Sabtu, 12 Juli 2014

Dampak Positif dan Negatif Jika Pilpres 2014 dilakukan Sekali Putaran

Kertas Surat Suara Pilpres 2014


Tulisan saya ini sekedar coretan kecil, sekaligus sebagai tanggapan atas tulisan pak Khoeri Abdul Muid, bahwa Presiden “Jawa” untuk Republik Indonesia “Jawa”. Tulisan inipun bukan selayaknya gugatan dari sekelompok orang yang menyatakan dirinya sebagai forum pengacara konstitusi yang telah melakukan gugatan uji materil atas undang-undang No. 42/2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Yakni pasal 159 ayat (1) tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mengenai sebaran kemenangan Pilpres.

Karena sekedar pembanding atas perjalanan demokrasi bangsa kita yang sepertinya terlalu berbelit-belit dan terkesan memboroskan uang negara. Semoga saja saya tidak menyinggung persoalan potensi kebocoran anggaran, karena keluar jauh dari konteks pemahaman saya.

Namun ketika saya membaca tulisan pak Khoeri seakan-akan saya dipaksa menilai bahwa selama ini undang-undang pemilu kita selalu saja seperti “bahan mentah” yang selayaknya belum layak konsumsi. Meskipun bukan bermaksud merendahkan institusi yang membuat undang-undang ini. Namun, sebagai sebuah undang-undang yang notabene hasil buah pikir dan penalaran, asumsi atau bahkan mungkin”kepentingan” semestinya Undang-undang tetap saja bukan harga mati, sesuatu produk institusi yang tidak boleh dikoreksi dan diperbaiki. Tentu saja menurut saya, akan sangat mungkin sebuah produk undang-undang diperbaiki lagi atau dibuat undang-undang baru sebagai pengganti dari undang-undang yang dianggap “kurang tepat atau kurang layak”.

Dengan kata lain, semua produk undang-undang itu adalah buatan manusia yang besar kemungkinan dianulir atau diamandemen jika didalamnya tidak sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kondisi kontemporer yang menuntut aturan baru yang lebih sesuai. Sebagaimana telah diamandemennya UUD 1945 karena kebutuhan kekinian. Apakah kiranya merubah atau mengamandemen itu sebuah kekeliruan? Sepertinya tidak juga, karena bagaimanapun Undang-undang apapun bukan produk keramat yang tak dapat diperbaiki jika terdapat kesalahan atau membutuhkan koreksi atas apa yang terjadi. Seperti halnya digugatnya UU no 42 tahun 2008 tersebut.

Begitupun pemerintah menganggap keputusan Yudicial Review oleh MK tersebut merupakan keputusan final dan harus diikuti oleh semua orang. Karena MK memiliki kewenangan dalam memutuskan direvewnya sebuah undang-undang atas kebutuhan dan kepentingan tertentu.

Terlepas telah diputuskannya undang-undang yang menyatakan bahwa peraih suara terbanyak memang layak menjadi presiden meski tanpa melakukan pemilihan putaran kedua tentu ada beberapa alasan yang tentu saja sudah dipertimbangkan masak-masak.

1. Pemilu satu putaran mengurangi cost untuk Pemilu

Sebagaimana keputusan tersebut mempertimbangkan azas ekonomi di mana ketika sebuah proses demokrasi maka selayaknya pemerintah menghitung ulang penggunaan anggaran negara tersebut. Sebagaimana dipahami bahwa biaya pelaksanaan pemilu terlalu mahal jika dikaitkan kondisi kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Adalah sebuah kebaikan jika pemilu tersebut diselenggarakan lebih efektif dan efisien. Pemilihan umum sejatinya sebuah proses berdemokrasi, namun adalah keniscayaan tidak mengorbankan segala-galanya demi sebuah demokrasi.

Betapa uang negara yang semestinya digunakan untuk hajat yang lebih spesifik ternyata harus dikorbankan demi sebuah Pemilu, toh kadangkala pemilu pun kurang menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa Indonesia. Semakin lama kita mengadakan pemilu justru keuangan negara semakin terkikis. Padahal ada pos-pos lain yang lebih membutuhkan uang tersebut. Bahkan justru semakin memperberat beban negara disebabkan keuangan negara yang dihabiskan untuk proses demokrasi.

Kebutuhan logistik yang cukup memeras biaya, serta ongkos untuk membayar panitia pemilihan umum dari pusat sampai daerah yang jumlahnya tidak sedikit.

Namun demikian, dampak negatifnya adalah akan sangat sulit diberlakukan pada pemilu yang akan datang jika wakil rakyat (capres-cawapres) lebih dari dua pasang calon. Meskipun paling tidak yudicial review atas undang-undang tersebut menjawab keinginan rakyat agar hajat demokrasi lebih efektif dan efisien.

2. Mengurangi dampak konflik sosial

Selain mengurangi dampak pemborosan anggaran negara, tentu saja dengan pemilu satu putaran akan mengurangi gesekan-gesekan sosial terkait proses kampanye. Seperti halnya munculnya aksi kampanye dijalan raya dengan arak-arakan kendaraan bermotor yang cukup meresahkan, juga karena sering diketemukan adanya konflik sentimen di tataran akar rumput.

Karena biasanya, konflik yang paling sering terjadi adalah di tataran masyarakat awam yang mudah sekali terpancing oleh adu-domba dan kepentingan curang agar proses demokrasi mengalami huru-hara. Semoga saja hal ini tidak terjadi karena menggunakan satu putaran.

Namun demikian, karena proses pemilu hanya satu kali putaran, tentu saja akan banyak muncul kekecewaan karena mereka tidak bisa melakukan evaluasi atas pilihan pertama jika pada pilihan pertama ternyata tidak sesuai dengan hati nurani.

3. Pilihan terbanyak adalah pilihan seluruh rakyat Indonesia

Hal ini sudah pasti, karena bagaimanapun hasilnya pemilu adalah hajat rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Sehingga siapapun yang mampu meraih suara terbanyak sudah pasti mewakili seluruh rakyat Indonesia. Tidak terbatas Jawa maupun luar Jawa. Meskipun estimasi populasi pemilih dipulau Jawa sebesar 58%.

Namun demikian dari seluruh populasi pemilih yang ada di pulau jawa pun lebih banyak terkonsentrasi di Jakarta. Sedangkan Jakarta berisi penduduk yang berasal dari berbagai daerah.

Selain itu, persebaran jumlah suara yang terbanya menjadi pemenang sebenarnya sudah mewakili keterwakilan dari suara masing-masing parpol, meskipun tidak menutup kemungkinan pemilih partai tertentu tidak memilih presiden yang diusung oleh parpol yang sama. Segalanya serba mungkin terjadi karena saat inipun suara-suara arus bawah sudah mulai terlihat perubahan yang signifikan. Tentu saja karena melihat hasil survey, kampanye capres-cawapres dan tentu saja pengaruh opini-opini yang berkembang.

Dengan kata lain, pemilihan presiden dengan satu kali putaran dengan tidak mengacu jumlah perolehan sebesar 20% sebagaimana dalam UU Pilpres tersebut akan mudah terjadi karena hanya 2 pasangan capres-cawapres. Jika capres dan cawapres hanya memfokuskan kampanye di wilayah pulau Jawa saja akan besar kemungkinan justru mengalami kekalahan apabila suara yang dikumpulkan bukan suara mayoritas. Misalnya saja dari keseluruhan suara hanya memfokuskan diri di pulau Jawa yang hanya sebesar 58% suara nasioal, dan ternyata suara tersebut bukan suara mayoritas maka suara-suara di luar pulau Jawa akan menjadi penyumbang suara dari capres-cawapres lain yang berjumlah 42%.

Bagaimanapun hasil keputusan tersebut sudah mewakili aspirasi dan kebutuhan payung hukum atas kondisi jumlah pasangan capres dan cawapres pada pilpres 2014 ini.

Salam

Tidak ada komentar: