mereka ucapkan dan janji-janji manis yang mereka obral ketika kampanye.

Kondisi ini mungkin tidak hanya terjadi di Kabupaten ini, bisa saja di tempat lain mengalami nasib yang sama. Bagaimana mudahnya mereka berjanji dengan sangat manis, “Jika nanti saya dipercaya memimpin daerah ini pasti saya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lampung Tengah, jalan-jalan saya perbaiki, dan lapangan pekerjaan akan semakin terbuka luas!.

Mendengar retorika politik meluncur mulus dari lisan-lisan Cabup dan Cawabup mereka ketika kampanye, ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang kini mereka rasakan. Jangankan merasakan kesejahteraan dari meningkatnya ekonomi keluarga karena harga-harga hasil pertanian mereka naik, justru hari ini harga sawit yang menopang ekonomi mereka sudah tidak lagi berharga, terjun bebas tanpa ada aral rintang. 

Jangankan merasakan nikmatnya pekerjaan yang dijanjikan, bisa bekerja dengan tenang meski hanya bermodal sawah sepetak ternyata kebahagiaan juga diberangus oleh ulah maling yang setiap malam menjarah hewan ternak mereka. Boro-boro bisa menikmati jalan-jalan mulus seperti obralan mereka, jalan berlubang penuh lumpur menjadi pemandangan harian di sudut-sudut kota.

Sedih dan kecewa, itulah yang kini dirasakan. Namun benarkah itu salah mereka yang kini memimpin? Atau salah masyarakat yang telah memilih?

Adanya otonomi daerah mungkin menyimpan impian bagi masyarakat Indonesia, karena diharapkan dengan begitu semua pelayanan dan infrastruktur akan merata ke semua daerah di Indonesia dan tidak hanya terpusat di pusat akan tetapi merata hingga ke daerah. 

Dengan demikian diharapkan pembangunan juga merata ke seluruh daerah.  Akan tetapi justru munculnya raja-raja daerah yang ternyata memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri. Bertameng putra daerah, seolah-olah kepala daerah adalah milik otoraritas penduduk lokal dengan mengesampingkan masyarakat pendatang sehingga sentimen primordialisme sempit lebih cepat berkembang dari pada primordialisme kebangsaan yang semestinya dijaga. 

Kenyataan ini sungguh ironis di mana di sektor-sektor riil dan hampir semua sudut perkantoran yang duduk di kursi empuk adalah kroni-kroni yang terkadang tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin masyarakat. Seperti telah di meja hijaukan beberapa pejabat daerah karena melakukan penyelewengan dana (korupsi)  dan berakhir masuk ke dalam bui seperti direlease oleh InfoKorupsi. com Edisi 13 Juli 2013.

Akibat dari situasi tersebut banyak daerah-daerah yang kurang merasakan bagaimana menikmati jalan yang mulus dan sarana pendidikan yang memadai. Akan tetapi justru rumah-rumah mewah para pejabat yang justru menjadi program pokok selama menjadi kepala daerah. 

Padahal dengan dicetuskannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian diperkuat dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan implikasi kepada wilayah daerah agar cepat berkembang seiring meningkatnya status sentralisasi menjadi desentralisasi di mana daerah otonom memiliki wewenang seluas-luasnya mengurus daerahnya sendiri. 

Tapi memang nasi sudah menjadi bubur segala sesuatu tidak boleh disesali tapi dikoreksi dan diperbaiki agar sistem yang sudah ada menjadi lebih baik lagi sehingga tidak seperti ungkapan anak muda loe gue end seteleh menikmati madunya otonomi daerah mereka meninggalkan tanggung jawabnya terhadap kepentingan masyarakat banyak. (maa)

Tidak ada komentar: