Saya tertarik kata-kata sahabat saya di
Kompasiana dan mungkin saya sendiri sering mengatakan ini, pemilu adalah pesta
demokrasi. Ya, dan saya pun awalnya selalu sepakat bahwa Pemilu kali ini sarat dengan
intrik dan taktik yang notabene "baru" dipahami oleh masyarakat awam
seperti saya. Mungkin orang-orang seperti saya pun memahamkan diri dan
membenarkan bahwa pemilu (pilpres) adalah pesta demokrasi.
Tetapi, seiring perjalanan waktu, saya berusaha
merenung lagi pasca saya melihat pemilihan umum ini tidak lagi sehat, menarik
dan menyenangkan saya jadi tertarik untuk menyebutnya bahwa pemilu bukan sebuah
pesta demokrasi. Karena setahu saja pesta itu sifatnya senang-senang, bagi-bagi
kebahagiaan, dan semua berkumpul menumpahkan kebahagiaan karena sukses mencapai
tujuan tertentu. Tentu saja ketika dikaitkan dengan pemilu atau pilpres kali
ini sejatinya setiap orang menumpahkan kebahagiaan, pujian, ucapan selamat dan
saling berjabat tangan.
Ibarat sebuah pesta perkawinan, pasangan capres
dan cawapres disandingkan sedangkan para tamu menyambutnya dengan sebuah
kebagiaan, haru bahkan air mata bahagia dari kedua pasangan. Dan lebih dari
ucapan tulus dari orang tua pasangan, keluarga atau handai taulan dan para tamu
yang turut merasakan desiran angin surga yang dirasakan oleh sepasang pengantin
tersebut.
Dan seperti biasa, ketika kedua pasangan dan
orang-orang larut dalam kebahagiaan, merekapun saling menyumbang (ngamplop)
sebagai bagian penting ikatan kekeluargaan. Karena di lain waktu tatkala
pasangan lain akan melangsungkan perkawinan keluarga lainnya turut membantu
(mengamplop) juga agar beban keluarga kecil yang baru dirajut sedikit banyak
berkurang.
Apakah dalam pesta perkawinan tersebut mereka
saling mencaci dan menghina? Dan apakah sepasang pengantin tersebut
berteriak-teriak bangga bahwa mereka sukses menjadi pengantin? Nggak bukan?
Justru mereka saling menyapa, memuji dan berterimakasih secara tulus karena
mereka berhasil membina hubungan lebih serius hingga ke jenjang perkawinan nan
suci. Dan sepasang pengantin inipun tak berteriak-teriak tanda bangga "hai
saya sukses merebut wanita ini menjadi istri saya". Tentu juga tidak
dilakukan, karena sepasang suami istri paham betul, kehidupan baru dimulai dan
pekerjaan yang harus diselesaikan terlampau banyak, bahkan tak sedikit aral
melintang akan menemui dan menghadang kebahagiaan mereka.
Ilustrasi inilah hakekatnya sebuah pesta. Begitu
pula jika pilpres merupakan pesta demokrasi, sepatutnya semua capres-cawapres
akan menunjukkan wajah sumringah, bahagia, dan tak ada kata-kata selain ucapan
syukur karena telah dipercaya oleh rakyat menjadi pemimpin mereka. Dan
sepatutnya ketika baru saja memasuki gerbang rumah (kepemimpinan Indonesia)
mereka pun sejatinya harus siap menerima konsekuensi setiap detik perjalan
waktu akan dihadapi dengan aneka persoalan. Kalau perkawinan mungkin terkait
keluarga mereka sendiri yang harus diberikan kehidupan yang layak. Bahkan
sejatinya capres dan cawapres yang disandingkan mestinya menitikkan air mata
haru karena dipercaya, dan sedih karena menerima amanah rakyat yang maha berat.
Tidak hanya satu keluarga mereka sang capres dan
cawapres yang mesti bahagia dan sejahtera, tapi kurang lebih 250 juta penduduk
Indonesia pun ingin dibahagiakan, ingin disejahterakan. Dan tentu saja ingin
mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Tapi, amat kontradiktif jika kita bandingkan
dengan indahnya sebuah pesta perkawinan, tatkala melihat pemilu yang katanya
"pesta demokrasi" ini, karena mereka saling menghujat, menghina,
mencela, bermain kotor, saling akal-akalan media, dan yang lebih miris lagi
melakukan propaganda kotor. Dampaknya indahnya "pesta demokrasi"
justru menjadi bumerang, selayaknya mesin pembunuh karakter dan pembunuh
pribadi-pribadi bangsa ini. Wajar saja seringpula kita melihat gara-gara
pilkada, pileg dan pilpres yang harus terluka dan meregang nyawa. Ketika
awalnya mereka saling bertegur sapa dan berjabat tangan, kini yang tersisa
adalah umpatan-umpatan keji yang jauh dari nurani. Sakit dan pedih rasanya jika
Indonesia yang indah ini dihuni para pencaci dan para pembenci.
Lupakan pesta demokrasi demi pendidikan
demokrasi
Kita semua menyadari bahwa tidak mudah kog
menerima sebuah perbedaan. Jangankan di rumah besar Indonesia yang jumlahnya
jutaan umat, di dalam rumah tangga yang isinya sepasang suami istri saja masih
diketemukan percekcokan. Namun yang patut direnungkan tatkala ketika kita
benar-benar harus berdemokrasi sepatutnya dikembalikan prinsip dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari kitalah demokrasi itu dibangun, oleh
kita-kita yang se-Indonesia ini pula demokrasi ini dijalankan karena dampaknya
ketika demokrasi itu sukses maka kebahagiaan pun akan kita nikmati. Bukan hanya
para pejabat yang sepatutnya menikmati kesuksesan sebuah demokrasi.Bukan justru
sebuah kegagalan demi kegagalan yang kita temui.
Dari dahulu sejak Indonesia merdeka pun kita
sudah belajar menjadi sosok yang demokratis dan pemimpin-pemimpin yang
diajarkan berdemokrasi secara adil dan transparan. Tidak saling menyakiti
karena tujuan kita sama kesejahteraan untuk Indonesia.
Apakah ketika 69 tahun Indonesia merdeka hanya
dilalui dengan ketidak mengertian makna demokrasi? Apakah sebatas inikah
pendidikan tentang demokrasi di sekolah diajarkan oleh guru-guru kita?
Sepertinya tidak bukan? Pilpres hanyalah proses menuju pendewasaan diri. Kita
belajar menerima perbedaan dan kondisi riil bahwa kita ditakdirkan berbeda.
Belajar untuk berdemokrasi mungkin lebih pantas
disandangkan pada negara yang sudah berumur tua ini. Bukan pesta demokrasi tapi
berbuah kesedihan, kejahatan dan kemunafikan. Belajar lah dahulu mengerti akan
perbedaan sebelum kita berpesta. Karena tak sepatutnya pesta yang semestinya
penuh kesenangan, kemeriahan dan kerukunan jika dikotori dengan prilaku yang
justru jauh dari kesan "pesta" tapi justru seperti ajang bagi
anak-anak yang tak mengerti bagaimana mereka berdemokrasi.
Berdemokrasi demi mencari sosok pemimpin yang
sejati, yang akan memimpin jutaan penduduk Indonesia agar semakin sejahtera
dalam kedamaian. Baldatun Thayibatun Warobbun Ghafur. Negeri yang
sejahtera dan sentosa dan penuh ampunan dan keridhaan Tuhan.
Saya mengutip pesan Nabi:
Setiap kamu adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggung jawaban
atas apa yang telah
dipimpinnya.
dan :
“Many forms of Government have been
tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that
democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is
the worst form of government except all those other forms that have been tried
from time to time.”Winston Churchill (Hansard, November 11, 1947)Ø Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Ø
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar