![]() |
salam-online.com |
Gundah gulana, sedih, kecewa bahkan
galau tengah dirasakan masyarakat Indonesia, seperti layaknya rasa
kecewa yang tengah melanda sepasang kekasih yang tiba-tiba kecewa,
jengkel, neg, karena kekasihnya tidak setia, tidak teguh memegang janji,
dan bisanya obral janji sampai-sampai harga diripun digadaikan demi
sebuah janji sang kekasih. Dan puncak dari segalanya adalah ending yang
mengharu biru dan menyedihkan laksana prajurit yang mati sia-sia di
medan perang.
Kenyataan ini selaras dengan apa yang
dialami warga Lampung Tengah. Bagaimana bisa demikian? Kenapa mesti
diibaratkan sepasang kekasih yang putus asa dengan putusnya tali
percintaan?
Bagaimana mungkin masyarakat yang sudah
benar-benar setia, mendengar dengan tekun setiap rayuannya dan dengan
ikhlas menerima imbalannya karena mau mengumpulkan KTP untuk pemilihan
kepada daerah tiba-tiba dibohongi dan dilupakan begitu saja. Ketika
memimpin daerah mereka lupa akan tanggung jawabnya seperti halnya apa
yang telah mereka ucapkan dan janji-janji manis yang mereka obral ketika
kampanye.
Kondisi ini mungkin tidak hanya terjadi
di Kabupaten ini, bisa saja di tempat lain mengalami nasib yang sama.
Bagaimana mudahnya mereka berjanji dengan sangat manis, “Jika nanti saya
dipercaya memimpin daerah ini pasti saya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Lampung Tengah, jalan-jalan saya perbaiki, dan
lapangan pekerjaan akan semakin terbuka luas!.
Mendengar retorika politik meluncur
mulus dari lisan-lisan Cabup dan Cawabup mereka ketika kampanye,
ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang kini mereka rasakan.
Jangankan merasakan kesejahteraan dari meningkatnya ekonomi keluarga
karena harga-harga hasil pertanian mereka naik, justru hari ini harga
sawit yang menopang ekonomi mereka sudah tidak lagi berharga, terjun
bebas tanpa ada aral rintang.
Jangankan merasakan nikmatnya pekerjaan
yang dijanjikan, bisa bekerja dengan tenang meski hanya bermodal sawah
sepetak ternyata kebahagiaan juga diberangus oleh ulah maling yang
setiap malam menjarah hewan ternak mereka. Boro-boro bisa menikmati
jalan-jalan mulus seperti obralan mereka, jalan berlubang penuh lumpur
menjadi pemandangan harian di sudut-sudut kota.
Sedih dan kecewa, itulah yang kini
dirasakan. Namun benarkah itu salah mereka yang kini memimpin? Atau
salah masyarakat yang telah memilih?
Adanya otonomi daerah mungkin menyimpan
impian bagi masyarakat Indonesia, karena diharapkan dengan begitu semua
pelayanan dan infrastruktur akan merata ke semua daerah di Indonesia dan
tidak hanya terpusat di pusat akan tetapi merata hingga ke daerah.
Dengan demikian diharapkan pembangunan juga merata ke seluruh daerah.
Akan tetapi justru munculnya raja-raja daerah yang ternyata memanfaatkan
situasi ini untuk memperkaya diri. Bertameng putra daerah, seolah-olah
kepala daerah adalah milik otoraritas penduduk lokal dengan
mengesampingkan masyarakat pendatang sehingga sentimen primordialisme
sempit lebih cepat berkembang dari pada primordialisme kebangsaan yang
semestinya dijaga.
Kenyataan ini sungguh ironis di mana di sektor-sektor
riil dan hampir semua sudut perkantoran yang duduk di kursi empuk
adalah kroni-kroni yang terkadang tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin
masyarakat. Seperti telah di meja hijaukan beberapa pejabat daerah
karena melakukan penyelewengan dana (korupsi) dan berakhir masuk ke
dalam bui seperti direlease oleh InfoKorupsi. com Edisi 13 Juli 2013.
Akibat dari situasi tersebut banyak
daerah-daerah yang kurang merasakan bagaimana menikmati jalan yang mulus
dan sarana pendidikan yang memadai. Akan tetapi justru rumah-rumah
mewah para pejabat yang justru menjadi program pokok selama menjadi
kepala daerah.
Padahal dengan dicetuskannya Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 kemudian diperkuat dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
memberikan implikasi kepada wilayah daerah agar cepat berkembang seiring
meningkatnya status sentralisasi menjadi desentralisasi di mana daerah
otonom memiliki wewenang seluas-luasnya mengurus daerahnya sendiri.
Tapi
memang nasi sudah menjadi bubur segala sesuatu tidak boleh disesali
tapi dikoreksi dan diperbaiki agar sistem yang sudah ada menjadi lebih
baik lagi sehingga tidak seperti ungkapan anak muda loe gue end seteleh menikmati madunya otonomi daerah mereka meninggalkan tanggung jawabnya terhadap kepentingan masyarakat banyak. (maa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar