Sabtu, 12 Juli 2014

Derita Palestina adalah Derita Kita (SavePalestine)



Negeri Palestina menghendaki kemerdekaan dari invasi Israel, SavePalestine


Baru saja saya melihat dan membaca beberapa update teman fb yang isinya tentang korban-korban kebiadaban militer Israel, begitu pula informasi dari beberapa media massa yang turut melengkapi informasi bahwa saat ini Israel tengah melakukan aksi penghancuran masyarakat Palestina secara sporadis.

Bangsa turunan Yahudi ini melakukan kejahatan kemanusiaan yang berlindung dalam kekuatan PBB di bawah kendali AS dan sekutu-sekutunya. Mereka membombardir, membunuh dan menyiksa semua warga Palestina, baik pejuang, perempuan dan anak-anak tak berdosa. Secara membabibuta mengunuskan senjata, menumpahkan ribuan peluru dan menjatuhkan bom-bom berdaya ledak dahsyat, demi tujuan utama atas nama hak atas tanah yang menurut mereka adalah tanah leluhur bangsa Israel. Meskipun seandainya bangsa Israel menganggap bahwa tanah itu adalah tanah Israel, mengapa bangsa Palestina pun mengakui bahwa tanah tersebut tanah mereka? Sejatinya perundingan demi perundingan yang difasilitasi PBB sudah menemui jalan terbaik dan memberikan solusi gencatan senjata serta perdamaian kedua bangsa ini agar hidup berdampingan secara damai.

Terlepas apa motif Israel kenapa melakukan kebiadaban tersebut dan terlepas dari status saya sebagai seorang muslim yang sangat menyayangkan tindakan Israel yang sangat berlebih-lebihan. Bahkan sejatinya bangsa ini melakukan dengan tanpa belas kasihan, para perempuan dan anak-anak tak berdosa pun menjadi tumbal keserakahan mereka. Bahkan bagi penganut agama apapun, jika mereka mempunyai ikatan kemanusiaan dan rasa cinta pada harkat dan martabat kemanusiaan maka mereka pun akan mengutuk tindakan biadab bangsa Israel.

Bahkan, jika semua penganut agama sepakat bahwa tindakan Israel sudah melanggar ajaran kitab suci mereka, maka tidak ada jalan lain, semua umat manusia pun sepatutnya melindungi dan membantu derita bangsa Palestina. Entah mereka penganut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan agama apapun akan turut menyesalkan tindakan biadab yang tak berkemanusiaan ini.

Sejenak saya melihat beberapa foto korban kekerasan yang merenggut perempuan dan anak-anak, sesaat mata saya menitikkan air mata. Dalam sanubari saya bertanya kenapa demi kehidupan dunia mereka tega melakukan kebidaban ini? Dan kenapa karena ambisi kekuasaan mereka rela mengorbankan anak-anak yang tak berdosa? Saya tak mampu lagi berkata-kata bahwa tindakan tersebut sudah selayaknya prilaku hewan. Sedangkan hewan adalah makluk tak berakal.

Saya pun tak bisa membayangkan, jika suatu saat rakyat Indonesia merasakan kekerasan fisik seperti yang dialami bangsa Palestina karena konflik perbatasan dan politik. Karena siapapun tak kan menduga, bahwa konflik bisa saja terjadi pada kehidupan manusia, tidak memandang dari mana mereka berasal. Dan saya pun membayangkan jika anak-anak dan perempuan yang telah tewas dan mengalami cacat fisik adalah bagian keluarga saya. Bagaimana saya harus merelakan kekerasan tersebut bisa terjadi? Dan anehnya, umat manusia yang sejatinya memiliki rasa yang sama bahwa kekerasan adalah sebuah kejahatan pun seperti tidak bisa melakukan apa-apa.

Padahal siapa sih Israel?, apakah karena mereka di bawah ketiak bangsa Amerika? dan apakah karena mereka dibawah naungan negara-negara Yahudi lainnya? Saya semakin tak habis pikir, tatkala melihat bangsa-bangsa lain yang turut merasakan kepedihan anak-anak Palestina seperti membiarkan saja pembunuhan demi pembunuhan tetap berlangsung.

Bangsa Amerika dengan PBBnya pun sepertinya hanya bisa menonton, dan tak bisa memberikan solusi apa-apa tatkala senjata-senjata Israel, membumihanguskan bangsa Palestina. Meskipun saya menduga bahwa Amerika tengah terikat penjualan senjata dengan bangsa Israel. Dan karena infasi tersebutlah hakekatnya Israel dan Amerika sebagai sekutunya dapat bertahan hidup dan tetap memegang kendali bangsa-bangsa di dunia dengan kekuatan adidayanya.

Sekali lagi terlepas apapun latar belakang bangsa Palestina, hakekatnya kita semua akan merasakan kepedihan jika kita memiliki hati nurani dan rasa cinta kepada semua manusia. Sehingga mau tidak mau kitapun sepatutnya turut mengecam, bahkan mendesak bangsa Israel untuk menghentikan kebiadaban mereka. Namun, jika ternyata hati kita sama sekali tidak merasakan kepedihan mereka, sudah dapat dipastikan slogan-slogan bahwa kita mencintai sesama umat manusia hakekatnya hanyalah omong kosong semata.

Semoga kita semua tak seberapa lama segera memikirkan solusi apakah yang dapat kita berikan kepada bangsa Palestina, dan semoga saja bangsa Palestina diberikan kesabaran dan ketabahan tatkala penderitaan tengah menghinggapi kehidupan mereka.

Salam Damai

Sumber gambar : diary.febdian.net

Deklarasi Kemenangan Pasca Quick Count, Amat Berlebihan

Add caption

 
Akhir-akhir ini trend berita nasional pasca pilpres tanggal 9 Juli lalu adalah semakin gencarnya silang pendapat antara lembaga survey satu dengan yang lainnya. Entah survey yang berasal dari masing-masing kubu capres-cawapres yang terikat kontrak kerja, juga lembaga survey yang bersifat independent. Semua itu merupakan lembaga-lembaga penghitungan cepat yang menurut pendirinya pun sudah dianggap valid.

Dan pasca pengumuman, berapa persen peroleh suara masing-masing capres pun memunculkan reaksi beragam. Antara percaya dan tidak percaya. Antara keyakinan bahwa lembaga survey tersebut jujur dan tidak sedikit yang mencibir dan berbalas menuduh bahwa lembaga survey tersebut tidak kredibel, serta dianggap tidak layak sebagai rujukan. Sebuah sikap pro dan kontra disebabkan perbedaan hasil hitung cepat tersebut.

Dampaknya, tidak hanya lembaga-lembaga yang memproklamirkan dirinya yang “paling” layak yang memberikan opini positif bahwa hasil yang mereka sampaikan adalah yang paling akurat. Namun, lebih dari itu ada intimidasi yang cukup massif dari masing-masing lembaga survey tersebut yang justru semakin memperburuk citra lembaga tersebut di mata masyarakat Indonesia. Wajar saat ini sering muncul istilah “survey abal-abal” atau “lembaga survey bayaran”, yang sekaligus menjadi bahasa paling manis untuk diucapkan akhir-akhir ini.

Terlepas dari hasil survey dalam quick count tersebut, ada hal yang sebenarnya paling mendasar dari proses pilpres 2014 ini, yang sejatinya tidak “terburu-buru” dilakukan karena memang belum mencapai final. Bahkan kesannya lebih mendekati sikap tergesa-gesa untuk menjadi menang. Baik berasal dari kubu Prabowo maupun Jokowi yang merasa menjadi pemenang. Padahal proses pemungutan suara baru saja dirampungkan. Sehingga, sepatutnya pasca pemungutan suara, negeri ini menenangkan diri dan menunggu hasil akhir dari KPU yang akan melakukan rekapitulasi secara akurat dan terpercaya. Karena hanya hasil dari KPU lah barometer kemenangan dari masing-masing capres-cawapres dapat dianggap valid. Selebihnya jika melihat hitung cepat tersebut, sepatutnya hanya sebagai gambaran sementara yang bersifat “semu” dan jangan selalu menjadi patokan pasti.

Ada banyak komentar miring yang ditujukan pada masing-masing hasil penghitungan cepat tersebut, bahkan karena saking masifnya justru bukan hasil penghitungan KPU yang ditunggu dan diakui, tapi seakan-akan para timses berusaha mendahului kebenaran mutlak yang dihasilkan oleh KPU tersebut. 

Maka amat wajar jika masing-masing capres sudah “merasa” menang dan mendeklarasikan kemenangannya. Padahal keputusan menang atau kalah pun belum diketahui secara pasti. Meskipun para pengamat menganggap bahwa hasil quick count tersebut selisihnya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan real count yang dilakukan oleh KPU.

Bahkan saya melihat, dan mungkin masyarakat Indonesia menganggap pendeklarasian sebuah kemenangan sebelum hasil akhir diperoleh memiliki muatan politis sebagai berikut:
 
Deklarasi kemenangan pra real count oleh capres-cawapres adalah strategi pressure terhadap KPU

Entah benar atau salah, dan semoga saja hanya dugaan saya saja, bahwa para capres-cawapres yang mendeklarasikan kemenangan tengah merasakan euforia kemenangan semu yang berlebih-lebihan. Sehingga mereka terlalu percaya bahwa hasil quick count tersebut 100% benar. Tanpa memperhatikan berapa jumlah populasi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Bahkan boleh jadi, hasil quick count tersebut amat sangat terlalu dini jika dianggap sebagai bukti kemenangan. Karena sekali lagi diketahui menang atau kalah hanyalah berdasarkan rekapitulasi dari KPU.

Sayang sekali, strategi politik dengan melakukan deklarasi kemenangan yang saya anggap terlalu cepat menjadi pressure mental bagi KPU sendiri. Karena bagaimanapun juga KPU merasa sudah terintimidasi meski secara halus, bahwa sosok inilah yang memang menang. Meskipun faktanya tidak terbukti.

Bahkan menurut hemat saya, tidak hanya KPU yang justru menjadi korban pressure masing-masing kubu, beberapa media pun sepertinya ikut menjadi bagian pembuat opini bahwa capres A atau B lah yang menang.

Tidak hanya pressure kepada KPU, karena dampak yang paling rentan adalah timbulnya gesekan-gesekan sosial dari masing-masing kubu yang dapat menimbulkan konflik yang tidak diinginkan.
 
Deklarasi kemenangan pra real count memicu depresi jika ternyata mendapati kekalahan

Dibalik euforia kemenangan yang terlalu dini, saya khawatir, siapa saja yang sudah “merasa menang” karena quick count tersebut akan lepas kendali dan benar-benar meyakini bahwa angka-angka hasil perhitungan tersebut benar-benar kemenangan mutlak. Meskipun tidak salah mempercayai hasil quick count tersebut sebatas sebagai gambaran samar seberapa persen perolehan sementara yang juga bukan merupakan perolehan final.

Kekhawatiran saya adalah, ketika para capres-cawapres yang kadung 100% yakin dengan hasil penghitungan cepat tersebut ternyata harus menelan pil pahit karena apa yang sudah disampaikan jauh dari kebenaran. Dan ini bisa saja terjadi, karena di antara lembaga survey tersebut merupakan lembaga survey bayaran. Dengan kata lain jika lembaga survey tersebut bayaran berarti tidak kredibel. Nah, jika kredibilitasnya saja tidak diakui bagaimana dengan hasilnya?

Kondisi inilah yang sedikit banyak menimbulkan kekhawatiran jika ternyata deklarasi kemenangan mereka hanyalah kebohongan belaka. Tidak hanya depresi yang akan mereka terima, jika ternyata sikap ksatria tidak ditunjukkan boleh jadi juga massa pro masing-masing capres akan melakukan tindakan anarkis jika capres yang “harus” kalah tidak menerima hasil real count KPU tersebut.

Bagaimanapun juga semua pihak semestinya jangan menganggap bahwa  quick count tersebut benar-benar hasil yang paling akurat. Toh semua keputusan berdasarkan penghitungan KPU.
 
Jika konflik di akar rumput terjadi, maka pihak lembaga survey harus bertanggung jawab

Ibarat tidak ada asap jika tidak ada api. Begitu pula tidak ada konflik di akar rumput jika masing-masing kubu tidak melakukan tindakan yang kontra produktif. Apalagi jika lembaga survey melakukan proses yang ngawur dalam memperoleh data penghitungan cepat tersebut. Maka jika ternyata hasil quick count tersebut justru menimbulkan konflik di tingkat akar rumput, maka penyelenggaran hitung cepat tersebut sepatutnya bertanggung jawab.

Pasalnya, mereka sudah melakukan pembohongan publik dan berusaha memecah belah opini rakyat dengan cara-cara yang menyesatkan dan tidak kredibel.

Akan tetapi, sekali lagi semestinya para capres tidak bersikap jumawa dengan mengesampingkan kemungkinan terburuk akan terjadi pasca real count yang dilakukan oleh KPU. Menjaga kondisi agar tidak terjadi ketegangan akan lebih baik daripada melakukan upaya-upaya provokatif yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan sosial yang tidak diharapkan.

Sikap menenangkan diri dan mengawal proses distribusi surat suara dan penghitungan di KPU yang seharusnya menjadi PR terberat masing-masing timses dan relawan dari masing-masing kubu agar kerja demokrasi menjadi lebih bermakna dan berjalan dengan damai.
 
Rakyat tidak terprovokasi komentar-komentar miring terkait hasil survey quick count

Indonesia adalah kita, dan rakyat adalah yang akan mendapatkan baik dan buruknya proses demokrasi. Sehingga, sepatutnya sebagai rakyat tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin memperkeruh suasana. Dan lebih dari itu bersikap legowo ketika tidak dinyana hasil quick count tidak berbanding lurus dengan hasil real count. Tentu saja, karena quick count belum menjadi standar baku kemenangan masing-masing capres-cawapres.

Siapapun yang dibela dan dipilih, mereka sama-sama putra terbaik bangsa ini, maka seburuk apapun hasil penghitungan real count tersebut, pun harus diakui dan dihormati keputusannya sebagai keputusan mutlak yang mengikat kepada masing-masing kontestan.

Jangan terlalu berharap dari quick count jika belum benar-benar dibuktikan oleh KPU tanggal 22 Juli nanti. karena di hari itulah siapa saja yang akan menjadi presiden dan wakil presiden dapat diketahui secara pasti. Namun lebih dari itu, siapapun yang akan menjadi presiden dan wakil presiden adalah benar-benar pemimpin rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak dibatasi dari mana, dari siapa dan oleh siapa capres-cawapres ini didukung karena mereka adalah sosok yang sudah terpilih.

Salam

Melihat Pilpres 2014, Masyarakat Etnis Tionghoa Masih Setia

Bertepatan tanggal 9 Juli kemarin, proses pencoblosan capres-cawapres berlangsung. Dan tentu saja diharapkan semua masyarakat turut ambil bagian dalam proses pemungutan suara tersebut. Selain itu, harapannya proses pesta demokrasi tersebut diikuti semua elemen masyarakat yang memiliki hak menyalurkan suaranya dengan keikhlasan dan tanpa paksaan. Semua elemen masyarakat diharapkan turut larut dalam proses penting bagi perjalan bangsa ini. Baik masyarakat yang asli pribumi juga masyarakat etnis lain yang turut memiliki hak menyalurkan aspirasi mereka.

Selain riuhnya pelaksanaan hajat demokrasi tersebut, ada hal yang menarik tatkala saya mengamati pusat-pusat perdagangan di wilayah Kota Metro, di pasar modern maupun pasar tempel. Dan yang menarik adalah ketika saya menyusuri jalan di pusat kota ternyata jalan-jalan terlihat lengang, hanya beberapa pengendara baik roda dua dan empat yang menyusuri jalan tersebut. Aura hajat bersejarah amat terasa di hari itu.

Begitu pula tatkala saya mengamati beberapa toko pusat perbelanjaan lain yang berderet di wilayah ini, ternyata ada beberapa di antaranya yang sengaja tutup, boleh jadi karena menghormati dan turut serta dalam pesta demokrasi tersebut. Namun sayang sekali, ada pula pusat perbelanjaan yang menurut saya tidak menghormati pesta demokrasi tersebut. Bahkan menurut salah satu siswa praktek di pusat perbelanjaan tersebut, pengelolanya tidak memberikan kesempatan pada pekerjanya untuk melakukan proses pemungutan suara. Kebetulan siswa praktek tersebut adik sendiri yang tengah melakukan praktek di pusat perbelanjaan tersebut. Padahal sepatutnya ketika hajat demokrasi pihak pengusaha memberikan toleransi terhadap para pekerjanya. Sebuah keputusan pengusaha yang tidak mengindahkan proses demokrasi di negeri ini.

Terlepas ada dan tidaknya aktivitas di pusat-pusat perbelanjaan, ternyata ada satu hal yang menarik, membuat saya kagum sekaligus memberikan apresiasi yang cukup tinggi bagi mereka. Karena di saat pilpres tersebut ternyata kebanyakan showroom dan pertokoan milik etnis Tionghoa justru terlihat tutup. Sepertinya mereka memiliki pandangan bahwa sepatutnya semua bentuk aktivitas bisnis dihentikan demi suksesnya pilpres tersebut. Tentu saja hal ini cukup beralasan, di mana para pekerja mereka rata-rata adalah masyarakat pribumi yang memiliki hak yang sama dalam menyampaikan suaranya pada pilpres ini. Mereka merelakan keuntungan di hari itu tak mereka dapatkan demi turut menyukseskan hajat demokrasi.

Selain tidak beraktivitasnya pertokoan milik enis Tionghoa tersebut, saya menduga keterlibatan mereka pada proses pilpres ini cukup mengalami kenaikan yang signifikan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya tatkala pesta demokrasi dihelat. Tidak sedikit para etnis Tionghoa ini yang tidak menyumbangkan suaranya. Entah, mungkin sikap pesimistis atau apatis terhadap kepemimpinan di negeri ini yang “mungkin” menurut mereka kurang mewakili aspirasi kalangan etnis ini. Meskipun hakekatnya sampai sekarangpun kebijakan pemerintah terhadap kalangan etnis Tionghoa sudah cukup baik dan adil.
Namun pemandangan yang cukup bertolak belakang adalah tatkala saya mengamati beberapa pertokoan milik warga pribumi justru masih melakukan aktivitasnya. Apakah sebuah gejala bahwa di antara mereka warga negara ini tidak begitu antusias untuk menyumbangkan suaranya? Jika alasan mereka karena malas mencoblos berarti nasionalisme mereka masih kalah baik dari masyarakat etnis Tionghoa. Bahkan sedianya pemerintah memberikan aturan yang ketat bahwa tatkala pemungutan suara dihelat seharusnya masyarkat dilarang melakukan aktivitas.

Tentu saja alasannya bukan memaksa warganya untuk memilih, tapi melihat beberapa karyawan yang semestinya mendapatkan haknya dalam pesta demokrasi tersebut harus terpangkas, lantaran aturan pengusaha yang tidak memperbolehkan para pekerjanya libur di hari tersebut.
Jika setiap pengusaha tidak mendapatkan aturan yang jelas terkait pemilu, maka pemerintah membiarkan hak-hak para pekerja ini ikut dikebiri hanya demi sebuah bisnis yang sepatutnya menghargai pesta demokrasi.

Dengan kata lain, ketika melihat fenomena perbandingan antusiasme masyarakat Tionghoa dan etnis lainnya, ternyata rasa nasionalisme warga ini masih cukup baik. Meskipun tatkala pusat perbelanjaan milik etnis Tionghoa yang berhenti ternyata ada pula yang tidak mengindahkan hajat lima tahunan ini. Yang pasti dengan sikap ini terlihat jelas bahwa masyarakat ini memiliki kecenderungan agar negara inipun menjadi lebih baik lagi.

Namun demikian, tidak memandang etnis manapun jika mereka sudah menjadi bagian Indonesia, maka sepatutnya menghormati dan menghargai hajat penting ini demi menyukseskan pesta demokrasi dan tentu saja memberikan hak seluas-luasnya kepada warga bangsa dalam menentukan pilihannya.

Salam

Tak Kusangka, Dulu Pengidola Prabowo, Kini Milih Jokowi



Tulisan ini lahir dari sederet pertanyaan-pertanyaan kecil dalam hati dan benak saya, kog tiba-tiba dia bisa berubah dan begitu yakin dengan Joko Widodo? Padalah dulu-dulu dia sangat mengidolakan Prabowo Subianto. Apa pengaruh alam, atau justru wangsit (hidayah) dari Allah yang telah menunjukkan jalan terbaikNya? Bahkan saking keukeuhnya mempertahankan argumennya, tak jarang pula kami bersilang pendapat mengenai Capres-Cawapres pada Pilpres 2014 ini.

Singkat cerita, kira-kira lebih sebulan ini kami berdebat serius tentang capres-cawapres yang saat ini tengah berkompetisi. Maklum saja, karena latar belakang kami berbeda dalam soal pandangan politik, juga karena waktu Pileg kepentingannya ingin partai berlambang matahari itu menang. Maklum saja, beliau didaftarkan sebagai Caleg dari PAN yang katanya untuk menutup kuota perempuan di wilayah Kota Metro. Meskipun foto-fotonya sudah berjejer di jalan-jalan desa, namun memang persaingan politik yang berat dan kejam, sang istripun harus kalah. Kalah uang dan kalah pengaruh.

Kekalahannya bukan karena memiliki rekam jejak buruk, tapi minim budget, sehingga menyerah kalah tatkala serangan fajar mengepung daerah pemilihannya. Rasa kecewa sudah pasti, tapi melihat suhu politik sudah tak bersih lagi, istripun mengakui bahwa beliau memang tak layak menjadi wakil rakyat. Dan namanya pun harus tenggelam oleh caleg yang berduit karena itulah senjata paling ampuh memenangkan Pileg tahun ini, paling tidak untuk saat-saat ini. Entah kalau lima tahun mendatang apakah uang selalu menjadi senjata paling ampuh? Entahlah.

Terlepas dari kekalahan beliau, karena kesederhanaan dan ketidakmampuan dalam membeli suara pun saya menduga memang saat itu sangat gandrung dengan sosok yang sudah digadang-gadang menjadi capres dari partai Gerindra, sebelum Capres ini diusung oleh koalisi parpolnya.

Tentu saja alasannya sederhana, Prabowo dianggap sosok yang sangat tegas, karena beliau berlatar belakang militer. Dan istri saya beranggapan jika negeri ini dipimpin militer “ala orde baru” pasti aman. Padahal menurut saya tidak juga. Terbukti di bawah kepemimpinan pak SBY gerakan sparatis masih saja gentayangan. Tidak hanya gerakan sparatis para begal dan perampok jalanan pun masih berkeliaran dengan bebasnya. Paling tidak, antara lain isi debat kami tatkala membicarakan capres yang ingin dipilih. Beliau selalu mengatakan bahwa pak Prabowo hebat dan gagah pasti bisa menyelesaikan persoalan negeri ini.

Begitu pula ketika sang istri membicarakan Pak Joko Widodo, beliau selalu mengatakan bahwa pak Jokowi itu nggak tegas, kurus, bukan militer dan katanya beliau gagal membangun Jakarta. Sewaktu itupun saya selalu berdebat mengenai persoalan ini. Namun dalam batin saya, “Lah ya wajar membenci pak Jokowi kan partainya ibu rifalnya partainya pak Jokowi (PDI-P).” Dari situ istri saya terlihat tidak mau obyektif dan awalnya selalu memuji-muji Prabowo dengan alasan kebenciannya dengan PDI-P. Meskipun waktu itupun saya tidak seberapa suka dengan PDI-P tapi seiring perjalan waktu dan munculnya fitnah-fitnah yang menyesatkan sayapun menjadi simpatik pada sosok Jokowi, capres dengan nomor urut 2 tersebut.

Setiap kali mengingat kekalahannya dalam kancah Pileg 2014 yang lalu, menyisakan kekecewaan karena PDI-P sudah mengambil suaranya secara mutlak. Selain kekalahannya oleh caleg PDI-P karena di tubuh partainya sendiri pun diliputi permainan dan intrik yang curang.

Itu dulu, tatkala rasa kecewa masih meninggalkan bekas di dada. Namun, saat ini lambat laun kekecewaan itupun sirna tatkala melihat sepak terjang pak Jokowi yang semakin terlihat lebih nyata. Sosok yang sederhana dan merakyat dan tidak membeda-bedakan latar belakang kelompok tertentu.

Sayapun tak pernah membagus-bagusin pak Jokowi dan menjelek-jelekkan pak Prabowo, lantaran kapasitas saya yang tidak memiliki kepentingan. Hanya satu kepentingan saya mudah-mudahan negeri ini dipimpin oleh presiden yang merakyat dan mengerti keluhan rakyatnya. Itu saja.

Pilihan istriku berubah tatkala ada milyaran uang terkumpul demi menyumbang pak Jokowi-JK

Langkah timses Jokowi-JK tatkala membuka rekening untuk sumbangan kampanye Jokowi-JK merupakan langkah yang cukup berisiko. Pertama, menurut pengamat yang kontra Jokowi-JK, dengan membuka rekening tersebut Jokowi sudah dianggap mempermainkan rakyat karena mereka menuduh ketika Jokowi membuka rekening sumbangan berarti akan digunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Bahkan istripun menduga justru uang kampanye itu hanya dimanfaatkan oleh timsesnya saja. Meskipun akhirnya anggapan tersebut dapat dibantahkan karena keputusan PPATK bahwa apapun transaksi keuangan yang dilakukan atas nama capres tertentu maka harus diaudit dan dilaporkan secara transparan.

Alasan kedua, orang-orang yang kontra Jokowi-JK, pun menduga bahwa dengan membuka rekening tersebut menunjukkan bahwa Jokowi-JK tak layak disebut capres. Bahkan awalnya istri menganggap pak Jokowi-JK kemaruk karena memanfaatkan uang sumbangan untuk kepentingan dia sendiri.

Pendapat beliaupun salah, karena dengan terlibatnya rakyat dalam menyumbang kampanye Jokowi paling tidak Jokowi sudah terikat kontrak kerja dengan rakyat, bahwa Capres No 2 ini benar-benar ingin membela rakyat. Bukan membela penguasa dan pengusaha seperti yang biasanya terjadi tatkala pesta demokrasi dihelat. Tentu saja, dahulu pun amat wajar pejabat negara begitu gencarnya membela pengusaha karena sudah terikat perjanjian tidak tertulis bahwa pengusaha manapun yang sudah menyumbang capres-cawapres berarti kepentingan pengusaha pasti akan didahulukan.

Namun, tatkala istri melihat bagaimana saat ini Jokowi justru disumbang oleh rakyat, maka secara otomatis rakyat kecillah yang akan dibelanya dan bukan para pengusaha kaya.

Beberapa pertimbangan itupun yang membuat kami semakin sepakat dan kompak bahwa beliau harus mendukung pencapresan Jokowi-JK meskipun bersebrangan dengan keputusan partai yang telah mengusungnya dahulu. Bahkan sikapnya inipun ditularkan kepada guru-guru yang mendidik di PAUD yang dikelolanya, juga masyarakat sekitar yang juga ingin merasakan kehidupan yang layak jika dipimpin oleh Jokowi-JK. Inipun karena beliau beralasan sejak lima tahun yang lalu lembaga pendidikan yang dikelolanya sama sekali tidak diperhatikan oleh pemerintah. Harapannya ketika negara ini dipimpin Jokowi-JK harapannya keberadaan PAUDnya akan diakui dan diperhatikan oleh pemerintah. Meskipun keputusan ini adalah keputusan yang berani dan penuh risiko.

Tapi itulah keputusan akhir, tatkala terlalu lama mengidolakan militer ternyata berbuah kekecewaan, maka kini keputusannya berpihak pada seorang capres dari kalangan orang biasa yang benar-benar mengabdi untuk rakyat. Dialah Joko Widodo yang bergandengan dengan Jusuf Kalla.

Keyakinannya semakin kuat tatkala melihat konser dua jari di GBK

Keyakinann akan pilihannya pada Jokowi-JK semakin besar, tatkala melihat antusiasme pendukung capres-cawapres No urut 2 ini yang memenuhi lapangan GBK. Mereka tumpah ruah dari berbagai latar belakang, suku, agama, status sosial, secara langsung menghadiri perhelatan akbar acara konser yang ditujukan untuk kampanye Jokowi-JK.

Melihat betapa antusiasmenya para penonton yang tanpa pamrih dan tanpa dibayar mendukung pencapresan Jokowi-JK dan berharap pasangan ini akan benar-benar membela rakyat kecil. Apalagi dalam konser dua jari tersebut Prof. Dr. Quraish Shihab turut mendoakan kemenangan Jokowi-JK. Sehingga lengkap sudah keyakinan beliau bahwa capres-cawapres ini benar-benar didukung dari semua kalangan. Semua karena Jokowi-JK paling merakyat dan mampu mengatasi konflik di masyarakat.

Saya hanya terheran-heran melihat keputusan istri saya, ternyata orang yang sangat memiliki pemikiran yang keras ini luluh oleh sepak terjang Jokowi-JK yang menurutnya lebih merakyat dan rekam jejaknya lebih jelas.

Melihat Debat Capres-cawapres tadi malam (05/07) puncak dukungannya pada Jokowi-JK

Beliaupun melihat acara debat capres-cawapres tadi malam, dan ada beberapa rencana yang ingin digagas Jokowi-JK sehingga membuat beliau semakin tertarik oleh pasangan ini.

Pertama, Jokowi-JK ingin mengembalikan hutan di Indonesia sebagaimana fungsinya, apakah sebagai hutan lindung, hutang produksi atau hutan yang dikonversi menjadi hak rakyat. Bahkan keputusan Jokowi-JK yang ingin menetapkan one map policy menjadikan sebuah keyakinan bahwa pengaturan hutan merujuk pada satu peta yang menjadi rujukan keberadaan hutan-hutan di Indonesia. Tujuannya adalah hutan-hutan yang disalah gunakan dan dirusak untuk kepentingan tertentu akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan nasional. Mengembalikan fungsi hutan lindung sebagai hutan konservasi hayati yang seharusnya dibiarkan tetap lestari.

Kedua : Jokowi-JK memastikan akan merenegosiasi ulang perusahaan-perusahaan tambang dalam negeri yang dikelola oleh pengusaha asing, dengan tujuan agar pemerintah Indonesia mendapatkan keuntungan lebih dari pengelolaan tambang nasional. Bahkan sepatutnya perusahaan tersebut dapat dikelola sendiri oleh negara.

Ketiga :
Jokowi-JK memastikan bahwa komoditi perdagangan akan diawasi dan diatur secara ketat oleh pemerintah, baik dari produsen sampai pada pedagang-pedagang kecil. Sehingga tingkat harga bisa dikendalikan sehingga mencegah inflasi dan memberikan kesempatan pada konsumen untuk menikmati produk-produk tersebut dengan lebih terjangkau.

Keempat: Jokowi-JK memastikan akan membuka lahan pertanian 1 juta hektar pertahun, dengan mempertimbangankan membangun terlebih dahulu sumber air (bendungan) sebagai bagian paling penting jalannya sektor pertanian. Bahkan beliau berharap pembukaan lahan pertanian dan bendungan tersebut tidak semata-mata karena kepentingan proyek semata, tapi benar-benar ingin memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia. Beliau memandang gagalnya sektor pertanian seperti di papua lantaran kesalahan perencanaan pemerintah. Pemerintah terlalu berambisi membuka sawah baru dengan merusak hutan tapi tidak mempersiapkan sumber-sumber airnya.

Kelima: Jokowi-JK merencanakan sektor peternakan yang dikelola dalam bentuk koperasi, disatukan dalam satu tempat di mana didalamnya akan menghasilkan daging yang dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Selain itu, dengan menyatukan ternak-ternak para petani dalam satu desa, maka akan menghasilkan kotoran-kotoran yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik yang dapat bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.

Keputusan akhir Jokowi-JK yang membuat semakin meyakinkan adalah tatkala koalisis yang dibangun adalah koalisis tanpa syarat bagi-bagi kursi. Sehingga jalannya pemerintahan Jokowi-JK akan terlepas dari kepentingan orang-orang tertentu dan kebijakannya tidak tersandera oleh kepentingan tertentu pula.

Paling tidak inilah beberapa hal yang membuat istri semakin kepincut kepada Jokowi-JK daripada Prabowo. Kehidupan yang sederhana dan merakyat serta bertekat memperjuangkan rakyat kecil.

Salam