![]() |
Sumber : infoindo.com |
Apakah Ayahku Menerima Gratifikasi?
Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag
Jika lebaran tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya kami selalu memberikan angpau, hadiah, minimal sebuah parsel yang di dalamnya berisi beraneka ragam makanan, dan dulu juga sering ayahku menerima sejumlah uang dari teman-teman sepekerjaan yang “katanya” ucapan terima kasih seorang bawahan kepada atasan, kontraktor dan konsultan, guru kepada kepala sekolahnya atau RT kepada Lurah nya. Namun kini semua itu tidak ada lagi. Hubungan itu terasa jauh bahkan untuk sekedar mengurus proyek pengaspalan jalan sepertinya rekanan sudah tidak pernah lagi datang dan “menyumbang” dompet bapak yang kadangkala kehabisan stok karena habis untuk biasa persiapan lebaran.
Ilustrasi di atas menggambarkan begitu
banyaknya kasus korupsi yang termasuk dalam ranah gratifikasi. Bukan
bermaksud ahli dalam bidang ini namun menjelaskan pengertian
gratifikasi menurut undang-undang No 20 tahun 2001 adalah pemberian
dalam arti luas termasuk di dalamnya pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas
lainnya (sumber : e modul gratifikasi).
Fenomena kehadiran undang-undang tindak
pidana korupsi seperti senjata makan tuan di mana mereka yang dahulunya
mengelu-elukan hadirnya payung hukum yang mencegah seseorang melakukan
korupsi ternyata justru menjadi bumerang yang kini menjadi senjata yang
menakutkan bagi pelaku kejahatan ini, sebagaimana terjadi pada salah
satu partai di mana awalnya sangat garang meneriakkan tentang kejujuran
tapi ternyata ada kadernya yang menjadi korban atas kontribusinya
terhadap pencegahan korupsi itu sendiri.
Ilustrasi di atas menggambarkan betapa
semua pemberian yang berkaitan dengan kedinasan disebut gratifikasi baik
gratifikasi legal maupun ilegal di mana bisa disebut ilegal jika uang
atau barang yang diberikan tidak segera dilaporkan kepada ka pe ka
sebagai malaikat pencabut nyawa bagi para pemberi dan penerima
gratifikasi ini. Tidak tanggung-tanggung jika seorang bawahan memberikan
upeti kepada atasan sejumlah uang maka keduanya akan dianggap melanggar
undang-undang no 20 tahun 2001 perubahan atas undang-undang no 31 tahun
1999 dengan ancaman Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah): sungguh hukuman yang sangat sesuai bagi pelakunya.
Tidak hanya jika nilai nomilan uang
dalam jumlah besar akan tetapi juga tetap dianggap gratifikasi jika
seorang ayah yang memberikan hadiah kepada kepala sekolah agar anaknya
dapat diluluskan dengan predikat terbaik. Atau jika seorang pegawai yang
memberikan sejumlah uang kepada atasannya dengan alasan menolak untuk
dipindah tugaskan.
Sebelum adanya undang-undang tindak
pidana korupsi mungkin setiap orang bisa menikmati upeti dan hadiah
tanpa rasa takut akan mendapatkan sanksi di atas dan setiap atasan bisa
menekah bawahan agar memberikan sejumlah uang atas nama hadiah tersebut
agar jabatannya tidak mendapatkan koreksi sehingga semua pekerjaan sudah
dianggap baik meskipun jauh dari kata memenuhi syarat. Jika semestinya
jalan yang dibangun bisa bertahan sampai 10 tahun karena ulah
gratifikasi ini jalan pun hanya bertahan selama 5 bulan bahkan mungkin
lebih cepat mengalami kerusakan.
Lagi-lagi masyarakat sebagai penyumbang
pajak akan menelan pil pahit karena ulah orang-orang yang menggunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi yang berakibat semua infrastruktur
dibangun tidak sesuai dengan aturannya dan uang negara dibelanjakan
tidak sesuai dengan peruntukannya dan pada akhirnya hanya orang-orang
tertentu saja yang menikmati uang negara seperti halnya Gayus Tambunan
yang tersangkut korupsi suap uang pajak dimana sebelumnya orang-orang di
Dirjen Pajak adalah orang-orang yang tergolong bangsawan karena
rata-rata mereka hidup dalam kemewahan sehingga banyak mertua yang ingin
anaknya dinikahkan dengan pegawai pajak. Namun ternyata kenyataan di
dalamnya amat jauh dari apa yang dipikirkan tentang kemewahan di mana
tidak terlalu lama pelakunya terjerat kasus hukum karena melakukan
pelanggaran wewenang.
Semua hal yang berkaitan dengan
pemberian dengan tujuan ingin merubah sebuah kebijakan dan mempunyai
tendensi akan menguntungkan pihak pemberi hadiah sudah termasuk ranah
pelanggaran tindak pidana korupsi sub bagian gratifikasi.
Namun, adakalanya sebuah pemberian tidak
disebut gratifikasi manakala orang yang memberi dan menerima tidak
mempunyai maksud dan tujuan yang berkaitan dengan kedinasan ataupun
merubah sebuah kebijakan seperti halnya seorang anak memberikan uang
belanja kepada ibunya yang sudah tua renta sedang uang tersebut
benar-benar dari gaji yang semestinya dan sah tidak mengambil yang
bukan miliknya, atau orang tua yang memberikan sebagian penghasilannya
demi menyantuni anak-anak yatim yang dalam kesusahan.