Rabu, 28 Mei 2014

Apakah Ayahku Menerima Gratifikasi?

Sumber : infoindo.com


Apakah Ayahku Menerima Gratifikasi?
Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag


Jika lebaran tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya kami selalu memberikan angpau, hadiah, minimal sebuah parsel yang di dalamnya berisi beraneka ragam makanan, dan dulu juga sering ayahku menerima sejumlah uang dari teman-teman sepekerjaan yang “katanya” ucapan terima kasih seorang bawahan kepada atasan, kontraktor dan konsultan, guru kepada kepala sekolahnya atau RT kepada Lurah nya. Namun kini semua itu tidak ada lagi. Hubungan itu terasa jauh bahkan untuk sekedar mengurus proyek pengaspalan jalan sepertinya rekanan sudah tidak pernah lagi datang dan “menyumbang” dompet bapak yang kadangkala kehabisan stok karena habis untuk biasa persiapan lebaran.

Ilustrasi di atas menggambarkan begitu banyaknya kasus korupsi yang termasuk dalam ranah gratifikasi. Bukan bermaksud ahli dalam bidang ini namun menjelaskan  pengertian gratifikasi menurut undang-undang  No 20 tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas termasuk di dalamnya pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya (sumber : e modul gratifikasi).

Fenomena kehadiran undang-undang tindak pidana korupsi seperti senjata makan tuan di mana mereka yang dahulunya mengelu-elukan hadirnya payung hukum yang mencegah seseorang melakukan korupsi ternyata justru menjadi bumerang  yang kini menjadi senjata yang menakutkan bagi pelaku kejahatan ini, sebagaimana terjadi pada salah satu partai di mana awalnya sangat garang meneriakkan tentang kejujuran tapi ternyata ada kadernya yang menjadi korban atas kontribusinya terhadap pencegahan korupsi itu sendiri.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa semua pemberian yang berkaitan dengan kedinasan disebut gratifikasi baik gratifikasi legal maupun ilegal di mana bisa disebut ilegal jika uang atau barang yang diberikan tidak segera dilaporkan kepada ka pe ka sebagai malaikat pencabut nyawa bagi para pemberi dan penerima gratifikasi ini. Tidak tanggung-tanggung jika seorang bawahan memberikan upeti kepada atasan sejumlah uang maka keduanya akan dianggap melanggar undang-undang no 20 tahun 2001 perubahan atas undang-undang no 31 tahun 1999 dengan ancaman Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): sungguh hukuman yang sangat sesuai bagi pelakunya.

Tidak hanya jika nilai nomilan uang dalam jumlah besar akan tetapi juga tetap dianggap gratifikasi jika seorang ayah yang memberikan hadiah kepada kepala sekolah agar anaknya dapat diluluskan dengan predikat terbaik. Atau jika seorang pegawai yang memberikan sejumlah uang kepada atasannya dengan alasan menolak untuk dipindah tugaskan.

Sebelum adanya undang-undang tindak pidana korupsi mungkin setiap orang bisa menikmati upeti dan hadiah tanpa rasa takut akan mendapatkan sanksi di atas dan setiap atasan bisa menekah bawahan agar memberikan sejumlah uang atas nama hadiah tersebut agar jabatannya tidak mendapatkan koreksi sehingga semua pekerjaan sudah dianggap baik meskipun jauh dari kata memenuhi syarat. Jika semestinya jalan yang dibangun bisa bertahan sampai 10 tahun karena ulah gratifikasi ini jalan pun hanya bertahan selama 5 bulan bahkan mungkin lebih cepat mengalami kerusakan.

Lagi-lagi masyarakat sebagai penyumbang pajak akan menelan pil pahit karena ulah orang-orang yang menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi yang berakibat semua infrastruktur dibangun tidak sesuai dengan aturannya dan uang negara dibelanjakan tidak sesuai dengan peruntukannya dan pada akhirnya hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati uang negara seperti halnya Gayus Tambunan yang tersangkut korupsi suap uang pajak dimana sebelumnya orang-orang di Dirjen Pajak adalah orang-orang yang tergolong bangsawan karena rata-rata mereka hidup dalam kemewahan sehingga banyak mertua yang ingin anaknya dinikahkan dengan pegawai pajak. Namun ternyata kenyataan di dalamnya amat jauh dari apa yang dipikirkan tentang kemewahan di mana tidak terlalu lama pelakunya terjerat kasus hukum karena melakukan pelanggaran wewenang.

Semua hal yang berkaitan dengan pemberian dengan tujuan ingin merubah sebuah kebijakan dan mempunyai tendensi akan menguntungkan pihak pemberi hadiah sudah termasuk ranah pelanggaran tindak pidana korupsi sub bagian gratifikasi.

Namun, adakalanya sebuah pemberian tidak disebut gratifikasi manakala orang yang memberi dan menerima tidak mempunyai maksud dan tujuan yang berkaitan dengan kedinasan ataupun merubah sebuah kebijakan seperti halnya seorang anak memberikan uang belanja kepada ibunya yang sudah tua renta sedang uang tersebut benar-benar dari gaji yang semestinya dan sah tidak mengambil yang bukan miliknya, atau orang tua yang memberikan sebagian penghasilannya demi menyantuni anak-anak yatim yang dalam kesusahan.

Tidak ada komentar: