Senin, 30 Juni 2014

Seputar Debat Cawapres 2014 Semalam, Menurut Kacamata Orang Desa




Debat Cawapres tadi malam (29/06), terasa lebih tenang dari debat-debat yang lalu. Tentu persoalannya bukan masalah contek mencontek coretan (kertas) seperti yang ditujukan pada pak Jokowi pada debat pertama, karena kedua cawapres memang sengaja membaca coretan sebagai bahan untuk menyampaikan orasinya. Dan terlihat tenangnya karena kebetulan moderatornya mampu menjadi penengah dan mengatur jalannya debat secara proporsional. Tentu saja selain moderatornya yang handal, tentu penggunaan catatan tersebut bertujuan agar konsep penyampaian visi-misi tidak terlalu melenceng jauh dari konsep yang sudah tertuang dalam buku visi-misi capres-cawapres tersebut.
Meskipun di awal debat, saya sedikit meragukan kemampuan pak JK dalam menyampaikan visi-misinya, karena terlihat agak sedikit gugup atau mblibet. Cara menyampaikannya memang tak seruntut dengan cara pak Hatta. Pun, saya menduga, karena pak JK mendapatkan posisi pertama yang harus menyampaikan visi-misinya tatkala beliau dipercaya menjadi cawapres. Boleh jadi karena terlalu bersemangat atau memang sosok pak JK bukan tipe orator handal. Beliau mempunyai gagasan luar biasa tapi terkendala dalam orasinya. Meskipun pada detik pertama terlihat mbulet, untuk point selanjutnya terlihat lebih lancar.
Meskipun selayaknya timing penyampaian visi-misi disesuaikan dengan nomor urut dari cawapres tersebut, sehingga masing-masing cawapres sudah bersiap-siap bahwa mereka akan mendapatkan waktu dan kesempatan sesuai dengan urutan nomor cawapres. Tapi, tadi malam, karena pak JK diminta untuk menyampaikan visi-misinya lebih awal, sepertinya memang pak JK terlihat lebih gugup. Semoga saja pengaturan timing pembicaraan bukan karena unsur-unsur tertentu. Dan moderator bukan “berusaha” tidak adil terkait pembagian waktu yang tidak sesuai nomor urutnya. Karena terlihat pak Hatta terlihat lebih runtut dan jelas, apa-apa yang akan menjadi program tatkala beliau berorasi. Meskipun apa yang disampaikan, “belum tentu” dapat diaplikasikan tatkala beliau benar-benar menjadi capres untuk pilpres 2014 ini.
Belum tentu ini maksudnya karena sejatinya pak JK maupun pak HR sama-sama sudah mengenyam jabatan sebagai petinggi negara, tapi faktanya apa yang ada dalam orasi mereka masih saja belum menyentuh persoalan yang sebenarnya.
Dan berbicara mengenai debat cawapres tadi malam, seakan-akan pikiran saya menerawang jauh di era sebelum kedua tokoh ini didaulat menjadi cawapres mewakili masing-masing capresnya. Dan mata saya juga hampir saja terkagum-kagum dengan indahnya mereka “berpidato” seakan-akan mereka adalah sosok pemikir dan pekerja yang baik. Namun, ternyata gambaran yang ada dalam pikiran saya sedikit banyak terjawab sudah. Bahwa pada saat ini para cawapres tersebut belum menjawab bagaimana mengatasi pendidikan di Indonesia, dan bagaimana mengatasi pengangguran yang jumlahnya jutaan orang.
Ada beberapa point yang saya rasa lebih masuk akal ketika pak JK menyampaikan orasi dan sesi tanya jawab serta debat masing-masing cawapres tersebut. Meskipun tidak semua yang disampaikan sejalan dengan apa menjadi keiinginan saya, karena di antara jawaban pak JK pun terdengar ngalor-ngidul alias kurang fokus pada pertanyaan yang disampaikan pak Hatta.
Pertama, Pak JK membahas tentang bagaimana pandangan beliau jika melihat kondisi pendidikan yang tidak merata, bagaimana beliau menilai patut dan tidaknya dan apakah UN masih layak untuk diterapkan di sekolah serta bagaimana tentang sertivikasi apakah benar-benar akan diputus tatkala keduanya menjadi presiden dan wapres.
Secara gamblang pak JK mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia memang masing jauh dari keadilan, hal tersebut terlihat dari tidak meratanya fasilitas atau sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah. Seperti kondisi sekolah yang tidak sama antara sekolah-sekolah yang ada di kota dengan di desa. Sehingga harapannya, jika rakyat memilih pasangan JW-JK maka fokus pendidikan akan diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang merata ke semua wilayah Indonesia. Selain itu beliau memiliki program agar para guru-guru benar-benar merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Selain menyampaikan persoalan ketidak merataan pendidikan di daerah, beliaupun menjelaskan bahwa hakekatnya sertivikasi guru tidak akan dihapuskan sebagaimana isu yang berkembang sekaligus black campaign yang ditujukan untuk menyerang pak JW-JK. Beliau beralasan, sesuai dengan rancangan visi dan misi kedua pasangan cawapres, bahwa guru merupakan elemen penting dari pendidikan, maka sepatutnya kesejahteraan guru harus diperhatikan. Termasuk tunjangan profesi yang saat ini dinikmati oleh guru-guru.
Termasuk beliau menyampaikan bahwa UN tetap diberlakukan karena dijadikan sebagai bahan untuk pemetaan. beliau pun beralasan karena dari tahun 60-an UN memang sudah ada, namun teknisnya mengalami perubahan format soalnya. Mengenai tetap diberlakukannya ujian nasional karena menurut beliau UN sebagai alat untuk melakukan pemetaan sekolah-sekolah dan melihat potensi dari anak didiknya. Beliaupun beranggapan bahwa pemerintah perlu mengadakan evaluasi terhadap jalannya UN termasuk mengevaluasi proses distribusi, pembuatan soal, dan teknis pelaksanaannya, agar UN benar-benar menjadi bagian penting dari pendidikan.
Pak JK pun menyampaikan bahwa awal pendidikan terbaik adalah dari rumah, khususnya ibu. Sehingga, pemerintah mesti menghormati peran ibu dan memberikan penghargaan kepada pada ibu karena perannya yang telah sukses mendidik anak-anaknya.
Sedangkan pak Hatta lebih memfokuskan diri pada program yang sudah berjalan, di mana beliau bersama capresnya memiliki misi pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan kondisi daerah, pemanfaatan iptek yang diselaraskan dengan kondisi daerah yang berbeda dan diformat menjadi bagian integral dari program pendidikan nasional yang utuh. Sehingga anak-anak yang dididik benar-benar mewakili potensi daerah dan memiliki kemampuan dan skill dan daya saing teknologi sehingga mampu bersaing dalam dunia internasional.
Kedua, Pak JK pun membahas bagaimana persoalan riset ilmiah dan inovasi teknologi. Dan visi-misinya menggabungkan kementrian pendidikan dan kementrian riset dan teknologi menjadi satu wadah lembaga yang benar-benar memajukan pendidikan dan penemuan teknologi baru.
Menurut paparan beliau pemerintah yang dikoordinasi oleh oleh menteri pendidikan dan riset teknologi meningkatkan kembali riset-riset ilmiah sebagai usaha untuk menghasilkan teknologi baru dan memberikan insentif kepada perusahaan yang digandeng pemerintah dalam riset dan penciptaan teknologi.
Meskipun sayang sekali tatkala dipertanyakan tentang bagaimana mengatasi angka pengangguran yang tinggi, kedua cawapres tidak menyinggung persoalan industri kreatif, yang berorientasi usaha kecil dan industri rumahan, tapi kedua cawapres lebih memfokuskan pada pembangunan infrastruktur dan perizinan yang selama ini terkendala di tingkat birokrasi.
Ketiga, Terkait tenaga ahli dan profesional yang bekerja di luar negeri, Pak JK mengisyaratkan bahwa saat ini memang banyak tenaga profesional yang justru bekerja di luar negeri sehingga sepatutnya ke depannya, para ahli dan profesional yang justru mengabdi pada bangsa lain direkrut kembali untuk kembali ke Indonesia. Atau tetap berada di negara lain namun mereka menjadi fasilitator dikembangkannya teknologi di Indonesia. Pak Hatta pun sepakat dengan hal ini dan beliau mencontohkan seperti India yang sukses “mengkaryakan” tenaga ahlinya dinegara lain untuk kemudiani diberdayakan membangun bangsa sendiri. Saya menangkan kedua cawapres ini memberikan sinyal suatu saat nanti pak BJ Habibie akan dirangkul kembali agar melakukan riset dan inovasi teknologi di negara sendiri.
Pak JK dan Hatta pun sepakat bahwa pekerja di luar negeri tidak dapat dihapuskan begitu saja, namun beliau memberikan solusi agar kedepannya para pejuang pajak ini pun mendapatkan pendidikan dan skill yang layak. Mereka menghendaki para TKI bukan pekerja yang “murahan” tapi benar-benar pekerja profesional pada sektor-sektor lain selain pembantu rumah tangga. Sehingga dibutuhkan pelatihan-pelatihan khusus agar pada pekerja rumah tangga itu dapat beralih daya menjadi pekerja profesional.
Kiranya, inilah yang dapat saya tangkap, terlepas kurang dan lebihnya kemampuan saya dalam memahami isi debat ini, tentu saja ada banyak bahasa (intelek) yang sulit dipahami menurut kacamata orang desa. Namun, paling tidak kedua cawapres mempunyai visi-misi yang sama ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, tentu saja diawali dari pendidikan rakyatnya.
Salam

Rabu, 25 Juni 2014

Pilpres2014; Pesta Demokrasi atau Pendidikan Demokrasi?



Saya tertarik kata-kata sahabat saya di Kompasiana dan mungkin saya sendiri sering mengatakan ini, pemilu adalah pesta demokrasi. Ya, dan saya pun awalnya selalu sepakat bahwa Pemilu kali ini sarat dengan intrik dan taktik yang notabene "baru" dipahami oleh masyarakat awam seperti saya. Mungkin orang-orang seperti saya pun memahamkan diri dan membenarkan bahwa pemilu (pilpres) adalah pesta demokrasi.

Tetapi, seiring perjalanan waktu, saya berusaha merenung lagi pasca saya melihat pemilihan umum ini tidak lagi sehat, menarik dan menyenangkan saya jadi tertarik untuk menyebutnya bahwa pemilu bukan sebuah pesta demokrasi. Karena setahu saja pesta itu sifatnya senang-senang, bagi-bagi kebahagiaan, dan semua berkumpul menumpahkan kebahagiaan karena sukses mencapai tujuan tertentu. Tentu saja ketika dikaitkan dengan pemilu atau pilpres kali ini sejatinya setiap orang menumpahkan kebahagiaan, pujian, ucapan selamat dan saling berjabat tangan.

Ibarat sebuah pesta perkawinan, pasangan capres dan cawapres disandingkan sedangkan para tamu menyambutnya dengan sebuah kebagiaan, haru bahkan air mata bahagia dari kedua pasangan. Dan lebih dari ucapan tulus dari orang tua pasangan, keluarga atau handai taulan dan para tamu yang turut merasakan desiran angin surga yang dirasakan oleh sepasang pengantin tersebut.

Dan seperti biasa, ketika kedua pasangan dan orang-orang larut dalam kebahagiaan, merekapun saling menyumbang (ngamplop) sebagai bagian penting ikatan kekeluargaan. Karena di lain waktu tatkala pasangan lain akan melangsungkan perkawinan keluarga lainnya turut membantu (mengamplop) juga agar beban keluarga kecil yang baru dirajut sedikit banyak berkurang.

Apakah dalam pesta perkawinan tersebut mereka saling mencaci dan menghina? Dan apakah sepasang pengantin tersebut berteriak-teriak bangga bahwa mereka sukses menjadi pengantin? Nggak bukan? Justru mereka saling menyapa, memuji dan berterimakasih secara tulus karena mereka berhasil membina hubungan lebih serius hingga ke jenjang perkawinan nan suci. Dan sepasang pengantin inipun tak berteriak-teriak tanda bangga "hai saya sukses merebut wanita ini menjadi istri saya". Tentu juga tidak dilakukan, karena sepasang suami istri paham betul, kehidupan baru dimulai dan pekerjaan yang harus diselesaikan terlampau banyak, bahkan tak sedikit aral melintang akan menemui dan menghadang kebahagiaan mereka.

Ilustrasi inilah hakekatnya sebuah pesta. Begitu pula jika pilpres merupakan pesta demokrasi, sepatutnya semua capres-cawapres akan menunjukkan wajah sumringah, bahagia, dan tak ada kata-kata selain ucapan syukur karena telah dipercaya oleh rakyat menjadi pemimpin mereka. Dan sepatutnya ketika baru saja memasuki gerbang rumah (kepemimpinan Indonesia) mereka pun sejatinya harus siap menerima konsekuensi setiap detik perjalan waktu akan dihadapi dengan aneka persoalan. Kalau perkawinan mungkin terkait keluarga mereka sendiri yang harus diberikan kehidupan yang layak. Bahkan sejatinya capres dan cawapres yang disandingkan mestinya menitikkan air mata haru karena dipercaya, dan sedih karena menerima amanah rakyat yang maha berat.

Tidak hanya satu keluarga mereka sang capres dan cawapres yang mesti bahagia dan sejahtera, tapi kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia pun ingin dibahagiakan, ingin disejahterakan. Dan tentu saja ingin mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

Tapi, amat kontradiktif jika kita bandingkan dengan indahnya sebuah pesta perkawinan, tatkala melihat pemilu yang katanya "pesta demokrasi" ini, karena mereka saling menghujat, menghina, mencela, bermain kotor, saling akal-akalan media, dan yang lebih miris lagi melakukan propaganda kotor. Dampaknya indahnya "pesta demokrasi" justru menjadi bumerang, selayaknya mesin pembunuh karakter dan pembunuh pribadi-pribadi bangsa ini. Wajar saja seringpula kita melihat gara-gara pilkada, pileg dan pilpres yang harus terluka dan meregang nyawa. Ketika awalnya mereka saling bertegur sapa dan berjabat tangan, kini yang tersisa adalah umpatan-umpatan keji yang jauh dari nurani. Sakit dan pedih rasanya jika Indonesia yang indah ini dihuni para pencaci dan para pembenci.

Lupakan pesta demokrasi demi pendidikan demokrasi

Kita semua menyadari bahwa tidak mudah kog menerima sebuah perbedaan. Jangankan di rumah besar Indonesia yang jumlahnya jutaan umat, di dalam rumah tangga yang isinya sepasang suami istri saja masih diketemukan percekcokan. Namun yang patut direnungkan tatkala ketika kita benar-benar harus berdemokrasi sepatutnya dikembalikan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari kitalah demokrasi itu dibangun, oleh kita-kita yang se-Indonesia ini pula demokrasi ini dijalankan karena dampaknya ketika demokrasi itu sukses maka kebahagiaan pun akan kita nikmati. Bukan hanya para pejabat yang sepatutnya menikmati kesuksesan sebuah demokrasi.Bukan justru sebuah kegagalan demi kegagalan yang kita temui.

Dari dahulu sejak Indonesia merdeka pun kita sudah belajar menjadi sosok yang demokratis dan pemimpin-pemimpin yang diajarkan berdemokrasi secara adil dan transparan. Tidak saling menyakiti karena tujuan kita sama kesejahteraan untuk Indonesia.

Apakah ketika 69 tahun Indonesia merdeka hanya dilalui dengan ketidak mengertian makna demokrasi? Apakah sebatas inikah pendidikan tentang demokrasi di sekolah diajarkan oleh guru-guru kita? Sepertinya tidak bukan? Pilpres hanyalah proses menuju pendewasaan diri. Kita belajar menerima perbedaan dan kondisi riil bahwa kita ditakdirkan berbeda.

Belajar untuk berdemokrasi mungkin lebih pantas disandangkan pada negara yang sudah berumur tua ini. Bukan pesta demokrasi tapi berbuah kesedihan, kejahatan dan kemunafikan. Belajar lah dahulu mengerti akan perbedaan sebelum kita berpesta. Karena tak sepatutnya pesta yang semestinya penuh kesenangan, kemeriahan dan kerukunan jika dikotori dengan prilaku yang justru jauh dari kesan "pesta" tapi justru seperti ajang bagi anak-anak yang tak mengerti bagaimana mereka berdemokrasi.

Berdemokrasi demi mencari sosok pemimpin yang sejati, yang akan memimpin jutaan penduduk Indonesia agar semakin sejahtera dalam kedamaian. Baldatun Thayibatun Warobbun Ghafur. Negeri yang sejahtera dan sentosa dan penuh ampunan dan keridhaan Tuhan.

Saya mengutip pesan Nabi:

Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
atas apa yang telah dipimpinnya. 

dan :

“Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time.”Winston Churchill (Hansard, November 11, 1947)Ø Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Ø
Salam

Senin, 23 Juni 2014

Prabowo dan Jokowi Pasca Debat Capres ke-3 Menurut Kacamatan Saya






Debat Capres-cawapres 2014




Mungkin penilaian saya ini jauh dari semua opini atau penilaian dari para kompasianer. Dan boleh jadi masing-masing pendukung kubu capres tersebut sama-sama tak sepaham dengan tulisan saya ini. Tapi, ya sudahlah, saya hanya menulis sedikit banyak yang saya tangkap dari hasil debat Capres ke- 3 tadi malam. 

Maksud tulisan ini pun bukan sebuah penilaian yang dapat dijadikan rujukan bahwa salah satu lebih baik atau lebih buruk. Tapi semata-mata merupakan tulisan orang desa yang ingin berbagi dengan pembaca budiman.

Saya melihat berdasarkan debat capres tersebut, Prabowo terlihat lebih bijak, meskipun bukan berarti Jokowi tidak bijak, dimana ketika beliau menanyakan bebera hal kepada Jokowi yang berkaitan dengan ketahanan negara, baik tentang hak-hak atas batas wilayah, kepemilikan saham indosat Prabowo selalu mengatakan "saya sepakat" bahkan ketika ada penonton yang bersorak justru Prabowo mengatakan para penonton debat seperti penonton bola. Mereka ribut-ribut melebihi ributnya capres dan cawapres.
Sikap Prabowo Subianto ini terbilang unik, tatkala semua capres yang bersaing memperebutkan kursi RI-1 tentu akan mengatakan ide dan konsep tentang kenegaraan akan selalu lebih baik. Sehingga yang muncul, jika kedua capres memiliki visi dan misi yang dianggap paling "menggigit" maka sang capres akan membela mati-matian konsepnya dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Beliau tidak lantas menjatuhkan Jokowi tatkala Jokowi menjelaskan pertanyaan-pertanyaan Prabowo. 

Meskipun dalam situasi tersebut dan menurut penilaian saya Prabowo sangat bijak, dengan mengatakan "setuju" dan sepaham dengan apa yang disampaikan Jokowi, secara tidak langsung Prabowo sudah mengakui bahwa Jokowi memang capres yang memiliki visi dan misi yang baik. Meskipun kata-kata "saya setuju dengan pak Jokowi" menjadi bahan gunjingan dan celaan di medsos termasuk Kompasiana. Yang pasti sikap bijak Prabowo ini sudah ditunjukkan, sebuah realitas sikap seorang negarawan yang sangat mendukung kemajuan Indonesia. 

Namun, kondisi ini justru tidak menguntungkan Prabowo, di satu sisi Prabowo saya anggap bijak, tapi di sisi lain penentang Prabowo akan melecehkan dan membuli. Seakan-akan Prabowo hanya ngikut saja kata-kata Jokowi. Inilah salah satu dampak ketika percaturan politik bermain.

Di sisi lain, Jokowi adalah sosok yang cerdas, dengan visi dan misi yang dipaparkan terlihat  jelas bahwa beliau benar-benar memiliki konsep yang applicable. Hal ini terlihat tatkala menjelaskan persoalan posisi beliau terhadap kasus perbatasan. Beliau mengatakan kurang lebih jika berkaitan dengan perbatasan, jika batas-batas wilayah tersebut memang riil mengambil wilayah Indonesia, maka Presiden siap menempuh kebijakan meskipun dengan resiko terberat apapun. Bahkan dalam ungkapan beliau tersirat pesan "seandainya wilayah tersebut benar-benar milik Indonesia, maka tak ada jalan lain ketika Indonesia harus menyelesaikan dengan perang, maka caraitulah yang ditempuh. Namun demikian, semua dikembalikan pada perundingan dan lobi agar penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara damai.

Setelah pemaparan Jokowi, Prabowo pun mengatakan "setuju" dan merasa program Jokowi patut diapresiasi. Sehingga terlihat bahwa tidak ada satupun gelagat Prabowo untuk menjatuhkan Jokowi dengan statemen negatif. Berbeda dengan opini-opini yang berkembang bahwa keduanya "dianggap" bermusuhan dan saling menjatuhkan.

Persoalan lain tatkala ditanyakan persoalan kemerdekaan Palestina, Jokowi pun mendukunug sepenuhnya kemerdekaan Bangsa Palestina dan beliau pun mendukung negara itu menjadi anggota penuh PBB. Sebagaimana anggota-anggota lainnya.

Dugaan beberapa orang, bahwa Jokowi dianggap "antek" Israel sudah terjawab pada debat ke-3 ini. Dengan sikap tegasnya, beliau benar-benar membela Palestina dan mendukung sepenuhnya kemerdekaan Palestina dari bangsa Israel. Nah, jika Jokowi adalah antek Israel, maka akan kecil kemungkinan Jokowi melontarkan kata-kata tersebut. Meskipun menurut salah satu kompasianer ungkapan Jokowi ini dianggap blunder karena bertentangan dengan "fitnah" yang sampai saat ini berkembang.

Prabowo ketika ditanyakan persoalan negara, beliau dengan lugas mengatakan bahwa ketika Indonesia ingin dihargai bangsa lain, maka rakyat Indonesia harus sejahtera dan berdiri di kaki sendiri. Dengan kata lain, ketika Indonesia berharap menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi, maka tak dapat disangkal lagi, rakyat Indonesia harus sejahtera secara ekonomi, dan tumbuhnya usaha-usaha kreatif yang turut mendongkrak kemandirian bangsa Indonesia. Dampaknya jika seluruh rakyat Indonesia bisa mandiri secara ekonomi, maka besar kemungkinan ekonomi negara dari sektor bisnis usaha kreatif akan meningkat pesat. Sehingga Prabowo pun menghendaki perusahaan-perusahaan di Indonesia selayaknya dinasionalisasi, yaitu semua perusahaan yang ada di Indonesia sepatutnya dimiliki oleh negara. Namun faktanya berdasarkan survey di media, justru dengan menasionalisasi perusahaan swasta, justru hanya beberapa perusahaan saja yang mau menjual asetnya kepada pemerintah. Sebagian besar menolak rencana tersebut.

Saya menduga, perusahaan tersebut menolak dinasionalisasi tentu para pengusaha memiliki perspektif berbeda, salah satunya lemahnya posisi pemilik perusahaan terhadap aset-aset mereka. Namun demikian, Prabowo menandaskan bahwa perusahaan yang hendak dinasionalisasi atau di kelola oleh negara adalah perusahaan manufaktur yang mampu menyerap tenaga kerja dari negeri sendiri.

Terkait sikap Prabowo atas kebocoran anggaran negara, tentu saja Prabowo menginginkan segala bentuk transaksi yang dirasa merugikan negara sedikit banyak hendak dipangkas dengan mekanisme yang lebih ketat. Meskipun ungkapan Prabowo ini justru dianggap menjadi blunder bagi Prabowo-Hata sendiri karena capresnya pun mantan menteri koordinator perekonomian yang tahu betul teknis penyelenggaran dan pengelolaan uang negara. Sehingga sangat besar kemungkinan justru Hatta Rajasa mengerti betul mengapa uang negara bisa hilang dan tak jelas kemana arahnya.

Tokoh Muhammadiyah Mendukung Jokowi, Blunderkah bagi Prabowo?

Terlepas dari penilaian subyektif saya terhadap Prabowo dan Jokowi di atas, sepertinya Jokowi mendapatkan angin segar tatkala mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah.  Tentu saja bentuk dukungan tersebut paling tidak akan mengurangi suara Prabowo-Hatta dari Muhammadiyah. Meskipun tidak secara umum pemuda Muhammadiyah membela Jokowi.Akan tetapi, yang pasti masyarakat dalam hal ini pengikut organisasi ini lebih bebas dalam menentukan pilihannya. Tidak dipaksa untuk memilih salah satu capres. Namun, dengan kata-kata tokoh Muhammadiyah tersebut paling tidak membuat Hatta Rajasa menjadi gerah, seandainya tokoh-tokoh tersebut mendukung Jokowi-Jk maka suara Jokowi akan semakin melesat tajam.

Begitu juga suara NU yang saat ini tidak pula dapat diprediksi, karena bagaimanapun juga NU bukan PKB dan PKB bukanlah NU. Karena PKB hanya satu bagian saja partai politik yang didirikan oleh masyarakat NU. Sedangkan sebagaimana keputusan Majelis Syuro NU, organisasi ini konsisten akan bersikap netral dan tidak memihak pada siapapun. Terlepas ada beberapa kiyai yang "katanya" mendukung Prabowo atau Jokowi yang pasti suara Kiyai tersebut tidak mewakili suara NU secara organisasi.

Dan sampai saat ini, NU tetaplah sesuai dengan khittahnya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Sehingga sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakat, tak pantas jika NU dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Atau tokoh-tokoh partai justru memanfaatkan NU sebagai alat untuk memenangkan pergulatan politik.

Salam

Ironi Rencana Penghapusan Kolom Agama pada KTP dan Kondisi Real Kemajuan Islam di Indonesia (Sebuah Rumor)

Isu Penghapusan Kolom Agama pada KTP



Apa benar kalau kolom agama pada KTP akan dihapuskan oleh Jokowi? Dan apakah penghapusan kolom KTP tersebut benar-benar mencegah diskriminasi dalam bernegara?

Paling tidak dua pertanyaan itulah yang sedikit mewakili pertanyaan saya tatkala membaca beberapa berita dan opini terkait terlontarnya ucapan Musdah Mulia sebagai Ketua Tim Sukses Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu. Jika sampai saat ini ucapan yang kata Musdah Mulia adalah benar-benar kata-kata Jokowi tentu saja Jokowi perlu menjelaskan duduk persoalan dan alasan kenapa bagian yang sudah menyatu dalam KTP Indonesia itu mesti dihapuskan.

Meskipun ucapan Musdah Mulia ada yang menganggap sebagai suara Asbun (Asal bunyi) dari Musdah Mulia, lantaran ketika Jokowi dikonfirmasi menolak ucapan tersebut. Sepertinya Antara Tim Pemenangan Jokowi dan Jokowi sendiri sering bersilang pendapat. Apakah ketika Jokowi mengucapkan tersebut karena desakan pihak-pihak tertentu atau Musdah mulia hanya mendengarkan bisikan-bisikan jin yang dikira suara Jokowi.

Terlepas benar dan tidaknya bahwa Kolom Agama dalam KTP hendak dihapuskan tentu saja ada beberapa hal yang sedikit banyak ikut menjadi dampak ketika kolom agama benar-benar dihapuskan. Pertama bahwa kolom agama dalam KTP sebagai keterangan tentang status agama seseorang, karena dengan statusnya dalam KTP maka ketika si pemilik KTP ternyata meninggal dunia maka dia akan dishalatkan sesuai dengan agama yang dianutnya. Sehingga tidak terkesan asal main urus, jenazah yang beragama Islam dipaksa untuk dikremasi dan sebaliknya jenazah yang beragama Kristen justru dishalatkan. Sesuatu yang tidak logis.

Alasan kedua adalah sampai saat ini keberadaan KTP pun berpengaruh pada pendataan penduduk Indonesia, berapa persenkah jumlah masing-masing umat beragama yang dianut masing-masing agama. Tentu saja ketika data mengenai agama sudah diketahui, tentu saja kebijakan pemerintah terkait hal-hal terkait urusan kemanusiaan disesuaikan dengan jumlah agama yang dianutnya.  Sehingga semua kebijakan berjalan lebih adil, yang memiliki penganut lebih banyak hendaklah jumlah itung-itungan terkait anggaran untuk urusan keagamaan juga disesuaikan. Bukan bersikap diskriminatif, tapi lebih dari itu agar tidak terjadi penyimpangan.

Alasan ketiga adalah bahwa keberadaan kolom agama di dalam KTP sebagai identitas seseorang, ketika berurusan dengan masalah hukumpun sepatutnya para penganut agama ini diurus oleh orang-orang yang seagama, tanpa banyak tanya, dan menghindari pemalsuan identitas pribadi jika terlibat sebuah persoalan hukum. Meskipun masih ada saja orang-orang yang memalsukan identitas  agamanya karena sampai saat ini KTP pun masih ada saja yang dipalsukan yang pasti terkait pengurusan administrasi kependudukan serta aturan perkawinan mengacu dari kepemilikan KTP.

Alasan keempat, kenapa kolom KTP masih dianggap perlu, karena sampai saat inipun persoalan agama dalam KTP tak menjadi persoalan. Jika ada yang menganggap jika perbedaan KTP turut menjadi diskriminasi dalam dunia kerja, toh saat ini diskriminasi masih ada di semua negara. Tidak hanya di Indonesia, karena ada saja pemilik perusahaan yang pilih-pilih pekerjanya dengan alasan agama, meskipun dalam KTP sudah tidak ada kolom agama. Namun berbeda dengan Bank yang dikelola oleh CT Corp (Khairul Tanjung). Ternyata pegawainya tidak diberhentikan meskipun beberapa pegawainya bukan beragama Islam sebagaimana ditulis dalam buku biografi Khairul Tanjung.  

Selain persoalan agama dalam KTP yang tak perlu diperdebatkan, karena agamaseseorang dikembalikan pada iman masing-masing, meskipun KTP sebagai identitas yang pasti meskipun agama dalam KTPnya Islam tidak berpengaruh pada pelaksanaan ibadah secara personal.

Justru saya menganggap ketika kolom agama dalam KTP dihapus, maka Musdah Mulia menghendaki Indonesia didirikan dengan sistem liberal. Agama akan dilepaskan dari negara. Sehingga mau tidak mau penganut Islam akan kehilangan pengaruhnya dalam sistem di negara ini. Dampaknya meskipun suara muslim mayoritas, pada tataran pemerintahan dan aturan perundang-undangan justru terjadi kesenjangan. Padahal yang diharapkan umat Islam adalah bagaimana pemerintah yang dipilih oleh mayoritas Islam dapat mewakili suara Islam di republik ini. Termasuk diusulkannya perda syariah di daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya menghendaki undang-undang syariah berlaku di wilayahnya. Di mana undang-undang diberlakukan bagi umat Islam sendiri. Sehingga umat Islam memiliki kesempatan untuk mendapatkan aturan hukum sesuai dengan agama yang diyakini.

Kembali pada persoalan penghapusan agama pada kolom KTP yang memang menjadi pro dan kontra, beberapa waktu lalu Musdah Mulia pun menjadi pergunjingan di ranah media internet, bahkan pernah pula saya melihat tayangan Youtube dalam acara Mata Najwa, di mana wawancara tersebut membahas tentang ditentangnya undang-undang pornografi. Musdah berusaha kontra dengan diterbitkannya undang-undang tersebut dengan beberapa alasan yang tidak logis, bahkan terkesan Musdah ingin agama Islam diatur ala konsep liberal. 

Ketika dihubungkan dengan keinginan Jokowi ingin menghapus kolom agama dalam KTP, selayaknya ungkapan ini perlu dikaji bersama-sama Jokowi, apakah memang Jokowi, dalam hal ini diwakili oleh Musdah Mulia ingin menjadikan Indonesia sebagai negara liberal? Atau justru Musdah Mulia sendiri yang ingin menciptakan konflik antara Jokowi dan pemilih serta konstituennya meskipun saat ini Jokowi tengah mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari umat Islam dan kalangan pesantren. 

Atau Jokowi sendiri yang ingin mendulang suara atas rencananya menghapuskan kolom agama demi mendapatkan simpati dari penganut sekuler? 

Yang pasti semua dikembalikan kepada Jokowi sendiri, jika beliau benar-benar ingin berencana menghapus kolom agama atau justru hanya isu belaka, tentu saja wacana ini perlu diluruskan benar dan tidaknya. Namun sekali lagi, mungkin Jokowi memunculkan ide ini  karena alasan-alasan tertentu yang dianggap mewakili masyarakat Indonesia secara menyeluruh. 

Salam Indonesia Raya

Kalau Begini Caranya, Pemilu Bisa Haram Hukumnya

Benar kata bijak, sesuatu yang diawali dengan kebaikan, maka kebaikan pula yang akan didapatkan. Ibarat pula petani yang menanam benih maka panenan yang didapat. Begitu juga sebaliknya barang siapa yang memulainya dengan keburukan, niscaya kemudharatan yang  akan didapatkan. Jangankan padi yang menguning yang akan memenuhi lumbung para petani, justru rumput-rumput liar yang merusak yang akan merusak hamparan padi mereka.
Capres-cawapres 2014


Itulah gambara negara ini, tak hanya urusan agama, urusan politik sejatinya seperti adu fisik, adu debat pikir, dan yang lebih parah lagi jika hingga benar-benar beradu otot karena sebab bacot, badanpun menjadi mlocot (luka-luka) bahkan karena politik yang tak santun, banyak nyawa melayang atau minimal banyak orang yang terkena gangguan jiwa gara-gara politik.

Apakah seperti ini politik negeri ini dibangun? Dan apakah memang politik yang memanusiakan manusia justru berpola seperti hewan di hutan rimba, siapa yang kuat merekalah yang berkuasa. Karena telah berkuasa, kekuasaan absolut pun akhirnya menindas para kaum lemah. 

Sepertinya tidak ada satupun yang menghendaki politik di negeri manapun dibangun dengan tetesan darah. Teramat mahal sebuah politik jika harus mengorbankan saudaranya, membunuh rakyat yang tak berdosa, mereka hanya menjadi tumbal politik dan bahan bakar sebuah rekayasa politik. Demi mendapatkan kemenangan mereka memperdaya kaum miskin terpinggirkan. Saudarapun akhirnya menjadi musuh, lawan menjadi kawan, tawa menjadi tangis, keridhaan menjadi dendam. Politik ala hutan rimba, kini dijadikan pedoman untuk mengurus manusia lainnya. Tak lazim tapi inilah faktanya yang terjadi di Indonesia di manapun negara-negara yang berkonflik karena politik.

Pemilu, sebagai hajat lima tahunan pun sekedar membuang uang rakyat, yang sepatutnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat, tapi justru dijadikan sebagai permainan belaka. Penguasa memanfaatkan uang rakyat demi untuk memuaskan hasrat kekuasaan. Wajar saja kemiskinan sepertinya sulit untuk disejahterakan.  Bukan tanpa sebab, karena politik acapkali menghabiskan uang rakyat dengan sia-sia. 

Mereka berkompetisi dengan membuang uang yang susah payah dikumpulkan, seakan-akan hanya dibuang percuma menjadi lembara-lembaran surat suara yang penuh rekayasa.

Bemilyar-milyar ongkos yang dihabiskan untuk membiayai pemilu, toh ternyata dapatnya adalah parawakil rakyat hasil money politik. Mereka berambisi menjadi wakil rakyat, justru menganiaya hak-hak rakyat. Rakyat kecil mengharap sejahtera, dapatnya adalah kemiskinan semakin merajalela. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.

Apakah begini cita-cita kita? Apakah setiap kali mencoblos lembar surat suara, tak menghasilkan apa-apa? Atau memang politik hanya sebagai dagelan belaka. Jika benar demikian, untuk apa kita berdemokrasi jika tak menggunakan hatinurani. Saudara saling menyakiti demi kemenangan semu. Menghujat sana-sini seakan-akan kehilangan urat malu.

Bukankah Politik di Kompasiana Bukan Ajang Mencari Musuh?

Sadar-atau tidak kita sudah kehilangan kontrol diri. Semua  karena ambisi dan membela tokoh yang akan menduduki kursi, tapi saling menyakiti. Mereka tak sadar, tatkala menyakiti lawan politiknya, hakekatnya mereka sudah menorehkan luka yang dalam. Luka yang tak sepatutnya ditinggalkan oleh para partisan politik. Mereka mendapatkan lembaran rupiah, demi mendapatkan simpati calon pejabat negeri. Beginikah dapatnya, secara susah payah membangun persahabatan harus terkoyak oleh ambisi para politisi?

Rendah sekaliharga diri Anda, jika karena mendukung politisi fikiran Anda menjadi tak terkoreksi apakah sekedar cuap-cuap basi tak berisi atau ambisi yang sama seperti mereka para politisi?

Sadar atau tidak,ada banyak member kompasiana yang harus angkat kaki. Tentu saja karena kita-kita yang suka membully, menganggap sesama kompasianer tak punya hati. Dapat apa sih Anda dari Prabowo atau   Jokowi? Apakah sebuah mobil merci? Atau hanya senyum pamer gusi dari para politisi? 

Menulis dikompasiana hanyalah wadah untuk berbagi, tapi bukan untuk menyakiti. Tak perlu juga memojokkan lawan politiknya dengan amat keji. Mereka mengganggap saat ini perang sudah usai. Padahal perang itu baru dimulai. Tatkala para simpatisan dan timses saling beradu teori dan berujung anarki. Aku tak peduli. Anda yang memulai dan Anda pula yang harus mengkahiri sengketa tak penting dan amat basi ini.
Lupakan saja permainan politisi jika hanya untuk mengumbar janji. Siapapun terpilih mereka takkan bisa bekerja sendiri. Tapi membutuhkan koalisi untuk membangun negeri.

Jika kita memahami, segala sesuatu yang berdampak saling menyakiti apalagi mendustai hakekatnya sebuah kerugian belaka. Semua tak bermakna apa-apa hanya memperturutkan ambisi pribadi. Bahkan bisa jadi politik yang seperti ini dihukumi haram oleh Ilahi. Ia tak rela dunia ini semakin tak ramah karena politik yang tak santun. Membuli dan menyakiti seakan-akan menjadi  tradisi.

Anda pilih Jokowi? Silakan saja pilih Beliau tak perlu mencela yang berbeda dengan Anda. Dan jika Anda memilih Prabowo, jangan rendah diri karena politik adalah kompetisi. Siapa yang dapat menarik simpati maka merekalah yang menarik hati nurani. Bukan permainan politik yang keji. Jangan bangga dulu jika di Kompasiana dipenuhi pendukung Jokowi. Karena di luar sana ada jutaan umat yang tak membaca kompasiana yang memiliki pilihan sendiri. Boleh jadi saat ini Jokowi JK bisa tertawa karena merasa menang dalam debat capres-cawapres,tapi hukum Tuhan berkata lain, tatkala Tuhan menghendaki jadilah maka jadilah ia. Tak peduli siapapun calonnya. Pahamilah bagaimana Pak SBY bisa memenangkan pemilu presiden 2004-2014? Karena beliau dihujat dan disakiti oleh Megawati. Itulah kemenangan yang tak disangka-sangka dan diduga-duga.

Berusahalah netral, meskipun Anda memilih salah satu di antaranya. Karena apalah artinya pemilu luberjudil jika Anda sudah mengatakan bahwa Anda memilih calon presiden secara terang-terangan. Berhadap kekerasan karena perbedaan pandangan tidak menghampiri kita. Pemilu Indonesia benar-benar damai dan berlangsung dengan aman dan sukses tanpa anarki.

Salam Damai Penuh Berkah

Cintailah Capres - Cawapres Kita!