Kertas Surat Suara Pilpres 2014 |
Tulisan saya ini sekedar coretan
kecil, sekaligus sebagai tanggapan atas tulisan pak Khoeri Abdul Muid, bahwa
Presiden “Jawa” untuk Republik Indonesia “Jawa”. Tulisan inipun bukan
selayaknya gugatan dari sekelompok orang yang menyatakan dirinya sebagai forum
pengacara konstitusi yang telah melakukan gugatan uji materil atas
undang-undang No. 42/2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Yakni pasal 159 ayat (1) tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mengenai
sebaran kemenangan Pilpres.
Karena sekedar pembanding atas
perjalanan demokrasi bangsa kita yang sepertinya terlalu berbelit-belit dan
terkesan memboroskan uang negara. Semoga saja saya tidak menyinggung persoalan
potensi kebocoran anggaran, karena keluar jauh dari konteks pemahaman saya.
Namun ketika saya membaca tulisan
pak Khoeri seakan-akan saya dipaksa menilai bahwa selama ini undang-undang
pemilu kita selalu saja seperti “bahan mentah” yang selayaknya belum layak
konsumsi. Meskipun bukan bermaksud merendahkan institusi yang membuat
undang-undang ini. Namun, sebagai sebuah undang-undang yang notabene hasil buah
pikir dan penalaran, asumsi atau bahkan mungkin”kepentingan” semestinya
Undang-undang tetap saja bukan harga mati, sesuatu produk institusi yang tidak
boleh dikoreksi dan diperbaiki. Tentu saja menurut saya, akan sangat mungkin
sebuah produk undang-undang diperbaiki lagi atau dibuat undang-undang baru sebagai
pengganti dari undang-undang yang dianggap “kurang tepat atau kurang layak”.
Dengan kata lain, semua produk
undang-undang itu adalah buatan manusia yang besar kemungkinan dianulir atau
diamandemen jika didalamnya tidak sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kondisi
kontemporer yang menuntut aturan baru yang lebih sesuai. Sebagaimana telah
diamandemennya UUD 1945 karena kebutuhan kekinian. Apakah kiranya merubah atau
mengamandemen itu sebuah kekeliruan? Sepertinya tidak juga, karena bagaimanapun
Undang-undang apapun bukan produk keramat yang tak dapat diperbaiki jika
terdapat kesalahan atau membutuhkan koreksi atas apa yang terjadi. Seperti
halnya digugatnya UU no 42 tahun 2008 tersebut.
Begitupun pemerintah menganggap
keputusan Yudicial Review oleh MK tersebut merupakan keputusan final dan harus
diikuti oleh semua orang. Karena MK memiliki kewenangan dalam memutuskan
direvewnya sebuah undang-undang atas kebutuhan dan kepentingan tertentu.
Terlepas telah diputuskannya
undang-undang yang menyatakan bahwa peraih suara terbanyak memang layak menjadi
presiden meski tanpa melakukan pemilihan putaran kedua tentu ada beberapa
alasan yang tentu saja sudah dipertimbangkan masak-masak.
1. Pemilu satu putaran
mengurangi cost untuk Pemilu
Sebagaimana keputusan tersebut
mempertimbangkan azas ekonomi di mana ketika sebuah proses demokrasi maka
selayaknya pemerintah menghitung ulang penggunaan anggaran negara tersebut.
Sebagaimana dipahami bahwa biaya pelaksanaan pemilu terlalu mahal jika
dikaitkan kondisi kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Adalah sebuah kebaikan
jika pemilu tersebut diselenggarakan lebih efektif dan efisien. Pemilihan umum
sejatinya sebuah proses berdemokrasi, namun adalah keniscayaan tidak
mengorbankan segala-galanya demi sebuah demokrasi.
Betapa uang negara yang
semestinya digunakan untuk hajat yang lebih spesifik ternyata harus dikorbankan
demi sebuah Pemilu, toh kadangkala pemilu pun kurang menyelesaikan persoalan
ekonomi bangsa Indonesia. Semakin lama kita mengadakan pemilu justru keuangan
negara semakin terkikis. Padahal ada pos-pos lain yang lebih membutuhkan uang
tersebut. Bahkan justru semakin memperberat beban negara disebabkan keuangan
negara yang dihabiskan untuk proses demokrasi.
