Rabu, 28 Mei 2014

Apakah Ayahku Menerima Gratifikasi?

Sumber : infoindo.com


Apakah Ayahku Menerima Gratifikasi?
Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag


Jika lebaran tiba, seperti tahun-tahun sebelumnya kami selalu memberikan angpau, hadiah, minimal sebuah parsel yang di dalamnya berisi beraneka ragam makanan, dan dulu juga sering ayahku menerima sejumlah uang dari teman-teman sepekerjaan yang “katanya” ucapan terima kasih seorang bawahan kepada atasan, kontraktor dan konsultan, guru kepada kepala sekolahnya atau RT kepada Lurah nya. Namun kini semua itu tidak ada lagi. Hubungan itu terasa jauh bahkan untuk sekedar mengurus proyek pengaspalan jalan sepertinya rekanan sudah tidak pernah lagi datang dan “menyumbang” dompet bapak yang kadangkala kehabisan stok karena habis untuk biasa persiapan lebaran.

Ilustrasi di atas menggambarkan begitu banyaknya kasus korupsi yang termasuk dalam ranah gratifikasi. Bukan bermaksud ahli dalam bidang ini namun menjelaskan  pengertian gratifikasi menurut undang-undang  No 20 tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas termasuk di dalamnya pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya (sumber : e modul gratifikasi).

Fenomena kehadiran undang-undang tindak pidana korupsi seperti senjata makan tuan di mana mereka yang dahulunya mengelu-elukan hadirnya payung hukum yang mencegah seseorang melakukan korupsi ternyata justru menjadi bumerang  yang kini menjadi senjata yang menakutkan bagi pelaku kejahatan ini, sebagaimana terjadi pada salah satu partai di mana awalnya sangat garang meneriakkan tentang kejujuran tapi ternyata ada kadernya yang menjadi korban atas kontribusinya terhadap pencegahan korupsi itu sendiri.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa semua pemberian yang berkaitan dengan kedinasan disebut gratifikasi baik gratifikasi legal maupun ilegal di mana bisa disebut ilegal jika uang atau barang yang diberikan tidak segera dilaporkan kepada ka pe ka sebagai malaikat pencabut nyawa bagi para pemberi dan penerima gratifikasi ini. Tidak tanggung-tanggung jika seorang bawahan memberikan upeti kepada atasan sejumlah uang maka keduanya akan dianggap melanggar undang-undang no 20 tahun 2001 perubahan atas undang-undang no 31 tahun 1999 dengan ancaman Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): sungguh hukuman yang sangat sesuai bagi pelakunya.

Tidak hanya jika nilai nomilan uang dalam jumlah besar akan tetapi juga tetap dianggap gratifikasi jika seorang ayah yang memberikan hadiah kepada kepala sekolah agar anaknya dapat diluluskan dengan predikat terbaik. Atau jika seorang pegawai yang memberikan sejumlah uang kepada atasannya dengan alasan menolak untuk dipindah tugaskan.

Sebelum adanya undang-undang tindak pidana korupsi mungkin setiap orang bisa menikmati upeti dan hadiah tanpa rasa takut akan mendapatkan sanksi di atas dan setiap atasan bisa menekah bawahan agar memberikan sejumlah uang atas nama hadiah tersebut agar jabatannya tidak mendapatkan koreksi sehingga semua pekerjaan sudah dianggap baik meskipun jauh dari kata memenuhi syarat. Jika semestinya jalan yang dibangun bisa bertahan sampai 10 tahun karena ulah gratifikasi ini jalan pun hanya bertahan selama 5 bulan bahkan mungkin lebih cepat mengalami kerusakan.

Lagi-lagi masyarakat sebagai penyumbang pajak akan menelan pil pahit karena ulah orang-orang yang menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi yang berakibat semua infrastruktur dibangun tidak sesuai dengan aturannya dan uang negara dibelanjakan tidak sesuai dengan peruntukannya dan pada akhirnya hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati uang negara seperti halnya Gayus Tambunan yang tersangkut korupsi suap uang pajak dimana sebelumnya orang-orang di Dirjen Pajak adalah orang-orang yang tergolong bangsawan karena rata-rata mereka hidup dalam kemewahan sehingga banyak mertua yang ingin anaknya dinikahkan dengan pegawai pajak. Namun ternyata kenyataan di dalamnya amat jauh dari apa yang dipikirkan tentang kemewahan di mana tidak terlalu lama pelakunya terjerat kasus hukum karena melakukan pelanggaran wewenang.

Semua hal yang berkaitan dengan pemberian dengan tujuan ingin merubah sebuah kebijakan dan mempunyai tendensi akan menguntungkan pihak pemberi hadiah sudah termasuk ranah pelanggaran tindak pidana korupsi sub bagian gratifikasi.

Namun, adakalanya sebuah pemberian tidak disebut gratifikasi manakala orang yang memberi dan menerima tidak mempunyai maksud dan tujuan yang berkaitan dengan kedinasan ataupun merubah sebuah kebijakan seperti halnya seorang anak memberikan uang belanja kepada ibunya yang sudah tua renta sedang uang tersebut benar-benar dari gaji yang semestinya dan sah tidak mengambil yang bukan miliknya, atau orang tua yang memberikan sebagian penghasilannya demi menyantuni anak-anak yatim yang dalam kesusahan.

Jumat, 23 Mei 2014

Jokowi Presiden, Tunjangan Kesejahteraan Guru Dicabut. Black Campaign?

Sumber: panduan guru.com


Jokowi Presiden, Tunjangan Kesejahteraan Guru Dicabut. Black Campaign?
Oleh: M. Ali Amiruddin, S.Ag.

Sore kemarin lusa (21/05) kayaknya saat yang tak biasanya. Hati yang biasanya riang gembira mendadak gundah-gulana. Jiwa yang biasanya adem ayem dan tenang seperti di dalam surga ee ternyata harus terusik dengan berita. Berita aktual entah gosip ya? Karena sekarang sulit membedakan berita aktual atau justru gosip. Berita jujur atau settingan. Tapi saya tidak langsung menaruh curiga atau negatif thinking. Yang penting saya denger dulu apa berita yang dimaksud.

Tepat pukul 17.00 ibunya anak-anak tiba-tiba melontarkan berita yang sedikit banyak membuat saya sedih. Sedih bukan karena sang istri minta dicerai atau menggugat pisahan, tapi sedih di sini karena beritanya menyangkut capres yang bodinya kurus tersebut. Ialah Jokowi capres yang diusung oleh PDIP, Hanura, PKB. Dan sampai saat ini pemberitaan tentang Jokowi masih berlanjut dan cukup hits di pasaran berita nasional. Sama hitsnya dengan pemberitaan mengenai Prabowo Subianto yang juga sama-sama ingin menjadi Calon presiden.

Tapi ntar dulu, saya nggak mau ngomongin tentang pencapresan beliau berdua. Tapi yang saya perhatikan justru tatkala muncul slentingan, berita, gosip atau issu yang mengatakan bahwa guru-guru di Lampung Tengah nggak mau mencoblos Jokowi, mereka beralasan karena kalau Jokowi jadi presiden maka tunjangan kesejahteraan guru akan dicabut. Entah ini berita bohongan, settingan, atau black campaign yang sempat memanas di Kompasiana dan sampai saat ini berita tentang kampanye hitam ini masih saja berlanjut.

Terang saja, setelah mendengar berita tersebut saya langsung gugup, diam, kecut dan tentu saja gundah gulana seperti orang yang putus cinta (kayak ABG). Saya terdiam dan mulut tak lagi berucap, terkunci rapat, diam membisu. Dalam alam pemikiran saya menerawang sambil tertegun wah bisa-bisa ada yang meradang nih dengan berita ini. Tidak hanya saya tapi ribuan guru yang ada di Kabupaten ini pun akan ikut khawatir jika berita ini aktual dan faktual.
Jujur saja, bagi guru, issu ini memancing reaksi yang beragam dan akan berdampak besar bagi citra Jokowi kedepannya. Apalagi, sebentarlagi pemilu Capres akan berlangsung. Maka kemungkinan besar pemilih tetap dari unsur guru akan memilih abstain atau berpindah ke lain hati dan tidak lagi menentukan pilihan mereka pada sosok Jokowi.

Tidak hanya guru yang tidak memilih Jokowi + JK, tapi keluarga mereka akan menarik diri dari pilihan tersebut dan akan menguntungkan Prabowo Subianto yang dianggap membela para guru.
Meskipun berita ini hanya issu miring dan cenderung saya katakan sebagai black campaign (kampanye hitam) pra pilpres, tapi berita ini membuat masyarakat Lampung khususnya menjadi bingung dan goncang. Implikasi terbesarnya adalah bisa-bisa Jokowi akan ditinggalkan pemilihnya karena kampanye hitam ini. Berita ini memang belum mendapatkan konfirmasi yang pasti benar dan tidaknya, paling tidak suara dari para abdi negara ini yang seharusnya diperoleh Jokowi & JK, maka bisa membuat buruk peroleh suara mereka. Dan cenderung melorot tajam meskipun PDIP mendapatkan suara yang tinggi.

Black Campaign Terhadap Ruang Demokrasi 

Saya tidak berfikir secara parsial siapa saja yang menjadi korban kampanye hitam tersebut. Karena, siapa yang membuat berita miring atau issu negatif cenderung menjatuhkan lawannya. Tak peduli berita-berita tersebut adalah fitnah belaka. 

Tidak hanya tokoh yang difitnah yang mendapatkan kerugian secara materi maupun immateri, karena masyarakat yang tak memahami politik pun menjadi korban. Mereka menjadi terjajah dan terpaksa memilih seseorang karena gosip-gosip murahan yang sengaja disebarkan oleh kelompok tertentu.
Sebut saja issu tentang Prabowo, katanya jika Prabowo menjadi Presiden maka kebijakannya seperti orba, ketika ada reaksi beragam di masyarakat maka presiden akan melakukan tindakan represif dengan menculik mahasiswa dan tokoh politik yang dianggap bersebrangan. Padahal issu ini dikembangkan dengan tujuan menjatuhkan kredibilitas Prabowo di mata publik.

Tak hanya menjatuhkan kredibilitas beliau, karena nama baik dan prestasinya semakin tak terlihat. Yang tampak adalah kesalahan masa lalu dan selalu diungkit-ungkit menjadi mimpi buruk. Sebuah sikap pengecut para penyebar issu negatif dan ulah politisi yang doyang kampanye hitam. 

Mereka berusaha menjatuhkan tokoh lain dengan issu-issu yang mengangkat dendam lama demi sebuah citra buruk dan menjatuhkan nama baik.

Masyarakat pun akan bisa menilai, bahwa berita-berita tersebut sengaja dihembuskan untuk memperkeruh suasana atau justru hanya intrik politik buruk para politisi dan timses kalap.

Issu kedua tentang Jokowi, katanya Jokowi adalah keturunan China dan teman-temannya para zionis israel. Sehingga masyarakatpun menjadi gamang akibat issu ini. Meskipun demikian andaikan benar Jokowi keturunan China pun hakekatnya tidak salah karena Indonesia memiliki banyak etnis termasuk etnis China. Namun demikian issu tersebut langsung ditanggapi dengan pengakuan bahwa Jokowi adalah orang Jawa Tengah asli begitu juga istrinya yang berkuliah di UGM.

Semua bentuk kampanye hitam untuk memenangkan kompetisi adalah tindakan tercela,meskipun dalam politik semuanya bisa dilakukan, tapi etika dan kepatutan pun seharusnya jangan ditinggalkan.
Banyak tokoh yang meraih kepopuleran dan sukses bukan karena kampanye hitam. Mereka murni berkarya dan berinovasi untuk Indonesia dan karya  mereka dapat dinikmati semua orang.

Apakah politik identik dengan kampanye hitam?

Politik adalah siasat, cara dan teknik agar dapat memenangkan kompetisi. Meskipun cara yang tak patut pun tidak dibenarkan dengan alasan etika kepatutan. Namun faktanya banyak politisi yang bermain.

Politik bisa menjadi sumber bencana jika diniatkan dan dilakukan dengan cara-cara yang kotor. Begitu juga sebaliknya. Teramat rendah sebuah politik yang bertujuan untuk kebaikan jika harus dikotori dengan politik yang nista. 

Pertanyaan apakah politik identik dengan kampanye hitam, tentu saja dikembalikan kepada para pelakunya. Meskipun sejarah mencatat tak adapolitik yang jujur karena semua menggunakan cara-cara yang bertujuan memperoleh kemenangan. Namun, jika kampanye hitam sudah dianggap sebagai tradisi untuk menang maka alamat buruk dari sebuah sistem demokrasi. (maa)

Salam

Rabu, 21 Mei 2014

Kenangan Pengisi Kultum di Lapas Kota Metro

Beberapa tahun yang  lewat, tatkala mendapatkan mandat organisasi mahasiswa kebetulan saya ikut PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Cabang Metro, Lampung ada satu kenangan yang tak pernah bisa dilupakan ketika saat itu menjadi pengisi Kultum (Kuliah Tujuh Menit) di Lapas Metro setelah kegiatan shalat tarawih berjamaah dilaksanakan.

Ada kesan mendalam sejak mandat itu diberikan, rasa ragu, takut, was-was, apakah anak muda kemarin sore ini bisa memberikan tausyiyah di hadapan orang-orang yang notabene dianggap “maaf” sampah masyarakat dengan latar belakang kejahatannya di dunia nyata. Entah sebagai pencuri, pencopet, penjambret, pemerkosa, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi seorang pembunuh yang sudah tentu mereka adalah “menurut  khalayak umum” merupakan orang yang sadis, kejam dan tidak bisa baca tulis apalagi mengenal agama.

Tapi, anggapan saya waktu itu amat jauh dari prasangka negatif tadi, ternyata mereka yang ada di Lapas “walaupun tidak semua ikut shalat jamaah” ternyata mahir dan fasih dalam membaca dan melaksanakan Shalat, walaupun saya tidak memperhatikan dengan seksama karena dalam kondisi shalat tapi ternyata mereka begitu khusuk tekun dan benar-benar melaksanakan shalat dengan tertib. Dan anehnya ternyata anggapan saya bahwa mereka sadis dan tidak menerima orang lain masuk ke dalam kehidupan mereka adalah salah bahkan mereka menerima kedatangan saya dengan ramah dan baik hati.
Memang semua orang menganggap Lapas adalah kumpulan orang-orang yang rusak, atau bahkan lebih ekstrim mereka menyebutnya sampah masyarakat, padahal jika kita mau mengamati dengan seksama orang-orang yang ada di Lapas justru dipenuhi orang-orang yang fasih membaca Al-Qur’an dan pandai melaksanakan shalat. Bahkan ada juga di antara mereka yang ahli ibadah, guru ngaji dan bisa jadi tokoh masyarakat yang disegani.

Anggapan mereka sebagai sampah masyarakat yang harus dijauhi adalah sangat keliru. Karena banyak juga orang-orang yang dahulunya seorang penjahat tapi tatkala mendapat hidayahNya ternyata mereka berubah menjadi seorang tokoh agama yang disegani seperi halnya tokoh Gito Rollies yang seorang mantan pemakai narkoba tapi alhamdulillah meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Anton Medan yang kini menjadi manusia yang taat. Ada juga Mike Tyson yang ternyata mendapat hidayah dan memeluk Islam ketika menjalani hukuman karena tuduhan pelecehan seksual dan berganti nama menjadi Malik Abdul Aziz dan sederet tokoh-tokoh yang menggeluti dunia kejahatan tapi ternyata justru menjadi orang-orang yang benar-benar lurus.

Sebenarnya ketika melihat seseorang dari sisi buruknya pasti semua kebaikan yang pernah dilihatnya akan tertutup rapat sehingga yang ada justifikasi dan generalisasi bahwa semua narapidana memang jahat padahal di antara mereka kadangkala korban fitnah, dan ulah keji pemegang kekuasaan karena gerak gerik kotornya mulai tercium seperti halnya mantan ketua KPK Antasari Azhar kebetulan divonis bersalah membunuh Nasruddin Zulkarnain oleh majelis hakim padahal bukti-bukti yang dituduhkan tidak akurat dan terkesan mengada-ada.

Semua orang boleh memvonis orang salah, tapi semuanya merupakan jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada hambanya siapa saja yang berhak menjadi hamba-hamba yang selamat. Biarkan hidup mereka jalani dalam jeruji besi mungkin dengan jalan itulah hidayah akan turun pada mereka dan mereka menjadi hamba-hamba yang bermanfaat. Aamiin (maa)

Menagih Janji Para Pemimpin Negeri

salam-online.com

Gundah gulana, sedih, kecewa bahkan galau tengah dirasakan masyarakat Indonesia, seperti layaknya rasa kecewa yang tengah melanda sepasang kekasih yang tiba-tiba kecewa, jengkel, neg, karena kekasihnya tidak setia, tidak teguh memegang janji, dan bisanya obral janji sampai-sampai harga diripun digadaikan demi sebuah janji sang kekasih. Dan puncak dari segalanya adalah ending yang mengharu biru dan menyedihkan laksana prajurit yang mati sia-sia di medan perang.

Kenyataan ini selaras dengan apa yang dialami warga Lampung Tengah. Bagaimana bisa demikian? Kenapa mesti diibaratkan sepasang kekasih yang putus asa dengan putusnya tali percintaan?

Bagaimana mungkin masyarakat yang sudah benar-benar setia, mendengar dengan tekun setiap rayuannya dan dengan ikhlas menerima imbalannya karena mau mengumpulkan KTP untuk pemilihan kepada daerah tiba-tiba dibohongi dan dilupakan begitu saja. Ketika memimpin daerah mereka lupa akan tanggung jawabnya seperti halnya apa yang telah mereka ucapkan dan janji-janji manis yang mereka obral ketika kampanye.

Kondisi ini mungkin tidak hanya terjadi di Kabupaten ini, bisa saja di tempat lain mengalami nasib yang sama. Bagaimana mudahnya mereka berjanji dengan sangat manis, “Jika nanti saya dipercaya memimpin daerah ini pasti saya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lampung Tengah, jalan-jalan saya perbaiki, dan lapangan pekerjaan akan semakin terbuka luas!.

Mendengar retorika politik meluncur mulus dari lisan-lisan Cabup dan Cawabup mereka ketika kampanye, ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang kini mereka rasakan. Jangankan merasakan kesejahteraan dari meningkatnya ekonomi keluarga karena harga-harga hasil pertanian mereka naik, justru hari ini harga sawit yang menopang ekonomi mereka sudah tidak lagi berharga, terjun bebas tanpa ada aral rintang. 

Jangankan merasakan nikmatnya pekerjaan yang dijanjikan, bisa bekerja dengan tenang meski hanya bermodal sawah sepetak ternyata kebahagiaan juga diberangus oleh ulah maling yang setiap malam menjarah hewan ternak mereka. Boro-boro bisa menikmati jalan-jalan mulus seperti obralan mereka, jalan berlubang penuh lumpur menjadi pemandangan harian di sudut-sudut kota.

Sedih dan kecewa, itulah yang kini dirasakan. Namun benarkah itu salah mereka yang kini memimpin? Atau salah masyarakat yang telah memilih?

Adanya otonomi daerah mungkin menyimpan impian bagi masyarakat Indonesia, karena diharapkan dengan begitu semua pelayanan dan infrastruktur akan merata ke semua daerah di Indonesia dan tidak hanya terpusat di pusat akan tetapi merata hingga ke daerah. 

Dengan demikian diharapkan pembangunan juga merata ke seluruh daerah.  Akan tetapi justru munculnya raja-raja daerah yang ternyata memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri. Bertameng putra daerah, seolah-olah kepala daerah adalah milik otoraritas penduduk lokal dengan mengesampingkan masyarakat pendatang sehingga sentimen primordialisme sempit lebih cepat berkembang dari pada primordialisme kebangsaan yang semestinya dijaga. 

Kenyataan ini sungguh ironis di mana di sektor-sektor riil dan hampir semua sudut perkantoran yang duduk di kursi empuk adalah kroni-kroni yang terkadang tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin masyarakat. Seperti telah di meja hijaukan beberapa pejabat daerah karena melakukan penyelewengan dana (korupsi)  dan berakhir masuk ke dalam bui seperti direlease oleh InfoKorupsi. com Edisi 13 Juli 2013.

Akibat dari situasi tersebut banyak daerah-daerah yang kurang merasakan bagaimana menikmati jalan yang mulus dan sarana pendidikan yang memadai. Akan tetapi justru rumah-rumah mewah para pejabat yang justru menjadi program pokok selama menjadi kepala daerah. 

Padahal dengan dicetuskannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian diperkuat dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan implikasi kepada wilayah daerah agar cepat berkembang seiring meningkatnya status sentralisasi menjadi desentralisasi di mana daerah otonom memiliki wewenang seluas-luasnya mengurus daerahnya sendiri. 

Tapi memang nasi sudah menjadi bubur segala sesuatu tidak boleh disesali tapi dikoreksi dan diperbaiki agar sistem yang sudah ada menjadi lebih baik lagi sehingga tidak seperti ungkapan anak muda loe gue end seteleh menikmati madunya otonomi daerah mereka meninggalkan tanggung jawabnya terhadap kepentingan masyarakat banyak. (maa)

Indonesia dalam Tlikungan Bencana Asap

www.suara-islam.com



Indonesia tengah dihadapkan dengan bencana serius yakni kebakaran hutan dengan spot centernya ada di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang efeknya telah dirasakan oleh banyak orang, tidak hanya masyarakat lokal, propinsi tetangga maupun negara tetangga yang juga menerima efect yang sangat merugikan semua pihak. 

Jika boleh dikatakan bencana, karena dampaknya dirasakan amat luas mencakup wilayah Sumatera, Kalimantan juga negara Singapura dan Malaysia ikut merasakan dampaknya. Bahkan berdasarkan informasi televisi swasta bahwa bencana asap sudah sampai ke negara Thailand.

Kebakaran hutan merupakan kejadian tahunan yang dirasakan negara ini, pada awalnya murni akibat musim kemarau yang panjang sehingga intensitas cuaca atau suhu udara relatif panas yang mengakibatkan mudahnya terjadi kebakaran hutan. Namun, di sisi lain, penyebab kebakaran tidak hanya faktor alam. Tapi lebih disebabkan ulah oknum yang sengaja melakukan pembakaran dengan tujuan pembuka lahan pertanian. 

Seperti, halnya yang akhir-akhirnya santer dibicarakan di media masa, termasuk adanya perdebatan antara Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) dan Humas Polri. Dari pembicaraan tersebut dapat diambil benang merah bahwa kebakaran hutan tersebut ternyata tidak hanya melibatkan beberapa oknum masyarakat, akan tetapi juga disinyalir berasal dari kalangan pengusaha perkebunan yang mencakup oknum pengusaha perkebunan lokal maupun mancanegara yang dengan sengaja melakukan pembakaran lahan baik lahan hutan maupun lahan perkebunan dengan tujuan memperluas wilayah penanaman. 

Namun, secara tendensius Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) akan memberikan somasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berserta ketiga kementerian yakni Kementrian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian, serta tiga kepala daerah yaitu Gubernur Riau, Jambi dan Sumatera (Inilah.com). 

Hal ini menunjukkan bahwa sikap Walhi dalam melihat permasalah kebakaran hanya menunjuk kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Akan tetapi Walhi tidak melihat banyak sisi di antaranya pengusaha perkebunan (korporasi) yang sengaja melakukan pembakaran hutan atau perkebunan di luar wilayah konsensinya dan beberapa oknum masyarakat yang sengaja membuka lahan baru dengan cara membakar hutan.

Sebenarnya apakah yang menjadi sudut pandang Walhi dalam menilai kejadian tersebut adalah semata-mata kesalahan pemerintah, sehingga pemerintah dianggap melakukan pembiaran atau membiarkan masyarakat tidak menerima hak-haknya dalam menikmati udara yang bersih dan kesehatan lingkungan? 

Padahal kita tahu bahwa selama negara ini masih dilaksanakan dengan sistem desentralisasi dan sistem pemerintahan menganut otonomi daerah sebenarnya kebijakan lebih banyak tergantung wilayah propinsi atau daerah itu sendiri. Akan tetapi,  peran LSM sebagai bagian dari organisasi masyarakat juga ikut andil dalam proses perlindungan wilayah hutan demi  mencegah efek apapun yang akan terjadi terhadap hutan di Indonesia.

Selain itu apakah sebenarnya yang disebut somasi tersebut?  Dan bagaimana efektifitas dari somasi tersebut terhadap bencana kebakaran di Idonesia?

Berdasarkan Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dikutip oleh Hukum Online disebutkan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.” 

Menurut J. Satrio dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian I), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) tidak dikenal istilah somasi, namun dalam doktrin dan yurisprudensi istilah somasi digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi.

Dengan demikian, somasi merupakan surat perintah atau peringatan (surat teguran). di mana dalam masalah ini, Walhi memiliki sikap untuk memperingatkan (menegur) karena pemerintah dianggap lalai dalam menunaikan hak-hak masyarakat khususnya dalam hal kebersihan udara. 

Karena polusi asap sudah dianggap melanggar hak tersebut. Efek dari somasi lebih lanjut bisa berupa ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang menerima dampak dari kebakaran yang meluas tersebut.

Namun apakah yang dilakukan oleh Walhi dengan mengeluarkan somasi sudah benar-benar dapat dianggap membela kepentingan masyarkat karena pada hakekatnya permasalahan kebakaran hutan tersebut tidak semata-mata kesalahan pemerintah akan tetapi ketika ditelusuri oleh Polri bahwa kebakaran tersebut melibatkan masyarakat yang dengan sengaja melakukan pembakaran untuk membuka lahan baru juga melibatkan pengusaha swasta.

Jika melihat permasalahan tersebut, pemerintah sudah membuat kebijakan melalui kementrian tentang perlindungan hutan dan pemerintah daerah selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat  tentang pemanfaatan hutan untuk lahan produktif yang dikelola swasta, akan tetapi aspek yang mesti dituntaskan adalah bagaimana mengusut bahkan mengadili perusahaan yang sengaja melakukan pembakaran sehingga efeknya justru asap mencemari udara. 

Bahkan jika perlu somasi tersebut semestinya juga dilimpahkan kepada Perusahaan yang dengan sengaja melakukan pengrusakan namun akibat hukumnya tidak hanya berupa teguran dan peringatan akan tetapi penjatuhan hukuman berat dan ganti rugi yang setimpal.

Aspek yang kedua, mengadili masyarakat yang dengan sengaja melakukan perusakan hutan apalagi dengan melakukan pembakaran sehingga tindakan tersebut tidak berulang.

Jika ternyata kedua aspek tersebut sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum, semestinya pemerintah memfasilitasi upaya preventif dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan mengenai teknis dalam membuka lahan sehingga memahami bagaimana cara membuka lahan yang benar dan mengetahui efek yang terjadi jika pembakaran hutan dilakukan dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat. 

Namun demikian, keberadaan LSM tersebut juga semestinya juga transparan sehingga apa yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dapat dilakukan dengan terbuka, akuntable dan profesional.

Selain itu, yang lebih dibutuhkan masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut adalah sikap proaktif pemerintah dan masyarakat serta perusahaan swasta dalam  menghadapi bencana yang dilakukan tidak hanya ketika bencana terjadi akan tetapi lebih bermanfaat jika dilakukan sebelum bencana yang lain ikut menimpa bangsa ini. (maa)
 

Rendahnya Penegakan Undang-undang ITE di Indonesia

Sumber:waringinputih.wordpress.com

Rendahnya Penegakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia
Penulis: M. Ali Amiruddin, S.Ag
 
Apa sih yang kita tidak tahu dari Indonesia, negara yang (dulu) sempat mendapat julukan negara yang selalu memegang tradisi dan budaya luhur, memegang prinsip gotong royong ditunjukkan dengan tanpa pamrih membantu saudara yang kesusahan, yang rela memberikan sebagian miliknya meski dia sendiri dalam kekurangan dan menghabiskan waktu berjam-jam di kantor meski gaji tidak sampai di tenggorokan seperti dalam iklan enak ya jadi orang gedean tapi susah dijalanin mungkin merupakan indikator kondisi real indonesia saat ini.

Bukti real paling sederhana hanya milik orang-orang biasa yang tak seberapa memahami hukum dan gak berpredikat jenius seperti halnya menerima apa saja hukum yang dijatuhkan padahal kesalahannya hanya kesalahan kecil karena mencuri mentimun namun tak berlaku bagi mereka yang jenius bisa memutar balikkan fakta bahwa orang kecil memang tidak tahu hukum sehingga muncullah stigma memang orang kecil mah bisanya dibohongin dan dibodohin.

Tak perlu terlalu banyak menggambarkan betapa indonesia terlalu ikhlas sampai-sampai ikhlasnya tanpa batas seperti yang banyak dialami para konsumen negeri ini. Terlalu banyak tuk disampaikan dan tak patut untuk disebarluaskan karena akan bersinggungan dengan undang-undang no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan “bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia”. Oleh karena itu bagi siapa saja yang menyebarkan informasi lewat media elektronik apapun yang tidak sesuai dengan agama dan sosial budaya bangsa indonesia dianggap melanggar undang-undang ini.

Banyak kasus yang sepertinya hanya berlaku masyarakat yang tidak mengenal hukum seperti beberapa waktu lalu santernya kasus pelaporan tentang SMS penipuan dan SMS yang terkesan seperti spam masuk tanpa dipesan, serta dirugikannya konsumen karena transaksi elektronik ketika mereka menggunakan nada dering dan i ring via handphone. Karena dengan alasan faktor orang ke-3 banyak konsumen yang selalu menjadi korban kerugian dan penipuan yang tidak tanggung-tanggung hingga mencapai milyaran rupiah. Seperti contoh salah satu korban di Lampung yang tidak perlu disebutkan namanya karena mendapatkan SMS hadiah dari salah satu produsen produk tertentu dia tergiur menyerahkan uang sejumlah 80 juta dan sejumlah korban lain yang tidak berani atau tidak memahami hukum yang akhirnya mereka tidak mau melaporkan kasus penipuan lewat SMS ini dengan alasan yang sangat lugu. Dan lagi-lagi konsumen selalu menjadi korban tanpa bisa menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 

Seperti halnya ketika saya dan pengguna lain pengguna internet hampir setiap waktu koneksi internet itu ngadat tanpa tahu alasannya. Padahal dengan berhentinya koneksi tersebut secara tidak langsung konsumen telah dirugikan, baik materi maupun immateri. 

Kerugian materinya adalah berapa lama lama terputusnya koneksi akan berhubungan seberapa banyak kita menggunakan listrik karena komputer menggunakan listrik, padahal semakin lama kita menggunakan listrik otomatis secara finansialpun akan membengkak dan faktor lain yang ikut berkaitan karena terputusnya koneksi tersebut.

Adapula orang-orang yang bekerja dengan menggunakan fasilitas internet akhirnya gagal dan batal karena jaringan internet yang lemah dan lelet.

Kerugian immaterial misalnya berapa lama waktu kita habiskan hanya untuk sekedar menunggu jaringan internet kembali normal padahal energi dan waktu kita sangat terbatas sehingga banyak waktu kita yang sia-sia karena jaringan internet yang lelet.

Menurut hukum konsumen jasa internet dan telepon memiliki hak yang sama sebagai pengguna jasa telekomunikasi. Sebagaimana disebutkan  pada Bab I Pasal 2 Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Namu sayang sekali apabila kita selaku konsumen melaporkan kejadian dan kerugian ini konsumen selalu dihadapakan dengan undang-undang konsumen yaitu Bab  III Pasal 7 Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang undangan.

Seperti kasus yang menjerat Prita Mulyasari karena keluhannya atas pelayanan RS Omni Internasional di email kepada teman-temannya ternyata akhirnya dianggap bersalah meskipun akhirnya dibebaskan menjadi tahanan kota. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang justru menjebak para konsumen ke dalam jurang hukum karena terjerat hukum penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik padahal konsumen tersebut hanya ingin menuntut hak atas pelayanan yang tidak memadai.

Lalu bagaimana konsumen selaku pengguna layanan media informasi jika selalu dibenturkan dengan undang-undang ini? Lalu siapakah sebenarnya yang merasa diuntungkan dengan adanya undang-undang ini?

Jawabannya hanya orang-orang yang melek hukum dan kebal hukum yang bisa memutar balikkan fakta atas kerugian material maupun immaterial yang dialami konsumennya. Sampai kapan undang-undang ini bisa dinikmati masyarakat secara umum kita pun tidak pernah tahu. (maa)

Salam....