Kebutuhan logistik yang cukup
memeras biaya, serta ongkos untuk membayar panitia pemilihan umum dari pusat
sampai daerah yang jumlahnya tidak sedikit.
Namun demikian, dampak negatifnya
adalah akan sangat sulit diberlakukan pada pemilu yang akan datang jika wakil
rakyat (capres-cawapres) lebih dari dua pasang calon. Meskipun paling tidak
yudicial review atas undang-undang tersebut menjawab keinginan rakyat agar
hajat demokrasi lebih efektif dan efisien.
2. Mengurangi dampak
konflik sosial
Selain mengurangi dampak
pemborosan anggaran negara, tentu saja dengan pemilu satu putaran akan
mengurangi gesekan-gesekan sosial terkait proses kampanye. Seperti halnya
munculnya aksi kampanye dijalan raya dengan arak-arakan kendaraan bermotor yang
cukup meresahkan, juga karena sering diketemukan adanya konflik sentimen di
tataran akar rumput.
Karena biasanya, konflik yang
paling sering terjadi adalah di tataran masyarakat awam yang mudah sekali
terpancing oleh adu-domba dan kepentingan curang agar proses demokrasi
mengalami huru-hara. Semoga saja hal ini tidak terjadi karena menggunakan satu
putaran.
Namun demikian, karena proses
pemilu hanya satu kali putaran, tentu saja akan banyak muncul kekecewaan karena
mereka tidak bisa melakukan evaluasi atas pilihan pertama jika pada pilihan
pertama ternyata tidak sesuai dengan hati nurani.
3. Pilihan terbanyak
adalah pilihan seluruh rakyat Indonesia
Hal ini sudah pasti, karena
bagaimanapun hasilnya pemilu adalah hajat rakyat untuk menyampaikan
aspirasinya. Sehingga siapapun yang mampu meraih suara terbanyak sudah pasti
mewakili seluruh rakyat Indonesia. Tidak terbatas Jawa maupun luar Jawa. Meskipun estimasi populasi pemilih dipulau Jawa sebesar 58%.
Namun demikian dari seluruh
populasi pemilih yang ada di pulau jawa pun lebih banyak terkonsentrasi di
Jakarta. Sedangkan Jakarta berisi penduduk yang berasal dari berbagai daerah.
Selain itu, persebaran jumlah
suara yang terbanya menjadi pemenang sebenarnya sudah mewakili keterwakilan
dari suara masing-masing parpol, meskipun tidak menutup kemungkinan pemilih
partai tertentu tidak memilih presiden yang diusung oleh parpol yang sama.
Segalanya serba mungkin terjadi karena saat inipun suara-suara arus bawah sudah
mulai terlihat perubahan yang signifikan. Tentu saja karena melihat hasil
survey, kampanye capres-cawapres dan tentu saja pengaruh opini-opini yang
berkembang.
Dengan kata lain, pemilihan
presiden dengan satu kali putaran dengan tidak mengacu jumlah perolehan sebesar
20% sebagaimana dalam UU Pilpres tersebut akan mudah terjadi karena hanya 2
pasangan capres-cawapres. Jika capres dan cawapres hanya memfokuskan kampanye
di wilayah pulau Jawa saja akan besar kemungkinan justru mengalami kekalahan
apabila suara yang dikumpulkan bukan suara mayoritas. Misalnya saja dari
keseluruhan suara hanya memfokuskan diri di pulau Jawa yang hanya sebesar 58% suara
nasioal, dan ternyata suara tersebut bukan suara mayoritas maka suara-suara di
luar pulau Jawa akan menjadi penyumbang suara dari capres-cawapres lain yang
berjumlah 42%.
Bagaimanapun hasil keputusan
tersebut sudah mewakili aspirasi dan kebutuhan payung hukum atas kondisi jumlah
pasangan capres dan cawapres pada pilpres 2014 ini.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar